9. AHWAL MENENTUKAN AMAL
BERBAGAI JENIS AMAL ADALAH KARENA BERBAGAI AHWAL (HAL-HAL)
Kalimat Hikmah ke 9 di atas ringkas tetapi padat. Hikmah ini merupakan lanjutan dari Kalimat Hikmah ke 8 yang telah diuraikan sebelumnya. Hikmah yang ke delapan menjelaskan sampai perhentian di hadapan pintu gerbang dan belum menyentuh ma’rifat. Hikmah ke sembilan ini memberi gambaran tentang ma’rifat tetapi tidak dibahas tuntas apa itu ma’rifat dan tidak juga diuraikan secara terus terang, sebaliknya yang dibahas adalah mengenai ahwal. Ahwal adalah bentuk jamak bagi hal. Hikmah ini memberi arti bahwa hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau kelakuan lahiriah dan hal adalah suasana atau kelakuan hati. Amal berkaitan dengan lahiriah sedangkan hal berkaitan dengan batiniah. Oleh karena hati menguasai seluruh anggota badan maka kelakuan hati yaitu hal akan menentukan bentuk amal atau perbuatan lahiriah.
Dalam pandangan tasawuf, hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan ma’rifat. Hal merupakan zauk atau cita rasa yang berkaitan dengan keTuhanan yang melahirkan ma’rifatullah (pengenalan tentang Allah). Oleh sebab itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh ma’rifat. Ahli ilmu membangun ma’rifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasawuf berma’rifat melalui pengalaman, melalui zauk (cita rasa) tentang keberadaan Allah.
Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf. Kasyaf adalah terbukanya rahasia keghaiban kepadanya. Kasyaf yang paling penting adalah mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini. Kasyaf yang menerima hakikat sesuatu - walau apapun juga bentuk rupa yang ditemukan - penting bagi pengembara kerohanian. Rasulullah s.a.w sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril a.s dalam rupanya yang asli dua kali saja, walaupun setiap kali Jibril a.s menemui Rasulullah s.a.w dengan rupa yang berbeda-beda, Rasulullah s.a.w tetap mengenalinya sebagai Jibril a.s. Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya syaitan yang menjelma dalam berbagai bentuk rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti berbentuk seseorang yang kelihatan alim, wara’ dan shalih.
Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau zauk atau cita rasa, yakni pengalaman kerohanian tentang keberadaan Allah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hal atau zauk atau cita rasa tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelumnya pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang ma’rifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai menghampiri pintu gerbangnya. Apabila sudah sampai di situ seseorang hanya tinggal menanti karunia Allah, semata-mata karunia Allah yang membawa ma’rifat kepada hamba-hamba-Nya. Karunia Allah yang mengandung ma’rifat itu dinamakan hal. Allah memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat sesuatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahwa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi pengaruhnya atau dampaknya dapat dilihat dari tubuhnya yang menggigil hingga dia jatuh pingsan. Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau zauk atau cita rasa yang dapat merasakan keperkasaan Allah dan pengalaman inilah yang dinamakan hakikat, yakni hati mengalami hakikat keperkasaan Allah. Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa.
Jadi, pengalaman yang diperoleh dari zauk atau cita rasa tentang hakikat melahirkan pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan itulah yang dinamakan ma’rifat. Orang yang mengalaminya dikatakan berma’rifat terhadap keperkasaan Allah. Oleh sebab itu, untuk mencapai ma’rifat dalam terminologi tasawuf, seseorang haruslah mengalami hakikat merasakan sendiri zauk atau cita rasa itu. Inilah jenis ma’rifat yang tertinggi. Ma’rifat tanpa pengalaman hati adalah ma’rifat secara ilmu. Ma’rifat secara ilmu bisa didapat dengan belajar, sementara secara zauk bisa didapat melalui latihan kerohanian. Ahli tasawuf tidak berhenti hanya sampai tingkat ma’rifat secara ilmu, mereka bahkan mempersiapkan hati mereka agar mampu menerima kedatangan ma’rifat secara zauk atau ma’rifat secara cita rasa.
Ada orang yang memperoleh hal sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam tempo tertentu dan ada juga yang berkekalan di dalam hal itu. Hal yang berterusan atau berkekalan dinamakan wisal yaitu penyerapan hal secara berterusan, kekal atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang mengenainya. Hal-hal (ahwal) dan wisal bisa dibagi dalam lima jenis:
1. Abid
Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau zauk atau cita rasa yang membuat dia sangat-sangat merasakan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, upaya, bakat-bakat dan apa saja yang ada pada dirinya hanyalah daya dan upaya dari Allah. Semuanya itu hanyalah karunia-Nya semata-mata. Allah sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak pula mengambil kembali pada masa-masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah sehingga sekiranya dia melepaskan sandaran itu, dia akan jatuh, tidak berdaya, tidak bisa bergerak, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa-apa yang datang dari Allah. Hal atau suasana yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat dalam beribadah, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak ikut campur dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah dan gemar menyendiri. Dia merasakan apa saja yang selain Allah akan menjauhkan dirinya dari Allah.
2. Asyikin
Asyikin ialah orang yang sangat terpesona dengan sifat Allah yang Maha Indah. Apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia mampu merasakan (zauk) Keindahan serta Keelokan Allah di dalamnya. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenung di alam senantiasa memuji Keindahan Allah pada apa yang disaksikannya. Dia bisa duduk menikmati keindahan alam berjam-jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan rintikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang terlihat adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah. Orang yang menjadi asyikin mempunyai alam tersendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah.
3. Muttakhaliq
Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia merasakan menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia merasakan bahwa Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.
Dalam suasana Qurbi Nawafil muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah yang menguasai bakat dan upaya pada seluruh anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah karena Allah mengaruniakan kepadanya kemampuan untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah tindakan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah, juga mu’jizat beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah yang diizinkan menjadi bakat dan daya upaya beliau a.s, sebab itu beliau a.s tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah tentunya.
4. Muwahhid
Muwahhid yaitu fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya menjadi tidak dirasakan keberadaannya, yang ia rasakan adalah keberadaan Allah. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan segala bentuk yang ada. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa. Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan ia dikuasai oleh hakikat keberadaan Allah. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat.
5. Mutahaqqiq
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang terjadi pada nabi-nabi dan wali-wali Allah demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurus. Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah, dan tidak peduli tentang urusan rumah tangga ataupun kehancuran dunia seluruhnya. Saat itu orang yang demikian tidak bisa dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat barulah dia bisa memimpin orang lain.
Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeda-beda, yang dengannya terbentuk perilaku amal yang berbeda-beda pula. Ahwal mesti difahami dengan sebenar-benarnya oleh orang yang memasuki latihan tarekat kerohanian, supaya dia mengetahui dalam amal yang bagaimana dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan shalat sunnah, zikir atau puasa. Dia mesti berpegang sungguh-sungguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia mampu dan selamat sampai ke puncak.
10. IKHLAS ADALAH RUHNYA IBADAH
AMALAN LAHIR ADALAH KERANGKA SEDANGKAN RUHNYA ADALAH IKHLAS YANG
TERSEMBUNYI DALAM AMALAN ITU
Amal lahiriah digambarkan sebagai kerangka tubuh dan ikhlas digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan tubuh itu. Sekiranya kita kurang mendapat dampak yang baik dari latihan kerohanian hendaklah kita merenung dengan mendalam apakah amal tubuh kita bernyawa atau tidak.
Kalimat Hikmah ke 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas. Kalimat Hikmah ke 9 yang lalu telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua Kalimat Hikmah ini membangun jembatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas. Ikhlas menjadi persediaan yang penting bagi hati menyambut kedatangan Nur Ilahi. Apabila Allah berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut. Nur yang dipancar kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahsia Allah. Hati yang diterangi oleh nur akan merasai hal keTuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Allah. Setelah mendapat pertanda dari Allah maka hati pun mengenal Allah. Hati yang memiliki ciri atau sifat begini dikatakan hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi. Allah berfirman :
Dan sebenarnya perempuan itu berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf ( timbu pula ) keinginannya kepada perempuan itu, kalaulah ia tidak menyadari keberadaan Tuhannya (tentang hinanya berbuat zina). Maka demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang hina, karena sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa. ( Ayat 24 : Surah Yusuf )
Nabi Yusuf a.s adalah hamba Allah yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah. Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahasia Allah akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan yang dekat dengan Allah. Mata hatinya sentiasa memandang kepada Allah, tidak pada dirinya dan perbuatannya. Orang yang berada di dalam maqom ikhlas yang tertinggi ini sentiasa dalam keridhaan Allah baik pada saat beramal ataupun pada saat diam. Allah sendiri yang memeliharanya. Allah mengajarkan agar hamba-Nya menghubungkan diri dengan-Nya dalam keadaan ikhlas.
Dia Yang Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka beribadahlah kepada-Nya dengan mengikhlaskan amalanmu kepada-Nya semata-mata. Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan mengurus semesta alam. ( Ayat 65 : Surah al-Mu’min )
Allah Yang Maha Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan sekalian alam. Apa saja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya. Apa saja yang hidup adalah dihidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah adalah nikmat dan karunia, sementara jalan dari hamba kepada-Nya adalah ikhlas. Hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala aspek kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan untuk Allah ini hamba tidak boleh berasa takut dan gentar kepada sesama makhluk.
Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 : Surah al-Mu’min )
Allah telah menetapkan etika kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas karena Allah, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan.
Katakanlah: “Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan shalat, dan beribadahlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; (kareana) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29 : Surah al-A’raaf )
Sekalipun sukar mencapai peringkat ikhlas yang tertinggi tetapi harus diusahakan agar diperoleh keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan baik yang lahir maupun yang batin. Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa kasih Allah akan berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahawa Allah jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Hamba berkewajiban tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam maqom ini beramal karena Allah, karena Allah yang memerintahkan supaya beramal, karena Allah berhak ditaati, karena perintah Allah wajib dilaksanakan, semuanya karena Allah tidak karena sesuatu yang lain. Golongan ini sudah dapat menawan hawa nafsu yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira karena menjadi hamba Allah yang beramal karena Allah. Sifat kemanusiaan biasa masih mempengaruhi hatinya.
Setelah rohaninya meningkat, hatinya dikuasai sepenuhnya oleh kehendak Allah, menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya tetapi melihat Allah, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Apa saja yang ada padanya adalah anugerah Allah. Sabar, ridha, tawakal dan ikhlas yang ada padanya semuanya merupakan anugerah Allah, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya.
Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan bersih daripada riya’ (pamer) yang jelas dan yang samar tetapi masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang dijanjikan Allah. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, yaitu hamba yang mentaati Tuannya karena mengharapkan upah daripada Tuannya itu.
Di bawah tingkatan ini tidak dinamakan ikhlas lagi. Tanpa ikhlas seseorang beramal karena sesuatu tipu daya kedunia, mau dipuji, mau menutupi kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi tipu daya yang rendah. Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan amalan tetapi amalan mereka adalah laksana tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Allah nanti akan menjadi debu yang tidak menolong orang yang melakukannya. Setiap orang yang beriman kepada Allah mesti mengusahakan ikhlas pada amalannya sebab tanpa ikhlas syiriklah yang menyertai amalan tersebut, sebanyak ketiadaan ikhlas itu.
(Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. (Ayat 31 : Surah al-Hajj )
“Serta (diwajibkan kepadaku): ‘Hadapkanlah seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) diin dengan betul dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi orang-orang musyrik’”. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan tidak juga dapat mendatangkan mudharat kepadamu. Sekiranya engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu engkau menjadi bagian dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu). ( Ayat 105 & 106 : Surah Yunus )
Daging dan darah binatang kurban itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa dari kamu. (Ayat 37 : Surah al-Hajj )
Allah menyeru supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas adalah lawan dari syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan anggapan bahwa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudarat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas maka syiriklah ia yaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu ditujukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu disebut sebagai orang zalim, walaupun pada lahiriahnya dia tidak menzalimi siapapun.
Intisari ikhlas adalah melakukan sesuatu karena Allah semata-mata, tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir dari nafsu. Nafsu selalu menginginkan kemewahan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa yang lahir dari nafsu, itulah yang sering menghalang atau merusak keikhlasan.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar