Tampilkan postingan dengan label TAUHID. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TAUHID. Tampilkan semua postingan

Inti Ajaran Islam: Iman, Islam, dan Ihsan

06.37 Add Comment
Pokok ajaran Islam ada 3, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Dasarnya adalah hadits sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.” Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda. Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).” Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
a. Rukun Iman 6 Perkara
Iman adalah keyakinan kita pada 6 rukun iman. Islam adalah pokok-pokok ibadah yang wajib kita kerjakan. Ada pun Ihsan adalah cara mendekatkan diri kita kepada Allah.
Tanpa iman semua amal perbuatan baik kita akan sia-sia. Tidak ada pahalanya di akhirat nanti:
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun…” [An Nuur:39]
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” [Ibrahim:18]
Iman ini harus dilandasi ilmu yang mantap sehingga kita bisa menjelaskannya kepada orang lain. Bukan sekedar taqlid atau ikut-ikutan.
Sebagaimana hadits di atas, rukun Iman ada 6. Pertama Iman kepada Allah. Artinya kita meyakini adanya Allah dan tidak ada Tuhan selain Allah. Di bab-bab berikutnya akan dijelaskan secara rinci tentang hal ini.
Rukun Iman yang kedua adalah iman kepada Malaikat-malaikat Allah. Kita yakin bahwa Malaikat adalah hamba Allah yang selalu patuh pada perintah Allah.
Rukun Iman yang ketiga adalah beriman kepada Kitab-kitabNya. Kita yakin bahwa Allah telah menurunkan Taurat kepada Musa, Zabur kepada Daud, Injil kepada Isa, dan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad. Namun kita harus yakin juga bahwa semua kitab-kitab suci di atas telah dirubah oleh manusia sehingga Allah kembali menurunkan Al Qur’an yang dijaga kesuciannya sebagai pedoman hingga hari kiamat nanti.
”Maka kecelakaan yng besar bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” [Al Baqarah:79]
Kita harus meyakini kebenaran Al Qur’an dan mengamalkannya:
”Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” [Al Baqarah:2]
Rukun Iman yang keempat adalah beriman kepada Rasul-rasul (Utusan) Allah. Rasul/Nabi merupakan manusia yang terbaik yang pantas dijadikan suri teladan yang diutus Allah untuk menyeru manusia ke jalan Allah. Ada 25 Nabi yang disebut dalam Al Qur’an yang wajib kita imani di antaranya Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad.
Karena ajaran Nabi-Nabi sebelumnya telah dirubah ummatnya, kita harus meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang harus kita ikuti ajarannya.
Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” [Al Ahzab:40]
Rukun Iman yang kelima adalah beriman kepada Hari Akhir (Kiamat/Akhirat). Kita harus yakin bahwa dunia ini fana. Suatu saat akan tiba hari Kiamat. Pada saat itu manusia akan dihisab. Orang yang beriman dan beramal saleh masuk ke surga. Orang yang kafir masuk neraka.
Selain kiamat besar kita juga harus yakin akan kiamat kecil yaitu mati. Setiap orang pasti mati. Untuk itu kita harus selalu hati-hati dalam bertindak.
Rukun Iman yang keenam adalah percaya kepada Takdir/qadar yang baik atau pun yang buruk. Meski manusia wajib berusaha dan berdoa, namun apa pun hasilnya kita harus menerima dan mensyukurinya sebagai takdir dari Allah.
b. Rukun Islam 5 Perkara
Ada pun rukun Islam terdiri dari 5 perkara. Barang siapa yang tidak mengerjakannya maka Islamnya tidak benar karena rukunnya tidak sempurna.
Rukun Islam pertama yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Asyhaadu alla ilaaha illallaahu wa asyhaadu anna muhammadar rasuulullaah. Artinya kita meyakini hanya Allah Tuhan yang wajib kita patuhi perintah dan larangannya. Jika ada perintah dan larangan dari selain Allah, misalnya manusia, yang bertentangan dengan perintah dan larangan Allah, maka Allah yang harus kita patuhi. Ada pun Muhammad adalah utusan Allah yang menjelaskan ajaran Islam. Untuk mengetahui ajaran Islam yang benar, kita berkewajiban mempelajari dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad.
Konsekwensi dari 2 kalimat syahadat adalah kita harus mempelajari dan memahami Al Qur’an dan Hadits yang sahih (minimal Kutuubus sittah: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasaa’i, dan Ibnu Majah) dan mengamalkannya.
Rukun Islam kedua adalah shalat 5 waktu, yaitu: Subuh 2 rakaat, Dzuhur dan Ashar 4 raka’at, Maghrib 3 rakaat, dan Isya 4 raka’at. Shalat adalah tiang agama barang siapa meninggalkannya berarti merusak agamanya.
Rukun Islam ketiga adalah puasa di Bulan Ramadhan. Yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, bertengkar, marah, dan segala perbuatan negatif lainnya dari subuh hingga maghrib.
Rukun Islam keempat adalah membayar zakat bagi para muzakki (orang yang wajib pajak/mampu). Ada pun orang yang mustahiq (berhak menerima zakat seperti fakir, miskin, amil, mualaf, orang budak, berhutang, Sabilillah, dan ibnu Sabil) berhak menerima zakat. Zakat merupakan hak orang miskin agar harta tidak hanya beredar di antara orang kaya saja.
Rukun Islam yang kelima adalah berhaji ke Mekkah jika mampu. Mampu di sini dalam arti mampu secara fisik dan juga secara keuangan. Sebelum berhaji, hutang yang jatuh tempo harus dibayar dan keluarga yang ditinggalkan harus diberi bekal yang cukup. Nabi berkata barang siapa yang mati tapi tidak berhaji padahal dia mampu, maka dia mati dalam keadaan munafik.
c. Ihsan Mendekatkan Diri kepada Allah
Ada pun Ihsan adalah cara agar kita bisa khusyuk dalam beribadah kepada Allah. Kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah. Jika tidak bisa, kita harus yakin bahwa Allah SWT yang Maha Melihat selalu melihat kita. Ihsan ini harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga jika kita berbuat baik, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika terbersit niat kita untuk berbuat keburukan, kita tidak mengerjakannya karena Ihsan tadi.
Orang yang ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya.
Itulah sekilas pokok-pokok dari ajaran Islam. Semoga kita semua bisa memahami dan mengamalkannya.

BERBAGAI MAKNA DALAM AJARAN TAUHID

10.08 Add Comment
Pertama: Makna Syahadatain

A. Makna Syahadat “La ilaaha illallah”
Yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhannahu wa Ta’ala , menta’ati hal terse-but dan mengamalkannya.
La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa pun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah. Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah”.
Khabar “َLa” harus ditaqdirkan “al haq” (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan “maujud” (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini Tentu ke-batilan yang nyata.
Kalimat “La ilaaha illallah” telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:
  1. “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”
    Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.
  2. “Tidak ada pencipta selain Allah”
    Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.
  3. “Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah”
    Ini juga sebagian dari makna tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup
Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) adl “tidak ada sesembahan yang hak selain Allah” seperti tersebut di atas.
B. Makna Syahadat “Anna Muhammadarrasulullah”
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan.
Kedua: Rukun Syahadatain
A. Rukun “Laa ilaaha illallah” ada dua:
  1. An-Nafyu (peniadaan): membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
  2. Al-Itsbat (penetapan): menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur’an, seperti firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beri-man kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepa-da buhul tali yang amat kuat …” (TQS. Al-Baqarah: 256)
Firman Allah, “siapa yang ingkar kepada thaghut” itu adalah makna dari rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, “dan beriman kepada Allah” adalah makna dari rukun kedua.
Begitu pula firman Allah Subhannahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam : “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sem-bah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku …”. (TQS. Az-Zukhruf: 26-27)
Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya aku berlepas diri” ini adalah makna nafyu (peniadaan) dalam rukun pertama. Sedangkan perkataan, “Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku”, adalah makna itsbat (penetapan) pada rukun kedua.
B. Rukun Syahadat Muhammadarrasulullah
Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat hamba dan utusanNya. Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) pada hak Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam.
Beliau adalah hamba dan rasulNya. Beliau adalah makhluk yang pa-ling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini. “Al-’abdu” di sini artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku atas orang lain.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, …’.” (TQS. Al-Kahfi: 110)
Beliau hanya memberikan hak ubudiyah kepada Allah dengan se-benar-benarnya, dan karenanya Allah Subhannahu wa Ta’ala memujinya: “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya.” (TQS. Az-Zumar: 36)
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) …” (TQS. Al-Kahfi: 1)
“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram …” (TQS. Al-Isra’: 1)
Sedangkan rasul artinya, orang yang diutus kepada seluruh manusia dengan misi dakwah kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan). Persaksian untuk Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan dua sifat ini meniadakan ifrath dan tafrith pada hak Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .
Karena banyak orang yang mengaku umatnya lalu melebihkan haknya atau mengkultuskannya hingga mengangkatnya di atas martabat sebagai hamba hingga kepada martabat ibadah (penyembahan) untuknya selain dari Allah Subhannahu wa Ta’ala. Mereka ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada beliau, dari selain Allah. Juga meminta kepada beliau apa yang tidak sanggup melakukannya selain Allah, seperti memenuhi hajat dan menghilangkan kesulitan.
Tetapi di pihak lain sebagian orang mengingkari kerasulannya atau mengurangi haknya, sehingga ia bergantung kepada pendapat-pendapat yang menyalahi ajarannya, serta memaksakan diri dalam me-na’wil-kan hadits-hadits dan hukum-hukumnya.
Ketiga: Syarat-Syarat Syahadatain

A. Syarat-syarat “La ilaa ha illallah”
Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya.
Secara global tujuh syarat itu adalah:
1. ‘Ilmu, yang menafikan jahl (kebodohan).
2. Yaqin (yakin), yang menafikan syak (keraguan).
3. Qabul (menerima), yang menafikan radd (penolakan).
4. Inqiyad (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan).
5. Ikhlash, yang menafikan syirik.
6. Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta).
7. Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian).
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
Syarat Pertama: ‘Ilmu (Mengetahui). Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “… akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). (TQS. Az-Zukhruf: 86)
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Sean-dainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.
Syarat kedua: Yaqin (yakin). Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan syahadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mere-ka tidak ragu-ragu …” (TQS. Al-Hujurat: 15)
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga.” (HR. Al-Bukhari) Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
Syarat Ketiga: Qabul (menerima). Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyem-bah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta’ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (TQS. Ash-Shaaffaat: 35-36)
Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna laa ilaaha illallah.
Syarat keempat: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat). Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (TQS. Luqman: 22)
Al-’Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu (patuh, pasrah).
Syarat Kelima: Shidq (jujur). Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (TQS. Al-Baqarah: 8-10)
Syarat keenam: Ikhlas. Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadits ‘Itban, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illalah karena menginginkan ridha Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syarat ketujuh: Mahabbah (kecintaan). Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaima-na mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (TQS. Al-Baqarah: 165)
Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illallah.
B. Syarat Syahadat “Muhammadanrasulullah”
Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan. Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang ghaib, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang.
Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta seluruh umat manusia. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya.
Keempat: Konskuensi Syahadatain

A. Konsekuensi “La ilaa ha illallah”
Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala ma-cam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.
Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para thaghut lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid’ah. Mereka me-nolak para da’i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata.
B. Konsekuensi Syahadat “Muhammadanrasulllah”
Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang di-larangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid’ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang.
Kelima: Yang Membatalkan Syahadatain

Yaitu hal-hal yang membatalkan Islam, karena dua kalimat sya-hadat itulah yang membuat seseorang masuk dalam Islam. Mengucapkan keduanya adalah pengakuan terhadap kandungannya dan konsisten mengamalkan konsekuensinya berupa segala macam syi’ar-syi’ar Islam.
Jika ia menyalahi ketentuan ini, berarti ia telah membatalkan perjanjian yang telah diikrarkannya ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Yang membatalkan Islam itu banyak sekali. Para fuqaha’ dalam kitab-kitab fiqih telah menulis bab khusus yang diberi judul “Bab Riddah (kemurtadan)”. Dan yang terpenting adalah sepuluh hal, yaitu:
1. Syirik dalam beribadah kepada Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” (TQS. An-Nisa’: 48)
“… Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu de-ngan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (TQS. Al-Ma’idah: 72)
Termasuk di dalamnya yaitu menyembelih karena selain Allah, misalnya untuk kuburan yang dikeramatkan atau untuk jin dan lain-lain.
2. Orang yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara. Ia berdo’a kepada mereka, meminta syafa’at kepada mereka dan bertawakkal kepada mereka. Orang seperti ini kafir secara ijma’.
3. Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yang masih ragu terhadap kekufuran mereka atau mem-benarkan madzhab mereka, dia itu kafir.
4. Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum yang lain lebih baik dari hukum beliau. Seperti orang-orang yang mengutamakan hukum para thaghut di atas hukum Rasulullah, mengutamakan hukum atau perundang-undangan manusia di atas hukum Islam, maka dia kafir.
5. Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sekali pun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir.
6. Siapa yang menghina sesuatu dari agama Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam atau pahala maupun siksanya, maka ia kafir. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman.” (TQS. At-Taubah: 65-66)
7. Sihir, di antaranya sharf dan ‘athf (barangkali yang dimaksud adalah amalan yang bisa membuat suami benci kepada istrinya atau membuat wanita cinta kepadanya/pelet). Barangsiapa melakukan atau meridhainya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala “… sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada se-orangpun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’.” (TQS. Al-Baqarah: 102)
8. Mendukung kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi umat Islam. Dalilnya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (TQS. Al-Ma’idah: 51)
9. Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam , seperti halnya Nabi Hidhir boleh keluar dari syariat Nabi Musa Alaihissalam , maka ia kafir. Sebagaimana yang diyakini oleh ghulat sufiyah (sufi yang berlebihan/ melampaui batas) bahwa mereka dapat mencapai suatu derajat atau tingkatan yang tidak membutuhkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .
10. Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Dalilnya adalah firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (TQS. As-Sajdah: 22).
Syaikh Muhammad At-Tamimy berkata: “Tidak ada bedanya dalam hal yang membatalkan syahadat ini antara orang yang ber-canda, yang serius (bersungguh-sungguh) maupun yang takut, kecuali orang yang dipaksa. Dan semuanya adalah bahaya yang paling besar serta yang paling sering terjadi. Maka setiap muslim wajib berhati-hati dan mengkhawatirkan dirinya serta mohon perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dari hal-hal yang bisa mendatangkan murka Allah dan siksaNya yang pedih.”[1]
[1] Majmu’ah At-Tauhid An-Najdiyah, hal. 37-39.
Sumber: Kitab Tauhid 1, karya DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, hal 59-71.

HAKIKAT IMAN

10.07 Add Comment
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (QS. Al-Anfal [8] : 2-4)
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal [8]: 74)
Dalam ayat-ayat yang pertama Allah menyebutkan orang-orang yang lembut hatinya dan takut kepada Allah ketika namaNya dise-but, keyakinan mereka bertambah dengan mendengar ayat-ayat Allah. Mereka tidak mengharapkan kepada selainNya, tidak menyerahkan hati mereka kecuali kepadaNya, tidak pula meminta hajat kecuali ke-padaNya.
Mereka mengetahui, Dialah semata yang mengatur kerajaanNya tanpa ada sekutu. Mereka menjaga pelaksanaan seluruh ibadah fardhu dengan memenuhi syarat, rukun dan sunnahnya. Mereka adalah orang mukmin yang benar-benar beriman. Allah menjanjikan mereka derajat yang tinggi di sisiNya, sebagaimana mereka juga memperoleh pahala dan ampunanNya.
Kemudian dalam ayat yang kedua Allah menyifati para sahabat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, baik Muhajirin maupun Anshar dengan iman yang sebenar-benarnya, karena iman mereka yang kokoh dan amal perbuatan mereka yang menjadi buah dari iman tersebut.
Telah kita ketahui bersama lafazh iman, baik secara bahasa maupun munurut istilah. Sebagaimana kita juga mengetahui bahwa madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah memasukkan amal ke dalam makna iman, dan bahwa iman itu bisa bertambah, juga bisa berkurang.
Bertambah karena bertambahnya amal shalih dan keyakinan dan berkurang karena berkurangnya hal tersebut. Kemudian kita juga mengetahui sebagian besar dalil-dalilnya. Berikut ini kita akan menambah keterangan tentang makna Islam dan iman.
Islam Dan Iman
Di dalam Islam dan iman terkumpul agama secara keseluruhan. Sebagaimana Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membedakan makna Islam, iman dan ihsan. Dalam hadits Jibril, Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa ia berkata,
“Ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pada suatu hari keluar berkumpul dengan para sahabat, tiba-tiba datanglah Jibril dan bertanya, “Apakah iman itu?” Beliau menjawab, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan engkau beriman dengan hari Kebangkitan.” Dia bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Beliau menjawab, “Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak berbuat syirik kepadaNya, engkau mendirikan shalat, membayar zakat yang diwajibkan, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.” Dia bertanya lagi, “Apakah ihsan itu?” Beliau menjawab, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya. Jika engkau tidak dapat melihatNya maka sesungguh-nya Ia melihatmu.” Dia bertanya lagi, “Lalu kapankah Kiamat tiba?” Beliau menjawab, “Orang yang ditanya tentang Kiamat tidak lebih mengetahui daripada si penanya. Tetapi saya beritahukan kepadamu beberapa tandanya, yaitu jika wanita budak melahirkan tuannya, jika para penggembala unta hitam telah berlomba-lomba meninggikan bangunan. (Ilmu tentang) hari Kiamat termasuk dalam lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.” Kemudian dia pergi, lalu nabi bersabda, “Kembalikan dia!” Tetapi orang-orang tidak melihat sesuatu. Beliau kemudian bersabda, “Dia ada-lah Jibril, datang kemari untuk mengajari manusia tentang agama-nya.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab Su’alu Jibril An-Nabi wa anil Iman wal Islam wal Ihsan, no. 50).
Islam
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam banyak menamakan beberapa perkara dengan sebutan Islam, umpamanya: taslimul qalbi (penyerahan hati), Salama-tunnas minal lisan wal yad (tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan tangan), memberi makan, serta ucapan yang baik.
Semua perkara ini, yang disebut Rasulullah sebagai Islam mengandung nilai penyerahan diri, ketundukkan dan kepatuhan yang nyata. Hukum Islam terwujud dan terbukti dengan dua kalimat syahadat, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.
Ini semua adalah syiar-syiar Islam yang paling tampak. Seseorang yang melaksanakannya berarti sempurnalah peng-hambaannya. Apabila ia meninggalkannya berarti ia tidak tunduk dan berserah diri. Lalu penyerahan hati, yakni ridha dan taat, dan tidak menggang-gu orang lain, baik dengan lisan atau tangan, ia menunjukkan adanya rasa ikatan ukhuwah imaniyah.
Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan bentuk ketaatan menjalankan perintah agama, yang memang menganjurkan kebaikan dan melarang mengganggu orang lain serta memerintahkan agar mendermakan dan menolong serta men-cintai perkara-perkara yang baik. Ketaatan seseorang dengan berbagai hal tersebut juga hal lainnya adalah termasuk sifat terpuji, yakni jenis kepatuhan dan ketaatan, dan ia merupakan gambaran yang nyata ten-tang Islam.
Hal-hal tersebut mustahil dapat terwujud tanpa pembenaran hati (iman). Dan berbagai hal itulah yang disebut sebagai Islam.
Iman
Kita telah mengetahui jawaban Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hadits Jibril . Beliau juga menyebut hal-hal lain sebagai iman, seperti akhlak yang baik, bermurah hati, sabar, cinta Rasul Shalallaahu alaihi wasalam, cinta sahabat, rasa malu dan sebagainya. Itu semua adalah iman yang merupakan pembenaran batin.
Tidak ada sesuatu yang mengkhususkan iman untuk hal-hal yang bersifat batin belaka. Justru yang ada adalah dalil yang menunjukkan bahwa amal-amal lahiriah juga disebut iman. Sebagiannya adalah apa yang telah disebut Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sebagai Islam.
Beliau telah menafsirkan iman kepada utusan Bani Abdil Qais dengan penafsiran Islam yang ada dalam hadits Jibril. Sebagaimana yang ada dalam hadits syu’abul iman (cabang-cabang iman). Rasululah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Yang paling tinggi adalah ucapan, ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah meyingkirkan gangguan dari jalan.”
Padahal apa yang terdapat di antara keduanya adalah amalan lahiriah dan batiniah. Sudah diketahui bersama bahwa beliau tidak memaksudkan hal-hal tersebut menjadi iman kepada Allah tanpa disertai iman dalam hati, sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak dalil syar’i tentang pentingnya iman dalam hati.
Jadi syiar-syiar atau amalan-amalan yang bersifat lahiriah yang disertai dengan iman dalam dada itulah yang disebut iman. Dan makna Islam mencakup pembenaran hati dan amalan perbuatan, dan itulah istislam (penyerahan diri) kepada Allah.
Berdasarkan ulasan tersebut maka dapat dikatakan, sesungguhnya sebutan Islam dan iman apabila bertemu dalam satu tempat maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan lahiriah, sedangkan iman ditafsirkan dengan keyakinan-keyakinan batin. Tetapi, apabila dua istilah itu di-pisahkan atau disebut sendiri-sendiri, maka yang ditafsiri dengan yang lain.
Artinya Islam itu ditafsiri dengan keyakinan dan amal, sebagaimana halnya iman juga ditafsiri demikian. Keduanya adalah wajib, ridha Allah tidak dapat diperoleh dan siksa Allah tidak dapat dihindarkan kecuali dengan kepatuhan lahiriah disertai dengan keyakinan batiniah. Jadi tidak sah pemisahan antara keduanya.
Seseorang tidak dapat menyempurnakan iman dan Islamnya yang telah diwajibkan atasnya kecuali dengan mengerjakan perintah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Sebagaimana kesempurnaan tidak mengharuskan sampainya pada puncak yang dituju, karena adanya bermacam-macam tingkatan sesuai dengan tingginya kuantitas dan kualitas amal serta keimanan. Wallahu a’lam!
Sumber: Kitab Tauhid 2, karya DR Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan

Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih)

10.37 Add Comment
1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah

Firman Allah SWT:


Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa’ (4): 136.


Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.


Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.


Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24

Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti:

“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia.” QS. al-Ikhlash (112): 1-4.

Sabda RasululIah SAW:


Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).


Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).


Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.

2. Pengertian Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah ialah:

1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah;
2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).

Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang.

Makrifat

Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa membenarkan dalam pengertian iman seperti yang tersebut di atas, ialah suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu perlulah kiranya diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.

Makrifat ialah: “Mengenal Allah Tuhan seru sekalian alam” untuk mengenal Allah, ialah dengan memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis kejadian dalam alam ini. Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan “adanya Allah”. memakrifati Allah, maka Dia telah menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting untuk memakrifati Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada yang serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat itulah menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu’ dan khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya menetapkan: “Awwaluddini, ma’rifatullah permulaan agama, ialah mengenal Allah”. Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan syairnya yang berbunyi:


Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh.

Dalam pada itu, harus pula diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah mengenali sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul Husna (nama-nama yang indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak dibenarkan, sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul Baqa al-’Ukbary dalam Kulliyiat-nya menulis: “ada dua martabat Islam: (l) di bawah iman, yaitu mengaku (mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak mengakuinya; dan (2) di atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota”.

Sebagian besar ulama Hanafiyah dan ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan al-Asy’ari mengatakan: Iman dan Islam itu berlainan”.

Abu Manshur al-Maturidi berpendapat, bahwa: “Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat, dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Tempatnya yang tersebut ini, ialah dalam hati. Iman ialah mempercayai (mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di dalam dada (hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati (fuad). Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaan-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir).

Inilah empat ikatan, yakni: lslam, iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan bukan pula berlainan. Apabila keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama.

3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah

Mengakui ada-Nya Allah, ialah: “Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu”.

Demikianlah ringkasan cara mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengendali alam yang sangat luas dan beraneka ragam ini.

4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah

Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan (Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan tepat, yang tidak dapat dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam (al-Qur’an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.

Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam, karenanya baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu.

4.1. Aliran Kitab Tauhid

Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam.

Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:

(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I’tizal (Mu’tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn ‘Atha’.
(3) Aliran Asy’ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy’ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.

Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2

1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati, jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil ada-Nya Allah atau dalailul wujud atau dalailut tauhid.
2. Lihat. ‘Abdurrahman al-Jazairi Taudihul ‘Aqa’id.

4.2. Pengertian Ilmu Tauhid

Ada beberapa ta’rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.

Pertama: Ilmu tauhid, ialah “ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis segala paham ahli bid’ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus”.

Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:

[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.

Ta’rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam’iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta’rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.

Dengan berpegang pada ta’rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab mereka.

Ulama yang berpegang pada ta’rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.3

3. Risalah Tauhid.

4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur’an Membicarakannya

Ilmu yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua umumnya. Di setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada hukum dan karakter alam.

Al-Qur’an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan akal dan kemajuan ilmu. Al-Qur’an menerangkan iman dengan mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan memberikan alasan-alasan yang membuktikan kesalahannya. Al-Qur’an menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli akal itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur’an-lah akal bersaudara kembar dengan iman.

Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara “ketetapan agama”, ada yang tidak dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-Nya dan seperti membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang belum dapat dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang mustahil pada akal.

Al-Qur’an mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti: qudrat, ikhtiyar, sama’, dan bashar. karena al-Qur’an menghargai akal dan membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud berbagai rupa paham diantara para ahli akal atau nadhar. Perselisihan yang terjadi karena berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur’an asal saja tidak sampai kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh golongan Mu’aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.

Para ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang menurut pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf membantah ta’thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).

Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4

4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.

4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam

Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal di sekitar masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma’qulat).

Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal. Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang gaib agar dapat dicerna oleh akal disamping menentukan mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur’an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan nadhar. Diantara-nya ialah:

Katakanlah ya Muhammad: “Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-tanda dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman”. (QS. Yunus (l0): 10l).

Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A’raf (7): 185).

Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An’am (6): 75).

Ayat-ayat tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk melakukan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita memakai qiyas ‘aqli atau qiyas manthiqi dan sya’i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.

4.5. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam

Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami mujarradat (sesuatu yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.

Tersebut dalam suatu kitab falsafah: “Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda”. memperhatikan rupa-rupa benda”. Al-Mawardi dalam A’lamun-Nubuwwah menulis: “Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang menjadi kepastiannya”. Ada pula yang mengatakan: “Akal itu kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal”.

Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal, sedang kasbi adalah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab), ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi mungkin terlepas dari akal ini.

4.6. Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat

Para hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2] dengan akal (rasio).

Mengetahui sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda dari binatang.

Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma’qulat (yang diperoleh melalui akal) nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur’an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan akal dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan sebelum ini.

4.7. Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera

Para hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.

Alasannya:

[1] Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui.
[2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).

4.8. Akal Pokok Pengetahuan

Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada dalil; dia sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al-’aqlu ummul ‘ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.

Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.

1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melakukan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.

Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.

Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; karena mudah diketahui. Khawwash dan ‘awwam dapat mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang mengingkarinya.

2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak mudah diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.

Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:

- yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara’).

Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang diketahui karena mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar); kedua, yang diketahui karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.

Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak boleh ada lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya, seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; sebab dengan mudah akal dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan dalil akal.

Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari’ah, sedang akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal semata-mata.

Hukum-hukum yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta’abbud dan Indzar. Ta’abbud mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa’ad dan wa’id.

4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya Allah

Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal, dan nadari dari sudut hiss pancaindera.

Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma’qulat), adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.

Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: “Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun”.

Hakikat Basmallah

10.34 Add Comment
Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, “Tafsirul Qur’anil Karim” menegaskan, bahwa dengan (menyebut) Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Ta’ala diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta’ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya.Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat (Ismu Dzat) Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian “Tidak membuat penyifatan”.“Ar- Rahman” adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah. dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama.

“Ar-Rahiim” adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, “Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat”.

Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (menuju) paripurna akhlak”.

Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah, sedangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi – alaihimus salam – meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut.

Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, “Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa”. (Al-hadits).

Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22.

Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri.

Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Malaikat.
Tiga Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang Haq, menurut pengertian Dzat. Sifat dan Af ‘aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakikatnya.

Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi.

Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa’, “dari mana hilangnya Alif itu?” Maka Rasulullah saw, menjawab, “Dicuri oleh Syetan”.

Diharuskannya memanjangkan huruf Baa’nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya, menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan, “Manusia diciptakan menurut gambaran Nya”.

Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af’aal. Af’aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk.

Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af’aal Allah dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af’aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam kesatuan. Maka ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim”.

Tauhidnya af’aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya, “Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu”.

Penyimpangan Makna Tauhid

10.16 Add Comment
MEMORIES

Banyaknya praktik kesyirikan yang terjadi di tengah umat menandakan ada yang salah dalam pemahaman umat akan makna tauhid. Terlebih cara memaknainya dilatari sudut pandang kelompoknya masing-masing. Maka yang terjadi tauhid dipahami secara beragam sesuai “selera” masing-masing, kesyirikan bisa dinamakan tauhid dan tauhid malah dihukumi syirik.

Menurut Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya, Tsalatsah Al-Ushul, dinyatakan bahwa seagung-agung perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadahan. Dan seagung-agung larangan adalah syirik, yaitu menyeru kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamaan dengan menyeru (beribadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini berdasarkan dalil surat An-Nisa` ayat 36:


وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا


“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan–Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa: 36)
Demikianlah, betapa agung dan luhur masalah tauhid ini. Bahkan Al-Imam Al-Qadhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi Al-Izzi Ad-Dimasyqi rahimahullahu mengungkapkan bahwa Al-Qur`an semuanya adalah tauhid, hak-haknya, dan balasan-balasannya. Termasuk di dalamnya terkandung muatan tentang masalah syirik, para pelakunya dan balasan-balasan sebagai akibat dari perbuatannya. Ini bisa dilihat dalam surat Al-Fatihah. Misalnya Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid, Arrahmanirrahim merupakan tauhid. Maliki yaumiddin juga tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid. Ihdinash-shirathal mustaqim merupakan representasi dari tauhid yang meliputi permohonan guna mendapatkan hidayah ke jalan ahli tauhid, yaitu orang-orang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beri nikmat atas mereka. Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh-dhallin adalah penjelasan tentang orang-orang yang telah memisahkan diri dari tauhid. (Syarhu Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 142)
Maka sudah sepatutnya bila dikatakan bahwa yang mengawali seorang individu untuk memeluk Islam adalah tauhid dan akhir dari kehidupannya di dunia ditutup dengan tauhid pula. Seperti dinyatakan oleh Al-Imam Al-Qadhi Ibnu Abi Al-Izzi rahimahullahu bahwa awal adalah wajib dan akhir (juga) wajib. Maka tauhid merupakan awal masuk dalam Islam dan merupakan akhir bagi seseorang kala dikeluarkan dari dunia (mati). Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


مَنْ كَانَ آخِرَ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ


“Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha illallah, dia masuk surga,” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, dan Ahmad. Hadits ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sebagai hadits hasan, lihat Irwa`ul Ghalil hadits no. 687, hal. 149-150)
Begitupun, ketika hari dibangkitkan itu tiba. Ketika harta dan anak-anak lelaki tiada lagi guna, tidak lagi memberi nilai manfaat, maka pada hari itu beruntunglah orang yang memiliki hati yang bersih (qalbun salim). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

“(Yaitu) pada hari yang harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara`: 88-89)
Apakah hati yang bersih itu? Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, hati yang bersih adalah hati yang bersih atau selamat dari segala sesuatu yang menjadikan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam segala bentuknya) sebagai sekutu. Karenanya, hati yang bersih adalah yang memurnikan segala bentuk peribadatan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Iradah (kehendak), mahabbah (cinta), tawakal, taubat, ikhbatan (khusyu’) tawadhu’, (berendah diri), khasyyah (takut), dan raja` (harapan) semuanya murni diamalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Ighatsatul Lahafan min Mashayidi Asy-Syaithan hal. 41)
Sedang menurut Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsir-nya, yang dimaksud hati yang bersih adalah (bersih) dari kotoran dan kesyirikan. Beliaupun menukil perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa hati yang bersih adalah hati yang selamat, yang (melakukan) kesaksian bahwa tiada Ilah yang diibadahi secara haq kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pendapat yang hampir serupa, diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di ketika beliau menjelaskan surat Asy-Syu’ara` ayat 88-89 ini dalam kitab tafsirnya Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalami Al-Mannan. Beliau rahimahullahu memaknai hati yang bersih adalah yang bersih dari kesyirikan, syak (keraguan terhadap kebenaran), bebas dari sikap mencintai sesuatu yang buruk dan menyuarakan kebid’ahan serta dosa-dosa.
Nyata sudah, betapa hati nan bersih adalah hati yang diselimuti tauhid. Hati yang senantiasa dibasuh dengan kalimat Laa ilaha illallah. Menepis kesyirikan hingga tak bercokol di dalam kalbu. Berbeda dengan para pelaku kesyirikan, mereka diharamkan mendapatkan surga, dan tempat mereka di neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ


“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (Al-Ma`idah: 72)
Begitulah syirik, sebuah dosa yang pelakunya tak akan mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bila sampai terbawa mati dan tidak sempat bertaubat.


إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa`: 48)
Demikian arti penting tauhid. Dia merupakan asas agama. Setiap perintah, larangan, peribadahan, dan ketaatan, semuanya didasari adanya tauhid. Tanpa didasari tauhid, maka amalan akan sirna, hancur luluh tiada berarti apa pun. Kerugianlah yang akan didapat.


لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ


“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)


وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ


“Seandainya mereka mempersekutukan (Allah Subhanahu wa Ta'ala), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Dalam memahami makna tauhid, yaitu makna Laa ilaha illallah, hendaknya perlu dicermati bahwa di tengah kehidupan masyarakat ada pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Beberapa pemahaman yang menyimpang tentang makna Laa ilaha illallah ini diterangkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan saat memberi syarah (penjelasan) terhadap Tafsir Kalimat At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Berikut tafsir (pemahaman) kalimat tauhid Laa ilaha illallah yang menyimpang:

1. Tafsir Wihdatul wujud
Para pengikut aliran wihdatul wujud yang dianut oleh Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya, menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda illallah (tidak ada yang disembah kecuali Allah) atau Laa ilaha maujudun illallah (tidak ada Ilah yang ada kecuali Allah).
Bila diartikan semacam itu, maka segala sesuatu yang disembah semuanya adalah Allah. Karena menurut pemahaman mereka bahwa Al-Wujud tidak terpilah antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Semuanya (Khaliq dan makhluk) adalah Allah. Pemahaman semacam ini, di kalangan penganut wihdatul wujud, menjadikan al-wujud (menyatu) dan tidak dibedakan (antara makhluk dan Khaliq).
Maka seseorang yang menyembah manusia karena sesuatu, senyatanya dia menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seseorang yang menyembah sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya diartikan menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena Allah adalah sesuatu yang wujud atau ada (al-wujud) secara mutlak (maka setiap yang wujud, seperti sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala, pen.).
Bagi mereka, seseorang yang memahami bahwa al-wujud itu terbagi dua bagian: Khaliq dan makhluk, maka orang tersebut dinyatakan sebagai musyrik. Seseorang tidak dikategorikan sebagai muwahhid (bertauhid) menurut mereka, kecuali dia mengatakan, “Sesungguhnya al-wujud (keberadaan) sesuatu itu satu, yaitu Allah.” Inilah kebatilan pemahaman wihdatul wujud, bahwa semua benda yang ada adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Tafsir Ulama Ilmu Kalam
Para ulama al-kalam menyatakan bahwa Laa ilaha illallah maknanya adalah tidak ada yang berkuasa atas penciptaan, pengaturan, mengadakan (sesuatu) kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pemahaman semacam ini tidaklah benar. Pemahaman seperti ini setali tiga uang dengan pemahaman agama orang-orang musyrik. Dinyatakan oleh orang-orang musyrik: “Tidak ada yang mampu/berkuasa atas penciptaan kecuali Allah.” “Tidak ada yang menghidupkan kecuali Allah.” “Tidak ada yang mematikan kecuali Allah.” “Tidak ada yang memberi rizki kecuali Allah.” Maka hal-hal tersebut hanya sebatas menyentuh aspek-aspek tauhid Rububiyah semata. Tidak termuat unsur-unsur tauhid Uluhiyah.

3. Tafsir Al-Jahmiyah dan Al-Mu’tazilah
Barangsiapa yang berjalan berdasar manhaj mereka, dia akan menafikan (menolak, meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena menurut pemahaman mereka, seseorang yang menetapkan Al-Asma wa Shifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang musyrik. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang yang bertauhid menurut mereka adalah orang yang menafikan Al-Asma wa Shifat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

4. Tafsir kalangan hizbiyyun dan Ikhwanul Muslimin (IM)
Di kalangan pergerakan dan IM, mereka memiliki pemahaman tentang Laa ilaha illallah dengan makna La hukma illa lillah (Tidak hukum kecuali milik Allah). (Buah dari kekeliruan ini mengakibatkan mereka - walaupun meyakini Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah - lebih memfokuskan masalah hakimiyyah ini yang terkadang mereka sebut dengan Al-Mulkiyyah. Hal itu sangat nyata bila kita melihat gerakan dakwah mereka. ed). Pemahaman ini disampaikan oleh Sayyid Quthb, seorang pentolan IM yang mengadopsi pemikiran Abul A’la Al-Maududi (seorang pendiri gerakan Jamaah Al-Islami di Pakistan).
Kata Al-Maududi, Al-Ilah adalah Al-Hakim (yang berkuasa). Pemikiran Al-Maududi ini lahir karena dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, seorang filosof Jerman. (Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam Adhwa` Islamiyyah hal. 59. Beliau menukil dari Shalahudin Maqbul dalam bukunya Da’wah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wa Atsaruha fi Al-Harakat Al-Islamiyyah)
Menurut Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Al-Hakimiyyah sesuai namanya merupakan bagian dari makna Laa ilaha illallah. Karena makna kalimat tauhid secara sempurna adalah meliputi setiap bentuk peribadahan. Kalau makna Laa ilaha illallah hanya dibatasi dengan makna Al-Hakim, maka bagaimana dengan bentuk-bentuk peribadahan lainnya seperti ruku’, sujud, menyembelih, nadzar, mahabbah (cinta), khauf (takut), isti’anah (meminta pertolongan) dan lain-lain? Dan mana pula bentuk penafian terhadap berbagai bentuk kesyirikan?
Asy-Syaikah Fauzan berkata: “Menafsirkan kalimat Laa ilaha illallah dengan Al-Hakimiyyah merupakan tafsir yang pendek. Tidak memberikan makna Laa ilaha illallah (secara sempurna).”
Adapun menafsirkan Laa ilaha illallah dengan Laa khaliqa illallah (tiada pencipta selain Allah) adalah penafsiran yang batil, tidak semata penafsiran yang pendek. Karena kalimat Laa ilaha illallah tidaklah semata untuk menetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada pencipta selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penetapan semacam ini sudah dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy dulu. Jadi, bila penetapan semacam ini benar maka menjadikan kaum musyrikin sebagai muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ


“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az-Zukhruf: 87)
Bila pemahaman Laa ilaha illallah adalah semacam itu, maka Abu Jahl dan Abu Lahab termasuk orang yang bertauhid. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 118)

5. Tafsir Kalangan Sufi
Di kalangan Sufi, kalimat Laa ilaha illallah tidak diucapkan sempurna. Mereka meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang teramat khusus, istimewa (khawash al-khawash), sehingga mereka tak perlu mengucapkan kalimat tauhid secara sempurna tapi mencukupkan diri mengucapkan Allahu, Allahu. Begitulah dzikir mereka. Mereka berdzikir dengan mengucapkan secara berulang kalimat Allahu, Allahu, Allahu…
Kalimat yang diucapkan itu merupakan isim mujarrad (sekedar menyebut nama), yang tidak memberi faedah tauhid sedikitpun. Mestinya kalimat tersebut harus dalam bentuk jumlah mufidah (kalimat yang sempurna) sehingga memberi arti atau faedah.
Bahkan sebagian mereka tidak lagi mengucapkan lafzhul jalalah (Allahu), tetapi hanya mengucapkan huwa, huwa, huwa, yang merupakan kata ganti tunggal orang ketiga (dhamir ghaib). Tentu saja, inipun tidak memberikan manfaat sedikitpun. Ini merupakan tindakan mempermainkan kalimat tauhid. Lebih parah lagi, sebagian mereka tidak melafadzkan Allahu atau huwa, namun hanya menyatakan dengan hatinya. (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Tafsir Kalimat At-Tauhid hal. 132)
Bagaimana dengan pemahaman Ahlus Sunnah wa Jamaah? Inilah pemahaman yang benar dalam memahami kalimat tauhid.
Makna Laa ilaha illallah telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat-ayat-Nya dan telah diterangkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا


“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa`: 36)


وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ


“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)


وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ


“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berkenaan dengan kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam:


وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ لأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ. إِلاَّ الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِيْنِ


“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Dzat Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’.” (Az-Zukhruf: 26-27)
Makna Laa ilaha illallah pun bisa dipahami dari ayat:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:


أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ -وَفِي رِوَايَةٍ-: إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ


“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah.” Dalam riwayat lain: “Sampai mereka mengesakan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1335, 2886 dan At-Tirmidzi no. 2606)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh peribadahan. Makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang disembah secara haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yaitu dengan mengikhlaskan atau memurnikan peribadahan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, termasuk di dalam tahkim asy-syari’ah (berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala). (Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 118)
Dengan ini dipahami bahwa kalimat tersebut mengandung pengertian menafikan (menolak, menghilangkan) segala bentuk Ilah (sesembahan), menafikan segala bentuk kesyirikan, dan menetapkan bahwa peribadahan itu hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.