RESUME SEJARAH DAN TEORI SOSIAL

21.00 1 Comment

Pada abad ke-18, karena satu alasan yang sederhana dan jelas, tidak ada perselisihan antara sosiologiwan dan sejarawan. Sosi­ologi waktu itu belum merupakan disiplin ilmu tersendiri. Ahli teori hukum dari Perancis, Charles de Montesquieu, dan ahli filsafat moral dari Skotlandia, Adam Ferguson dan John Millar, pada masa itu amat dihormati oleh sosiologiwan dan antro­pologiwan.1 Mereka bahkan adakalanya dianggap sebagai 'bapak pendiri' sosiologi. Bagaimanapun, pemberian nama seperti itu menimbulkan kesan keliru, seakan-akan tokoh­tokoh tersebut telah membuat suatu disiplin ilmu barn. Pada­hal mereka tidak pernah berniat demikian.Hal yang sama juga terjadi pada seorang Adam Smith yang dijuluki sebagai bapak ilmu ekonomi, seperti halnya yang dialami Ferguson dan Millar.
Secara umum mereka membedakan empat macam bentuk utama masyarakat berdasarkan perkembangan mata pencaharian mereka yaitu beternak,bertani,berburu dan berniaga.Hal tiu juga dapat ditemukan dalam karya Thomas Malthus,Essay on the Principle Population(1978) dimana didalamnya memuat pernyataan bahwa jumlah penduduk cenderung meningkat sampai batas maksimum ketersediaan kebutuhan hidup secukupnya.
Selanjutnya didalam bukunya Wealth of Nation ,Adam Smith membahas tentang laju kemakmuran.Disusul dengan munculnya Gibbon dengan karyanya Decline and Fall of The Roman empire dia membahas mengenai sejarah politik yang terjadi.Seratus tahun kemudian hubungan antara sejarah dengan teori social agak kurang simetris daripada apa yang terjadi sebelumnya.Dimana sejarawan kian menjauh tidak hanya dari teori social tetapi juga dari sejarah social
Ditinggalkannya sejarah sosial ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan.
Pertama, dijadikannya sejarah social sebagai alat untuk propaganda kaum nasionalis.
kedua tentang kembalinya sejarawan ke sejarah politik bersifat intelektual.
Ketiga adalah banyaknya prasangka buruk yang timbul kepada sejarah social
Keempat adanya penolakan terhadap sosiologi yang dinyatakan dengan tegas dalam karya sejumlah filsuf ternama abad ke-19.
Selanjutnya adalah para teoritisi menaruh perhatian kepada masa lalu tetapi tidak begitu menghargai sejarawan.
Penolakan terhadap Masa Lalu
Durkheim wafat pada tahun 1917 dan Weber pada tahun 1920. Karena beberapa alasan, generasi teoretisi social setelah mereka tidak lagi menghiraukan masa lalu.
Para ekonom terpecah ke dalam dua arah yang berlawanan. Sebagian, misalnya Francois Simiand di Perancis, Joseph Schumpeter di Austria, dan Nikolai Kondratieff di Rusia, menggunakan statistik tentang masa lalu untuk mengkaji perkembangan ekonomi, khususnya siklus perdagangan. Sebagian lain semakin menjauhi masa lalu dan makin menga­rah ke teori ekonomi'murni'dengan model matematika mur­ni. Para ahli teori marginal utility dan economic equilibrium (keseimbangan ekonomi) makin tidak sempat menggunakanpendekatan sejarah yang dirintis Gustav Schmoller dan madzhabnya.konflikm hebat tentang metode itu mengakibatkan terpecahnya profesi ilmu social kedalam dua kubu yaitu kubu prosejarah dan pro teoritisi.
Dalam melakukan study sosiologiawan juga meninggalkan kursi kerjanya dan mulai mengumpulkan lebih banyak data dari masyarakat yang sejama.Sosiologiawan mengumpulkan data sendiri dan menganggap masa lalu sangat tidak relevan digunakan untuk memahami mengapa orang melakukan hal-hal yang mereka kerjakan.
Pusat gravitasi sosiologi itu sendiri bergeser dari Eropa ke Amerika, dan di Amerika (lebih khususnya Chicago), masa lalu kurang penting dan kurang tercermin di dalam kehidupan sehari-hari dibanding dengan di Eropa. Seorang sosiologiwan bisa saja mengatakan bahwa penolakan terhadap masa lalu itu terkait dengan semakin mandirinya dan semakin profesionalnya bidang anthropologi, ekonomi dan geografipsikologi serta sosiologi.
Kebangkitan Sejarah Sosial
Cukup ironis bahwa para antropologiwan sosial dan sosiologi­wan kehilangan minat terhadap masa lampau justru ketika sejarawan mulai menghasilkan sesuatu sebagai jawaban atas tuntutan Spencer akan sejarah alamiah masyarakat. Pada akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan profesional kecewa de­ngan sejarah aliran Neo-Ranke. Salah sate pengritik paling vokal adalah Karl Lamprecht, yang mengecam lembaga sejarah Jerman yang terlalu menitikberatkan pada sejarah politik dan orang-orang terkenal saja." Dia menamakannya sebagai 'sejarah kolektif yang konsep-konsepnya diambil dari berba­gai disiplin ilmu. Disiplin ilmu itu ialah psikologi sosialnya Wilhelm Wundt dan 'geografi manusia-nya Friedrich Ratzel; keduanya kolega Lamprecht di Universitas Leipzig. 'Sejarah', kata Lamprecht,utamanya adalah ilmu psikologi social.
Pendekatan psikologi sosial inilah yang dia terapkan dalam buku History of Germany (1819-1909) yang terdiri atas beberapa jilid. Buku ini kemudian ditelaah dalam jurnal Annee Sociolo‑gique asuhan Durkheim, namun buku ini tidak banyak dikritik sebagai aneh oleh para sejarawan ortodoks Jerman sehubungan dengan ketidakakuratan (yang memang sangat banyak) dan spa yang dia namakan sebagai 'materialisme' dan 'reduksio­nisme'.
Nanun, reaksi 'kontroversi Lamprecht' itu, demikian ia di­sebut, menyiratkan bahwa dosa Lamprecht yang sesungguh­nya ialah dia mempersoalkan kekolotan aliran Ranke atau Neo­Ranke.
Sekitar tahun 1900 cara pikir kebanyakan sejarawan Jerman belum meninggalkan paradigm Ranke. Ketika Max Weber melakukan studi tentang hubungan. Protestantisme dan kapi­talisme, dia berhasil meramu karya-karya para koleganya yang tertarik pads masalah itu, cuma saja yang paling penting di antara mereka, yakni Werner Sombart dan Ernst Troeltsch, adalah ketua bidang ilmu ekonomi dan teologi, dan bukan sejarah.
Usaha Lamprecht untuk mengakhiri monopoli sejarah politik tersebut gagal, tetapi di Amerika Serikat dan Perancis khusus­nya, gerakan sejarah sosial mendapat tanggapan baik.Pada decade 1980-an ,sejarawan Amerika Serikat Frederick Jackson Turner melancarkan kecaman terhadap sejarah tradisional sebagaimana yang dilontarkan juga oleh Lamparecth.Di perancis, pada decade 1920-an adalah dasawarsa gerakan sejarah jenis baru yang dipimpin oleh guru besar Univeersitas StasbourgMarc Bloch Dan Lucien Febvre.
Konvergensi Teori dan Sejarah
Sejarawan dan teorisi sosial tidak pernah putus hubungan sama sekali, seperti terlihat pada beberapa contoh berikut. Pada tahun 1919, sejarawan terkenal Belanda, Johan Huizinga, menerbitkan buku Waning of the Middle Ages, yang mengkaji kebudayaan abad ke-14 dan ke-15 dengan mernanfaatkan ide-­ide ahli antropologi sosial.Di tahun 1929, jurnal barn Annales d'histoire &ononiiqne et sociale mengangkat ahli geografi politik Andre Siegfried dan sosiologiwan Maurice Halbwachs untuk menjadi anggota dewan redaksi bersama para sejarawan. Pada 1939, pakar ekononmi Joseph Schumpeter menerbitkan peneliti­annya tentang daur bisnis yang bahan-nya bersumber dari seja­rah, dan sosiologiwan Norbert Elias dengan bukunya The Civi­lizing Process yang kemudian dikenal sebagai buku klasik.Pada tahun 1949, antropologiwan Edward Evans Pritchard, yang sepanjang hayatnya menyokong hubungan erat antara antropologi dan sejarah, menulis sejarah tentang Sanusi dari Cyrenaica.Namun, pada tahun 1960-an, embun berubah jadi hujan, Buku­-buku semuanya menyuara­kan dan mendorong rasa kesamaan tujuan antara teorisi dan sejarawan Sosial.
Dalam dua puluh tahun terakhir, kecenderungan ini terus berlanjut. Semakin banyak antropologiwan sosial, terutama Clifford Geertz dan Marshall Sahlins, memasukkan. dimensi
4
sejarah dalam kajian-kajiannya. Sementara itu, di kalangan sejarawan di seluruh dunia telah terjadi pergeseran minat secara besar-besaran untuk mening­galkan sejarah politik yang tradisional itu (penceritaan tindak­an dan kebijakan penguasa) dan menuju ke arah sejarah sosial. Hingga terjadilah perpaduan antara sejarah social dan teori social karena tanpa adanya kombinasi anta sejarah dan teori maka kita tidak akan mungkin bias memahami masa lalu maupun masa kini.
Dalam perkembangannya  sejarawan dan antropologiwan bukannya saling mendekat, malahan berselisih arah satu sama lain,Misal­nya, para sejarawan menemukan pentingnya penjelasan-penjelasan fungsional justru ketika para antropologiwan merasa tidak puas dengan penjelasan tersebut.Sebaliknya, an­rropologiwan melihat pentingnya peristiwa justru ketika sebagian besar sejarawan meninggalkan sejarah peristiwa  agar dapat mengkaji struktur-struktur yang mendasar, dan lain sebagainya.

MODEL DAN METODE
Komparasi
Sejak dulu komparasi selalu menduduki posisi sentral dalam teori sosial. Memang, seperti dikatakan Durkheim, 'sosiologi komparatif bukanlah cabang khusus sosiologi, melainkan sosiologi itu sendiri'. Ia menekankan bahwa kajian tentang 'variasi konkomitan [selarasj' sama nilainya dengan 'eksperi­men tak langsung', yang memLmgkinkan sosiologiwan hijrah dari pendeskripsian masyarakat ke penganalisisan hal-hal yang mempengaruhi bentuk suatu masyarakat. Ia membeda­kan dua jenis komparasi, dan mendukung keduanya. Pertama, membandingkan masyarakat-masyarakat yang secara men­dasar sama strukturnya, atau, dalam kiasan biologi Durkheim, 'sama spesiesnya'. Kedua, membandingkan masyarakat‑masyarakat yang secara mendasar memang beda.
Sedangkan sejarawan cenderung menolak komparasi dengan alasan mereka hanya mengamati hal-hal yang khusus,unik,dan tidak bisa di ulang. Moore menggunakan metode komparatif secara sangat efektif sebagai alat untuk menguji penjelasan‑penjelasan umum (ia tertarik pada hal yang tidak selaras, sebagaimana Weber tertarik pada hal yang tidak ada). Dia mengatakan:
Komparasi dapat berfungsi sebagai alat sederhana untuk memeriksa hal-hal negatif di dalam penjelasan-penjelasan sejarah yang telah diterima...... setelah mempelajari risiko-risiko yang membahayakan demokrasi sebagai akibat berkoalisasinya elite pertanian dan elite industri di Jerman pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang banyak disebut sebagai perkawinan antara logam dan gandum —orang jadi bertanya-tanya mengapa perkawinan serupa antara logam dan kapas tidak mampu mencegah terjadinya Perang Saudara di Amerika Serikat.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwasejarah komparatif mencatat sejumlah prestasi substansial.Kendati demikian ia juga mengandung bahaya,setidak-tidaknya ada macam bahayanya yaitu berbahaya jika terlalu mudah menerima asumsi bahwa masyarakat berevolusi lewat serangkaian  tahapan wajib dan yang kedua adalah bahaya etnosentris.
Model Dan Tipe
Model didefinisikan sebagai sebuah konstruk intelektual yang menyederhana­kan realitas guna menekankan hal-hal yang berulang-ulang, yakni hal-hal umum dan hal-hal khusus, yang disajikan dalam bentuk sekumpulan ciri dasar dan atribut. Dengan demikian, model dan 'tipe' sinonim artinya—ini mungkin tepat sebab kata Yunanitypos'berarti bentuk atau 'model' dan kalau Max Weber menggunakan kata 'tipe ideal' (Ideal-typen) maka sosi­ologiwan modern mungkin memakai kata 'model' . Bukan 'Revolusi Perancis'Yang merupakan contoh suatu model, me­lainkan'revolusi'. Dalam arti inilah istilah tersebut digunakan untuk seterusnya.
Dua macam model yang bertolak belakang menge­nai masyarakat, yaitu 'konsensual' dan 'konfliktual'. 'Model konsensual', yang terkait dengan Emile Durkheim, menekan­kan pentingnya ikatan sosial, solidaritas sosial, kepaduan so­sial. 'Model konfliktual', yang terkait dengan Karl Marx, mengandung pelajaran penting.Karena mustahil ditemukan suatu masyarakat yang tanpa adanya konflik didalamnya, sedangkan tanpa solidaritas tidak akan ada yang namanya masyarakat.Namun kebanyakan dari mereka hanya menggunakan salah satu dari model dan melupakan model yang lainnya.
Metode Kuantitatif
Ada lebih dari satu macam metode kuantitatif, sebagian di antaranya lebih cocok untuk digunakan sejarawan dibanding sebagian lain. Metode yang dirancang khusus sesuai kebu­tuhan sejarawan adalah analisis statistik serial, yang menun­jukkan perubahan dari waktu ke waktu tingkat harga gandum, persentase perolehan suara Partai Komunis Italia dalam pe­milu, jumlah buku-buku Latin yang dijual obral pada pameran buku tahunan di Leipzig, atau jumlah penduduk yang menghadiri acara misa Minggu Paskah. Inilah yang dikatakan orang Perancis sebagai 'sejarah serial' (histoire serielle).
Namur demikian, 'quarto-history' (sejarah kuantitatif), atau sebagaimana wring dinamakan dengan 'Climietrics' (sejarah yang banyak menggunakan statistik), terdiri atas berbagai bentuk. Dalam hal analisis sejarah survai, hares dibedakan betel antara survai menyeluruh dan survai sampel. Senat kerajaan Romawi dan Parlemen Inggris telah dikaji dengan cara meneliti biografi seluruh anggota lembaga itu. Metode ini dikenal sebagai'prosopografi'.11 Pada kasus-kasus ini, yang diteliti adalah keseluruhan kelompok, disebut oleh para pakar statistik sebagai 'populasi total'. Metode ini cocok untuk meneliti kaum elite yang jumlahnya relatif kecil atau mengkaji masyarakat yang informasinya sedikit tersebar, sehingga para sejarawan bidang ini punya alasan kuat untuk mendapatkan semua data yang mungkin dikumpulkan.
Dalam hal ini yang masih baru dan tetap controversial adalah panadangan yang meyakini bahwa metode kuantitatif dapat digunakan untuk mengkaji  perilaku manusia dan bahkanb sikap.
Tanpa metode kuantitatif, sejarah jenis-jenis tertentu tidak akan mungkin, terutama sekali menyangkut pengkajian tentang pergerakan tingkat harga dan jumlah penduduk. Pemakaian metode kuantitatif di beberapa cabang ilmu sejarah mendorong para sejarawan lain untuk berpikir sejenak sebelum menggunakan istilah-istilah seperti            'lebih dari' atau 'kurang dari',
naik' atau 'turun', dan bertanya dulu pada dirinya apakah ada bukti-bukti kuantitatif yang mendukung pernyataan-per­nyataan yang secara implisit adalah, kuantitatif. Pendekatan ini lebih mempertajam komparasi, yakni mempertegas persa­maan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara dua ma­syarakat dan kemungkinan adanya korelasi antara tingkat urbanisasi dan literasi [kemelekan huruf] di masing-masing masyarakat, misalnya.
Akan tetapi, metode-metode ini tidak lepas dari kontroversi. Pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, para pendukungnya begitu percaya diri dan agresif. Mereka mengkritik pendekatan­pendekatan lain sebagai 'sekedar impresionistik', mereka memakai bahasa sains (misalnya, ruangan yang dipakai untuk melakukan content analysis mereka namakan 'labor'), dan mengklaim bahwa sejarawan tidak mempunyai pilihan lain kecuali belajar membuat program komputer. Pikiran seperti itu sekarang telah berubah miring dengan semakin terlihatnya keterbatasan-keterbatasan metode kuantitatif.
Penyebanya antara lain adalah sumber data tidak seakurat dan seobjektif yang di­asumsikan. Tidak sulit untuk menunjukkan bahwa sensus ter­tentu mengandi-mg kesalahan dan ketidaklengkapan data, dan, secara lebih urntun, banyak dari kategori-kategori dasarnya ('pelayan', 'warga negara', 'orang miskin' dan sebagainya) tidak tepat, betapa pun bermanfaatnya pada masa tertentu.101 Kelas sosial, misalnya, tidaklah seobjektif menentukan ber­bagai macam spesies tanaman. Kelas sosial lebih banyak menyangkut tentang pandangan stereotip kelompok-kelom­pok masyarakat terhadap kelompoknya sendiri atau kelompok lain
Kesulitan terbesar yang dihadapi pemakai metode kuantitatif ialah kesulitan yang sudah umum diketahui, yaitu pembedaan antara data 'keras', yang bisa diukur, dan data 'lunak', yang tidak bisa diukur. Sebagaimana komentar sedih seorang veter­an survai sosial, 'Sering sekali terjadi, data lunaklah yang ber­harga, dan data keras relatif mudah didapat.' Jadi, masalahnya ialah bagaimana mendapatkan 'fakta keras yang akan dija­dikan sebagai indeks yang baik untuk fakta yang lunak.
Mikroskop Sosial
Perubahan ke arah sejarah mikro berkaitan erat dengan dite­--nukannya karya-karya antropologiwan sosial oleh para seja­rawan. Le Roy Ladurie, Ginzburg, Davis, dan Levi sangat me­n1guasai antropologi. Metode sejarah mikro sendiri punya banyak kesamaan dengan studi masyarakat yang di lakukan para anthropologiawan .
Baru pada tahun 1970-an pendekatan sejarah mikro ini men­dapat perhatian serius, dalam arti disukai atau sebaliknya. Be­berapa studi yang bercirikan pendekatan ini, khususnya yang dilakukan Le Roy Ladurie dan Ginzburg, sangat menarik per­hatian publik. Sejarawan profesional agak kurang antusias. Me­mang cukup mengherankan, sampai kini relatif sedikit diskusi tentang masalah-masalah mendasar yang ditimbulkan oleh perubahan dari studi berskala kecil ke studi berskala besar. Oleh karena itu, agaknya diperlukan suatu generalisasi menge­nai kritik-kritik terhadap kontribusi-kontribusi besar sejarah mikro, dan jawaban-jawaban atas kritik tersebut.
Penggunaan mikroskop social dapat diberikan suatu pembenaran berdasarkan sejumlah alas an.Dipilihnya contoh tertentu untuk dijadikan objek kajian didorong oleh kenyataan bahwa ia merupakan miniature situasi yang (atas dasar alasan lain) prevalensinva kelazimannya) sudah diketahui betul oleh sejarawan atau  antropologiwan.
KONSEP-KONSEP POKOK
Sejarawan sering menuduh bahwa bahasan dan tulisan te­oretisi sosial cuma berisi 'jargon' yang tidak bisa dimengerti. Aksi saling tuduh atas dosa itu mungkin lebih banyak terjadi di antara kalangan intelelektual Inggris, syukurlah masih ada tradisi yang santun di kalangan amatimya. Dalam kasus-kasus ini, 'jargon' artinya sedikit berbeda dari konsep buatan orang lain. Mari kita asumsikan bahwa se'tiap perbedaan dari bahasa yang biasa dipakai membutuhkan justifikasi, sebab bahasa yang lain itu akan mempersulit komunikasi dengan pembaca umum.
Mengingat bahwa konsep-konsep pokok yang dig-unakan dalam teori sosial adalah konsep-konsep yang diciptakan oleh para pengkaji masyarakat Barat abad ke-19 dan ke-20 (atau dalam kasus antropologi, oleh peneliti Barat yang mengkaji masyarakat 'primitif' atau masyarakat 'suku'), maka amat sangat mungkin bahwa — untuk menyebutnya secara cukup bersahabat —konsep-konsep itu dipenganihi budaya (culture bound). Sering konsep-konsep itu dihubungkan dengan teori-teori perilaku sosial yang juga dipengaruhi budaya. Jadi, konsep-konsep itu mungkin perlu penyesuaian, tidak 'diterapkan' saja untuk periode-periode lain atau bagian-bagian lain dunia.
Peranan Sosial
Salah satu konsep sosiologi yang paling sentral adalah peranan social yang yang didefinisikan dalam pengertian norma-norma perilaku yang diharapkan dari seorangyang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur social.
Pada kebanyakan masyarakat, mulai dari Yunani kuno sampai Inggris di masa kekuasaan Elizabeth, orang-orang yang hidup pada zamannya mengerti betul akan peranan sosial. Mereka memandang dunia inisebagai sebuah panggung tempatsetiap orang banyak memainkan banyak peranan.Namun para teoretisi sosial mengembangkan pandangan itu lebih jauh. Tokoh terkemuka dalam hal ini ialah mendiang Erving Goffman, yang terkagum-kagum pada apa yang dia namakan 'dramaturge' kehidupan sehari-hari. 112 Goffman mengaitkan konsep 'peranan' dengan konsep-konsep 'penampilan', 'wa­jah', 'daerah depan', 'daerah belakang' dan 'ruang personal', untuk menganalisis apa yang dia namakan 'presentasi diri' atau 'manajemen kesan'.
Seks dan Gender
Beberapa tahun lalu mungkin tampak mengejutkan, jika bukan menghebohkan, membahas antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah contoh dari pembagian antara dua peranan sosial. Jika sekarang semakin tampak jelas bahwa persoalan kemaskulinan dan kefemininan itu 'diciptakan' secara sosial, perubahan pandangan ini sebagian besar adalah hasil perjuangan gerakan kaum perempuan. Sebagaimana telah dinyatakan, salah satu akibat dari pers­pektif baru ini adalah 'dipersoalkannva skema-skema perio­disasi yang telah mapan.
Proses konstruksi gender secara social juga merupakan objek kajian kesejarahan begitu juga dengan seks.
Keluarga dan Kekerabatan
Pendekatan rumah tangga ini tepat dan relative mudah untuk didokumentasikan semua ini berkat arsip-arsip sensus yang masih ada.Tetapi pendekatan ini juga memiliki bahaya.Dua diantaranya telah dikemukakan oleh para sosiologiawan dan para anthropologiawan melalui kontribusi segar mereka dalam dialog antara disiplin ilmu.
Yang pertama adalah perbedaan antara rumah tangga yang dilukiskan sebagai keluarga majemuk.Sedangkan keberatan yang kedua adalah terhadap pendekatan yang menggunakan jumlah anggota dan komposisi rumah tangga sebagai indeks struktur keluarga yang menghadapkan kita kembali kepada masalah data keras dan data lunak.

Komunitas dan identitas

Kelas
Stratifikasi sosial adalah pokok bahasan yang sering membuat sejarawan tergoda untuk menggunakan istilah-istilah teknis.Salah satunya adalah istilah kelas yang didefinisikan oleh Karl Marx sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik modal, dan pekerja yang tidak memiliki apa pun selain dua tangannya, adalah tiga kelas sosial besar, yang sejajar dengan tiga faktor produksi dalam ilmu ekonomi klasik, yakni tanah, tenaga kerja, dan modal. Perbedaan fungsi dari kelas-kelas ini menimbulkan pertentangan kepentingan yang memungkin­kan berbedanya pikiran dan tindakan mereka. Jadi, sejarah adalah cerita tentang pertentangan kelas.
Status
Mobilitas Sosial
Seperti istilah'kelas', mobilitas sosial adalah suatu istilah yang amat dikenal sejarawan, dan sejumlah monograf, konferensi, dan edisi khusus jurnal telah diabdikan untuk terra yang satu ini. Para sejarawan mungkin kurang mengenal beberapa perbedaan yang dibuat oleh para ahli sosiologi tentang istilah tersebut, paling tidak tiga di antaranya yang tampaknya perlu diadopsi dalam praktik sejarah.
Pertama, perbedaan antara pergerakan naik dan turun tangga sosial; studi tentang mobilitas ke bawah (turun) sering diabaikan­.Kedua adalah perbedaan antara mobilitas sepanjang kehidupan seseorang (dalam istilah sosiologi disebut 'intrage­nerasional') dan mobilitas yang mencakup beberapa generasi (intergenerasional'). Yang ketiga ialah perbedaan antara mo­bilitas induvidu dan mobilitas kelompok. Para guru besar di Inggris, misalnya, mendapat status yang lebih tinggi pada abad lalu dibanding sekarang. Sebaliknya, pada periode yang sama, kasta-kasta di India tampak semakin naik status sosialnya
Konsumsi Berlebihan dan Modal Simbolis
Cara lain untuk menaikkan status sosial di awal Eropa mod­ern adalah dengan meniru gaga hidup kelompok yang status sosialnya lebih tinggi, dan mengamalkan 'konsumsi yang berlebihan.
Konsumsi berlebihan hanyalah strategi suatu kelompok sosial untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain.Salah satu bahaya dalam memahami gejala (pen-teori-an) adalah reduksionisme, yakni kecenderungan yang memandang dunia tidak lain hanyalah gambaran dari teori. Dalam hal ini, anggapan bahwa konsumen cuma ingin memamerkan kekayaan dan status telah dikritik oleh sosiologi­wan Inggris, Colin Campbell, yang mengatakan bahwa alasan sesungguhnva mengapa orang-orang membeli barang-barang mewah adalah untuk memperkuat citra diri mereka menurut kacamata mereka sendiri.

Resiprositas
Para pengikut mencari pemimpin yang menawarkan keunt-ungan paling besar dan keamanan paling bagus. Sebagai imbalannya, mereka berikan layanan dan kesetiaan.Sistem Resiprositas ini dasarnya adalah hadiah.
Patronase dan Korupsi
Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubumgan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara, antara pemimpin (patron) dan pengikutnya (klien).). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk di­tawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghor­matan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai ben­tuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindi-mgan kepada kliennya. Begitulah cara mereka mengubah kekayaan menjadi kekuasaan.
Sedangkan mengenai masalah 'korupsi', yang beberapa kali muncul ke permukaan dalam tulisan ini, perlu mendapat sedikit lagi perhatian. Apakah istilah ini tidak lebih dari sekedar penilaian pribadi,yang menunjukkan turunnya moral masyarakat.
Misalkan kita mendefinisikan korupsi secara relatif longgar sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas-tugas formal pejabat publik. Dalam situasi sosial bagaimanakah perilaku semacam ini muncul atau tumbuh subur? Atau pertanyaan lain, dalam situasi yang bagaimanakah ia dirasakan tumbuli subur? Jika pertanyaannya kita buat seperti ini, maka tampak oleh kita bahwa korupsi itu sebagiannya bergantung pada pan­dangan orang yang melihatnya. Semakin teroganisir secara formal suatu masyarakat, akan semakin tegas perbedaan antara lingkup publik dan lingkup pribadi, dan akan semakin jelas pula kasus-kasus korupsinya.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah suatu konsep yang sering dijelmakan secara konkret. Salah satu implikasi dari pendekatan antropologis terhadap kekuasaan ini ialah bahwa keberhasilan atau kegagalan relatif atas bentuk-bentuk organisasi politik tertentu.Demokrasi gaya barat, umpamanya  di wilayah-wilayah atau masa­masa tertentu akan tetap tak terpahami apabila kebudayaannya yang lebih lugs tidak dikaji. Implikasi lainnya ialah perlunya mengkaji secara serius simbol-simbol untuk mengenali kekuat­annya dalam memobilisasi dukungan politik. Pemilihan umum modem, misalnya, telah dikaji sebagai semacam ritual yang lebih memusatkan perhatian kepada pribadi-pribadi ke­timbang isu-isu sebab pribadi-pribadi itulah yang mem­buatnya lebih dramatis dan menarik .
Pusat Dan Pinggiran
Proses sentralisasi politik merupakan objek kajian tradisisional. Sedang 'daerah pinggiran' adalah konsep yang relative baru yang  muncul sebagai akibat adanya perdebatan di antara para ahli ekonomi pembangunan, seperti Raul Prebisch, Paul Baran,dan  Andre Gunder Frank pada tahun 1950-an dan tahun 1960.
Istilah 'pusat' kadang-kadang digunakan dalam pengertian harfiah (geografis), tetapi ada kalanya dalam arti kiasan (politik atau ekonomi). Akibatnya, pernyataan-per­nyataan seperti 'sentralisasi Perancis adalah hasil kerja Louis XIV' amat kurang jelas dibanding dengan apa yang dipahami secara sepintas.
Sedangkan pendekatan yang lebih positif dan konstruktif terhadap ping­giran mungkin dengan menganalisisnya sebagai daerah perba­tasan yang telah dianalisis orang sejak masa F. J. Turner, se­bagai daerah yang menginginkan kebebasan dan kesetaraan, tempat berlind-LLngnya para pemberontak dan penyebar berita bid'ah.
Hegemoni dan Resistansi
Salah satu persoalan yang timbul dari akibat dari penggunaan konsep pusat dan pinggiran adalah masalah relasi kedua konsep ini apakah hubungannya saling melengkapi ataukah saling berlawanan (Resistansi)?
Pertanyaan tentang diterima atau tidaknya nilai-nilai yang dianut kelas penguasa oleh masyarakat di suatu tempat dan waktu tertentu memang sulit untuk menjawabnya. Sekiranya benar diterima, mengapa wring terjadi penentangan (untuk tidak mengatakan pemberontakan terbuka). Sekiranya tidak diterima, mengapa kelas penguasa bisa terus berkuasa? Antonio Gramsci seorang Marxis dari Italia, mengatakan bahwa hal semacam itu [di antara keduanya] pasti ada. la menggunakan istilah 'hege­moni.
Ide dasar Gramsci ialah bahwa kelas penguasa memerintah tidak dengan kekerasan (atau dengan kekerasan semata-mata) melainkan dengan persuasi hingga pada akhirnya tidak akan menimbulkan adanya penentangan atau Resistansi.
Gerakan Sosial
Kadang-kadang, penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam 'gerakan sosial' lain. Istilah ini muncul di kalangan sosiologiwan Amerika Se­rikat pada tahun 1950-an. Salah sate sejarawan yang pertama kali memakai istilah ini adalah Eric Hobsbawm, yang bukunya Primitive Rebels [Pemberontak Primitif] diberi anak judul 'Stud­ies in Archaic Forms of Social Movement in the Nineteenth acid Twentieth Centuries' [Kajian tentang Bentuk-bentuk Kimo Ge­rakan Sosial Abad ke-19 dan ke-20], yang mencakup mulai dari para bandit hingga orang-orang yang percaya akan segera da­tangnya milenium [zaman kebenaran dan kebahagiaan].
Mentalitas dan Ideologi
Persoalan-persoalan politik berupa dominasi dan penentangan (resistensi) membawa kita menoleh kembali ke aspek kebuda­yaan, ke persoalan etos, mentalitas, atau ideologi.
Jika para sejarawan ingin memusatkan perhatian pada sikap dan nilai-nilai setiap orang yang hidup disuatu masyarakat tertentu, sebaiknya mereka mengenali betul dua konsep yang berlawanan yaitu mentalitas dan ideology
Sejarah mentalitas pada dasarnya adalah pendekatan aliran Durkheim terhadap ide-ide kendatipun dia sendiri lebih suka memakai istilah represensi kolektif.
Ideologi oleh Mannheim di bedakan menjadi 2 yaitu total ideology dimana didalamnya menyiratkan adanya asosiasi antara keyakinan atauu pandangan terhadap dunia dan kelompok social atau kelas social.Sedangkan yang kedua adalah particular ideogi adalah pandangan yang menganggap bahwa ide-ide atau representasi boleh jadi digunakan untuk mempertahankan tatanan social atau politik tertentu.
Komunikasi dan Penerimaan ( Resepsi )
Studi mengenai ideology mengarah kepada pengkajian terhadap cara-cara menyebarnya ide ,dengan kata lain tentang komunikasi. Selanjutnya diilhami oleh Hymes, Fishman dan koleganya, beberapa sejarawan tengah mengkaji sejarah sosial bahasa, perubahan­-perubahan bentuknya, dan berbagai fungsinva.271 Misalnya, bahasa adalah, seperti halnya konsumsi, cara beberapa kelom­pok sosial untuk membedakan diri dari kelompok lain.
Dalam hal ini bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada orang yang akan menerima pesan tersebut.
Oralitas dan Tekstualitas
Kebangkitan sejarah lisan sudah ada sejak generasi Lampau,namun baru akhir-akhir ini saja para sejarawan memberikan perhatian serius terhadap tradisi lisan sebagai suatu bentuk seni.Tulisan juga semakin banyak diteliti sebagai suatu media vang memiliki sejumlah kualitas khusus serta keterbatasan.
Jack Goody telah menerbitkan serangkaian studi tentang konsekuensi melek huruf, yang menveb-Litkan bahwa pengon­trasan antara dua jenis mentalitas yang dibuat oleh Levy-Bruhl, Levy-Strauss dan lain-lain dapat dijelaskan dari sudut dua modus [cara] komunikasi, lisan dan tulisan. Sebagai misal, su­atu daftar tertulis lebih mudah disusun kembali dibanding daftar yang diingat [tidak tertulis]; jadi, dengan cara ini tulisan dapat mendorong abstraksi. Akan tetapi, tulisan meningkatkan kesadaran akan adanya alternatif yang mengubah sistern tertutup menjadi sistem terbuka. Pada pengertian ini, 'tulisan menstrukturisasi kembali kesadaran.
Argumen ini telah dikritik karena terlalu menekankan pada perbedaan antara cara komunikasi lisan dan tulisan, dengan inengabaikan kualitas komunikasi lisan dan memperhatikan penulisan, dan karena memperlakukan kemelekan huruf seba­gai suatu tehnik yang netral yang dapat dilepaskan dari kon­teksnya.Kritik-kritik itu lebih bersifat memperbaiki ketim­bang meruntuhkan tesis sentral tersebut, dan juga menyaran­kan arch penelitian barn, misalnya tentang interaksi atau 'in­terface' [pertautan] antara komunikasi lisan dan tulisan.


Mitos
Mitos adalah suatu cerita tentang masa lampau yang berfungsi sebagai piagam untuk masa kini. Artinya,cerita itu menjalankan fungsi menjustifikasi beberapa pranata yang ada di masa kini sehingga dapat mempertahan­kan keberadaan pranata tersebut.
BAB VI
MASALAH-MASALAH POKOK

Fokus bab ini ialah tiga pasang konflik intelektual. Pertama, pertentangan antara ide tentang fungsi (atau struktur) di satu sisi dan ide tentang peranan manusia (sang'aktor') di sisi lain. Kedua, ketegangan antara pandangan yang melihat kebudayaan hanya sebagai 'suprastruktur' dan yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan aktif sejarah (apakah sebagai pendorong perubahan atau kontinuitas). Ketiga, konflik antara pandangan bahwa sejarawan, sosiologi­wan, antropologiwan, dan lain-lain menyajikan 'fakta-fakta' tentang masyarakat masa kini atau masa lampau dan pendapat bahwa hasil karya mereka hanya sejenis fiksi.
Fungsi
'Fungsi, atau paling tidak dulunya, adalah konsep kunci da­lam teori sosial. Fungsi mLmgkin terlihat sebagai konsep yang aman saja, yang artinya kira-kira kegunaan lembaga. Akan tetapi, apabila didefinisikan dengan lebih tepat, ada sisi pen­ting yang membuat konsep ini lebih menarik sekaligus lebih berbahaya. Fungsi tiap-tiap bagian struktur, demikian kata definisi, adalah untuk memelihara keutuhan struktur. 'Memeli­hara' berarti menjaga 'keseimbangan' struktur (dalam analogi yang terkenal, keseimbangan antara dunia alam, mulai dari mekanika sampai biologi, dan dunia masyarakat). Yang mem­buatnya menarik sekaligus berbahaya ialah bahwa teori tidak hanya bersifat menggambarkan (deskriptif) tetapi juga menje­laskan (eksplanatori). Keberadaan suatu adat kebiasaan atau pranata tertentu, menurut para fLmgsionalis, adalah karena kontribusinya bagi keseimbangan sosial.
Fungsionalisme adakalanya dikritik sebagai cara remit untuk mengatakan hal yang sudah jelas. Akan tetapi, pada kasus­kasus tertentu, penjelasan para fungsionalis malah lebih melecehkan akal sehat ketimbang menegaskannya, seperti pada kasus analisis fungsi sosial konflik.Sejak sekitar tahun 1920 ningga tahun 1960 pendekatan fungsional mendominasi sosiologi dan antropologi sosial sedemikian kuatnya sehingga pendekatan ini sampai akhir periode tersebut bukan dianggap sebagai salah satu dari sekian banyak cara analisis, melainkan sebagai satu-satunya metode sosiologis.
Daya tarik fungsionalisme bagi sejarawan adalah bahwa fungsionalisme mampu mengimbangi tendensi tradisional yang suka terlalu banyak menjelaskan hal-hal masa lalu yang menyangkut  kehendak (intensions) individu.Namun disisi lain fungsionalisme juga banyak menimbulkan banyak masalah.
Tampaknya ada hubungan elektif (keberpihakan) antara beberapa masalah stabilitas dan metode analisis fungsional. Meski de­mikian, contoh itu dapat memberi gambaran tentang kelemahan dan kekuatan metode tersebut. Misalnya, ada persoalan perubahan. Dunia ini bukan Venesia saja, dan konflik dan krisis yang kerap terjadi antara republik-kembar Florence dan Genoa —sekedar contoh terdekat— sulit dijelaskan dengan perspektif fumgsionalis. Bahkan untuk kasus Venesia pun, sisternnva tidak kekal. Republik ini lenyap di tahun 1797, dan selama beberapa abad sebelun-Lnya di sang terjadi sej-Lm-dah krisis yang menim­bulkan perubahan sosial—ditutupnya perekrutan anggota bani Dewan Agung, semakin besarnya peranan Dewan Sepuluh, perubahan dari kerajaan maritim menjadi kerajaan yang ber­pusat di Italia bagian utara, dan. seterusnya.
Perubahan sering merupakan akibat dari konflik, yang agak­nya dapat mengingatkan kita bahwa dalam pendekatan fung­sional yang versinya lebih canggih pun tetap terdapat penga­ruh Durkheimian, yakni model konsensual tentang masya­rakat.
Kesimpulannya, konsep fungsi adalah sebuah alat yang sama-­sama bermanfaat bagi para sejarawan dan teoretisi, asalkan konsep itu tidak dipertumpul dengan penggunaan yang han­tam kromo. Konsep ini memang dapat membuat terabaikannya perubahan sosial, konflik sosial, dan motif-motif individu, na­mun godaan semacam itu dapat dihindari. Tidak perlu meng­anggap bahwa setiap pranata pada suatu masyarakat tertentu memiliki fungsi positif, yang tanpa biaya ('disfungsi'). Tidak perlu pula beranggapan bahwa pranata tertentu harus adz agar fungsi tertentu dapat berjalan; karma pada masyarakat atau periode yang berbeda, pranata-pranata yang berbeda dapat saja berperan sebagai ekuivalen, analog, atau altematif-alter­natif ftmgsional.Bagaimanaptin, penjelasan fungsional ja­nganlah dipandang sebagai pengganti penjelasan-penjelasan historis lain, semuanya sating melengkapi dan bukannya ber­tentangan, sebab masing-masing penjelasan cenderung mem­beri jawaban atas pertanyaan yang berbeda-beda ketimbang memberi jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan yang sama."' Ini bukan berarti bahwa para sejarawan harus men­campakkan jauh-jauh kaum intensionalis melainkan mereka harus mengambil sesuatu yang mereka sendiri tidak memiliki equivalen fungsionalnya.
STRUKTUR
Analisis fungsional memberi perhatian pada 'struktur', bukan orang. Dalam pelaksanaannya, berbagai pendekatan terhadap masyarakat menggunakan konsepsi struktur yang tidak sama, paling tidak tiga di antaranya perlu dibedakan di sini. Pertama, pendekatan Marxian, di mana terminologi arsitektur yakni 'dasar' dan 'suprastruktur' adalah intinya, dan dasar atau in­frastruktur itu dipahami menurut konteks ekonomi. Pende­katan ini akan dianalisis lebih rinci pada bab berikut. Kedua, pendekatan struktural-fangasionalis, di atas telah kita bahas, di mana konsep'struktur'secara lebih umum digunakan untuk merujuk pada suatu kompleks pranatakeluarga, negara, sistem hukum, dan lain-lain.
Ketiga, yang sering disebut sebagai pendekatan'strukturalis', mulai dari Claude Levi-Strauss sampai Roland Barthes (dan dapat pula ditambahkan Michel Foucault sang penulis The order of Things), lebih mengutamakan perhatian pada struktur pemikiran atau sistem pola pikir, atau kebudayaan.
Oposisi antara strukturalis dan sejarah jangan sampai dipukul rata. Levi-Strauss tidak mengabaikan sejarah, dia menaruh perhatian pada topik-topik seperti sejarah komparatif perka­winan. Barthes sendiri menerobos lahan garapan sejarawan ketika is mengernukakan analisis strukturalis mengenai wacana sejarah. Lotman pun banyak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengkaji kebudayaan tradisional Rusia.Mitologi Yunani keno, misalnya, dan kehidupan orang­orang suci zaman pertengahan (yang wring kali menceritakan hal yang sama tentang orang yang berbeda) telah dianalisis menurut paradigms Propp dan Strauss, yang menekankan pada unsur-unsur yang selalu berulang serta perbedaan hitam­putih (binary opposition).
Psikologi
Sampai sejauh ini peranan psikologi masih agak marjinal dalam pembahasan keilmuan ini.Alasannya terletak pada relasi antara relasi psikologi dan sejarah.Keengganan sejarawan untuk mengadopsi psikologi selain dari penolakan teori di kalangan empiris kemungkinan juga adalah karena banyaknya versi yang saling bersaing selain itu juga dikarenakan waktu yang kurang tepat bagi terjalinnya perpaduan antara sejarah dan psikologi, di mana ketika itu para sejarawan sedang cenderung menjauhkan diri dari'orang­orang hebat' dan lebih memfokuskan kepada masyarakat banyak. Bagi sejarawan mana itu, persoalan kepribadian Hitler, misalnya, tidak sepenting sikap orang Jerman yang mudah terpengaruh oleh gava kepemimpinannya.
Sementara itu, antropologiwan dan sosiologiwan pun selalu menjaga jarak dari psikologi. Durkheim mendefinisikan so­siologi sebagai ilmu tentang masyarakat, sedangkan psikologi adalah ilmu tentang individu. Pada dasawarsa 1930-an dan 1940-an, ada usaha-usaha untuk mendekatkan kedua disiplin, misalnya karya mazhab 'kebudayaan dan kepribadian' Ame­rika Ruth Benedict, salah satunya atau sintesis pendapat Weber dan Freud yang diajukan oleh Norbert Elias atau sintesis pandangan Marx dan Freud oleh Erich Fromm, atau kajian kolektif tentangkepribadian otoriter yang dipimpin oleh Theodor Adormo.
Teori psikologi bermanfaat bagi para sejarawan paling tidak melalui tiga cara.Pertama sejarawan terbebas dari asumsi yang hanya berdasarkan akal sehat( human nature),kedua teori psikologiwan memberikan sumbangan terhadap proses kritik sumber dan yang ketiga adalah adanya sumbangan para psikologiwan dalam perdebatan mengenai hubungan antara individual dan masyarakat.
Bentuk sumbangan lain para psikologiwan dalam membantu mendefinisi ulang hubungan antara individu dan masyarakat adalah dengan cara membahas pola pemeliharaan anak pada berbagai kebudayaan, dan pembahasan itu mungkin dapat mengungkapkan sejumlah masalah kesejarahan
Kebudayaan
Kebudayaan adalah sebuah konsep yang definisinya sangat beragam. Pada abad ke-19, istilah 'kebudayaan' umumnya di­gunakan untuk seni rupa ,sastra ,filsafat ,ilmu alam dan ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosialnya .331 Peningkatan kesadaran inilah yang membuat maraknya so­siologi kebudayaan atau sejarah sosial kebudayaan. Tendensi ini pada dasarnya berwama Marxis atau Marxian dalam arti bahwa seni, sastra, musik, dan sebagainya dipandang sebagai semacam suprastruktur, yang merefleksikan perubahan­perubahan yang terjadi di bidang ekonomi dan sosial yang menjadi 'dasar' atau fondasinya. Satu contoh tipikal dari genre ini adalah Social History acid Art karya terkenal Arnold Hauser, yang menyatakan bahwa seni Florence pada abad ke-15, misalnya, adalah bercirikan 'materialisme kelas menengah', atau menyebut bahwa Mannerisms adalah ekspresi artistik krisis politik dan ekonomi yang terjadi setelah ditemukannya benua Amerika pada tahun 1492 pada dan diinvasinya Italia oleh Perancis pada tahun 1494.
 Pada beberapa dasawarsa terakhir pendekatan ini telah tenggelam karena adanya dua perkembangan yang sejajar dan saling terkait.
Pertama, makna istilah 'kebudayaan' telah semakin meluas karena semakin luasnya perhatian para sejarawan, sosiologi­wan, kritisi sastra, dan yang lain. Perhatian semakin banyak dicurahkan kepada kebudayaan populer, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat awam .
Kedua karena semakin luasnya makna kebudayaan maka semakin meningkat pula kecenderungan untuk menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang aktif , bukannya pasif.
Bentuk pergeseran dalam studi kebudayaan telah memberi banyak penjelasan, namun juga me­nimbulkan sejumlah masalah vang belum ditemukan peme­cahannya secara memuaskan. Misalnya, mengenai masalah 'konstruksi' sulit untuk membantah adanya warna reduksionisme di dalam beberapa pendekatan tradisional terhadap kebudayaan, baik pendekatan Durkheimian maupun Marxian, akan tetapi jika reaksi terhadap pendekatan ini adalah dengan mencari pendekatan yang berlawanan arahnya maka itu berarti kita telah melangkah terlalu jauh.
Fakta dan Fiksi
Sejarawan, sebagaimana psikologiwan dan antropologiwan, terbiasa mengasumsikan bahwa mereka bergelut dengan fakta-­fakta, dan bahwa teks-teks yang mereka babas merupakan refleksi realitas sejarah. Asumsi ini telah hancur lebur oleh serangan para filsuf , apakah serangan itu 'mencerminkan' atau tidak perubahan mentalitas yang lebih luas dan lebih dalam." Kini perlu dipertimbangkan klaim yang mengatakan bahwa sejarawan dan etnografer sama dengan novelis dan pujangga yang kerjanya sama-sama mengurusi fiksi, dengan kata lain mereka juga penghasil 'artefak sastra' dilihat Bari aturan genre dan gaga (tak penting apakah mereka mengetahui aturan-aturan itu atau tidak). Studi terkini tentang 'puisi­-puisi etnografi telah menggambarkan karya para sosiologiwan dan antropologiwan sebagai 'konstruksi tekstual' tentang reali­tas, dan menyamakannya dengan karya para novelis.
Dengan kata lain, batas antara fakta dan fiksi, yang dulu tam­pak sangat tegas, telah semakin mengabur di era yang dinama­kan'postmodern 'ini. (Sebaliknya, sekaranglah kita baru melihat bahwa batas tersebut senantiasa terbuka. Yang masih disayangkan adalah bahwa mayoritas sejarawan profesional  masih sangat enggan untuk mengakui warna sastra di dalam karya yang mereka hasilkan, tepatnya konvensi-konvensi sastra yang mereka ikuti.
Hal yang sama dapat pula dikemukakan mengenai sosiologiwan dan antropologiwan. Apakah untuk merekonstruksi gambaran yang mereka bahas itu mereka menggunakan dokumen ­atau sepenuhnya berdasarkan hasil wawancara, perbincangan tidak resmi dan obsenasi personal,apakah mereka mengikuti strategi penelitian yang mencakup kriteria reliabilitas, keter­wakilan, dan lain-lain. Oleh karena itu, yang seharusnya kita perdebatkan adalah soal kompatibilitas (kecocokan) atau perten­tangan antara kriteria-kriteria di atas dan antara berbagai ben­tuk teks dan retorika (bukannya mengenai dilema usang antara fakta dan fiksi, sains dan seni).

BAB V
TEORI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL

Pada banyak kasus dalam bab-bab terdahulu, pendekatan­pendekatan tertentu, mulai dari fungsionalisme sampai struk­turalisme, telah banyak dikritik karma tidak memperhitung­kan perubahan.
Perlu ditekankan sejak awal bahwa istilah 'perubahan sosial' adalah istilah vang taksa). Kadangkala istilah ini digunakan dalam pengertian yang sempit, yang mengacu kepada penibahan-pentbahan struktur sosial (keseimbangan di antara berbagai kelas sosial, misalnya), tetapi juga kadang-kadang digunakan pula dalam pengertian yang sangat luas yang mencakup organisasi politik, perekonomian, dan kebudayaan. Pada bab ini penekanannya adalah pada definisi yang lebih luas.
Model-model mengenai perubahan terbagi menjadi dua yaitu model konflik dan juga model evolusi atau agar lebih mudah kita gunakan istilah Model Marx dan Model Spencer.
Model Spencer
Model Spencer
'Spencer' adalah label yang diberikan pada model yang mene­kankan pada evolusi sosial, dengan kata lain perubahan sosial yang berlangsung secara pelan-pelan dan kumulatif ('evolusi', bukannya 'revolusi'), dan perubahan sosial itu ditentukan dari dalam ('endogen', bukannya 'eksogenus'). Proses endogen ini sering digambarkan dalam arti 'diferensiasi struktural', atau dengan kata lain suatu perubahan dari yang sederhana, tidak terspesialisasi dan informal ke yang kompleks, terspesialisasi dan formal, atau menurut ungkapan Spencer sendiri, peru­bahan dari 'homogenitas yang tidak koheren' ke 'heterogenitas koheren'. Inilah yang secara leas dikatakan sebagai model perubahan yang digunakan oleh Durkheim dan Weber.
Durkheim, yang tidak sependapat dengan Spencer dalam banyak hal, mengikuti cara Spencer dalam menggambarkan perubahan sosial dalam hal yang pada esensinya bersifat evolusioner.
Berikut ini, 'masyarakat tradisional' dan 'masyarakat modern' ditampilkan sebagai tipe- tipe anti­tesis berikut.
1. Hierarki sosial tradisional adalah berdasarkan pada ke­lahiran (ascription) dan mobilitas sosialnya rendah. Seba­liknya, hierarki modern adalah berdasarkan merit ('pres­tasi') dan mobilitas sosialnya tinggi.
2. Modus-modus antitesis organisasi sosial ini berkaitan de­ngan sikap-sikap (kalau bukan mentalitas ) antitesis; sikap untuk berubah, misalnya. Di dalam masya­rakat tradisional, yang perubahannya lambat, orang-orang cenderung tidak suka perubahan atau tidak tabu telah ter­jadi perubahan (suatu gejala kadangkala dinamakan 'am­nesia struktural' ) sedangkan pada masyarakat modern perubahan berlangsung cepat dan konstan ,sangat menyadari dan mengharapkan akan perubahan.
3. Tentang pertentangan-pertentangan mendasar tersebut masih bias ditambahkan beberapa lagi.Budaya masyarakat tradisional  sering dikatakan religious,magis bahkan tak rasional sementara budaya masyarakat modern dianggap sekuler, rasional, ilmiah.
Karena dibuat di negara-negara yang sedang dalam proses industrialisasi di akhir abad ke-19, pada tahun 1950-an model Spencer itu dikembangkan lebih lanjut untuk menjelaskan perubahan di NegaraKetiga.
Ada tiga macam,kekurangyakinan yang mereka kemukakan, mengenai arah perubahan sosial, penjelasan-penje­lasannya, dan mekanismenva.
Pertama, dengan memperluas wawasan kita hingga mencapai satu-dua abad yang lampau maka akan jelas bahwa perubahan bukanlah satu garis lurus (unlinerar), dan sejarah bukanlah jalan satu arah.
Kedua, para sejarawan meragukan penjelasan tentang per­ubahan sosial yang dibangun dalam model Spencer, asumsi bahwa perubahan pada dasarnya bersifat internal bagi sistem sosial, yang berupa pengembangan potensi, bertumbuhnya cabang-cabang.
Ketiga, bila kita ingin memahami mengapa perubahan sosial terjadi, strategi yang balk untuk memulai adalah dengan me­ngamati bagaimana perubahan itu terjadi.
Pendek kata, perubahan sosial ternyata lebih bersifat multili­near ketimbang unilinear. jalan menuju modernitas tidak ha­nya satu. jalan-jalan tersebut belum tentu mulus, seperti yang dapat kita lihat pada contoh Perancis setelah tahun 1789 dan Rusia setelah tahim 1917. Selanjutnya kita akan membahas pula model Marx untuk melihat analisis perubahan sosial yang menekankan pada krisis dan revolusi.
Model Mark
Secara ringkas model mark dapat dijelaskan sebagai model atau teori tentang sekuens (tahapan) perkem­bangan masyarakat ('formasi sosial') yang bergantung pada sistem ekonomi (cara-cara/modus produksi) dan mengandung konflik-konflik sosial ('kontradiksi') yang mengakibatkan tim­bulnya krisis, revolusi, dan perubahan yang terputus-putus. Tentu ada ketaksaan (ambiguitas) pada teori ini, yang mem­buka peluang bagi berbagai penafsiran, ada yang menekankan pada pentingnya kekuatan produksi, kekuatan politik, dan ke­kuatan kebudayaan, serta peluang untuk memperdebatkan apakah faktor-faktor produksi menentukan relasi-relasi pro­duksi atau sebaliknva.
Dalam beberapa hal model Marx sedikit lebih dari sekadar sebuah variasi model modernisasi, yang dapat dibahas secara relatif singkat. Seperti model Spencer, model Marx mencakup gagasan tentang tahapan bentuk-bentuk masyarakat — ma­syarakat kesukuan, budak, feodal, kapitalis, sosialis dan ko­munis. Feodalisme dan kapitalisme, formasi-formasi sosial yang paling rinci dibahas dalam buku ini, praktis didefinisikan secara hitam-putih — seperti hitam-putihnya masyarakat mo­dern dan tradisional. Sebagaimana model Spencer, model Marx menjelaskan perubahan sosial dari perspektif faktor-faktor endogen (orang dalam), yang menekankan pada dinamikaInternal cara produksi. Akan tetapi, paling tidak dalam beberapa versi, model Marx dapat menghadapi tiga kritikan utama terhadap model Spencer sebagaimana terangkum di atas.
Pertarna, model ini mengakomodasikan perubahan yang arah­nya 'keliru', misalnya apa yang disebut 'refeodalisasi' di Spa­nyol dan Italia dan bangkitnya perbudakan di Eropa Tengah dan Eropa Timur pada waktu yang bersamaan dengan tum­buhnya kelompok borjuis di Inggris dan Republik Belanda
Kedua, model ini memberi tempat bagi penjelasan-penjelasan perubahan sosial dari perspektif faktor eksogen (luar). Dalam kasus Barat, umun-Lnya disepakati bahwa penjelasan ini kurang dipentingkan.
Secara umum, kalau model Spencer menggambarkan proses modernisasi sebagai serangkaian perkembangan yang sama di wilayah-wilayah vang berbeda, model Marx justru mem­berikan penjelasan yang lebih global yang menekankan pada relasi antara perubahan pada suatu masyarakat dan perubahan di masyarakat lain.
Ketiga disbanding dengan model Spencer ,model Mark jauh lebih memperhatikan mekanisme perubahan social,utama dalam hal transisi dari feodalisme ke kapitalisme,perubahan di lihat dalam artian dialektik.
Dengan kata lain, penekanannya adalah pada konflik dan pada akibat yang bukan hanya tidak dimaksudkan melainkan sangat berlawanan dengan apa yang direncanakan dan diharapkan. Jadi, pembentukan (formasi) social yang dulu merupakan kekuatan-kekuatan produktif yang bebas kini kembali 'ke belenggLmya', dan kaum borjuis menggali kuburnya sendiri dengan memancing lahirnya kelompok proletar.
Mengenai persoalan perkembangan yang bersifat unilinear dan multilinear, kalangan Marxis tidak sate pendapat. Skema masyarakat suku-budak-feodal-kapitalis jelas tidak linear. Kendati demikian, Marx sendiri menganggap skema ini hanya sesuai untuk sejarah Eropa.
Jalan Ketiga ?
Dengan keberadaan dua model perubahan sosial tersebut, masing-masing dengan kekuatan dan kelemahan tertentu, sebaiknya diselidiki kemungkinan penyusunan sebuah sinte­sis. Sintesis ini mungkin sifatnya mirip pencampuran zat kimia, dengan kata lain mengawinkan hal-hal yang bertentangan.
Bagairnanap un, paling tidak dalam beberapa hal, model Marx dan model Spencer lebih saling melengkapi ketimbang saling bertentangan.
Adakah jalan ketiga, yakni sebuah teori atau model perubahan sosial yang lebih jauh jangkauannya dibanding dengan model Marx dan Spencer? Pada tahun 1980-an telah dihidupkan kembali sosiologi sejarah yang meliputi sejumlah upaya untuk menemukan model ketiga itu, misalnya model-model yang diajukan oleh Anthony Giddens, Michael Mann, dan Charles Tilly.Ketiga model yang mereka ajukan ini memiliki kesa­maan dalam beberapa ciri dasarnya yang penting, terutama dalam hal penekanan pada politik dan perang. Giddens, misal­nya, memulai tulisannya the Nation-State and Violence dengan sebuah kritik terhadap evolusionalisme social dengan alasan bahwa pendekatan evolusionalisme ini lebih menekankan ini factor-faktor ekonomi ( sumber daya alokatif ) tetapi mengabaikan factor-faktor politik.
Enam Monograf dalam Upaya Mencari sebuah Teori
Model 1: Norbert Elias
Studi yang dilakukan oleh mendiang Norbert Elias tentang 'proses peradaban' merupakan sebuah karya yang mengalami nasib tidak lazim .Pertama kali diterbitkan. di Jerman di ta­hun 1939, buku itu praktis terabaikan selama beberapa dasa­warsa. Baru pada tahun 1970-an (atau di negara-negara ber­bahasa Inggris, pada tahun 1980-an) kajian tersebut mendapat perhatian serius yang selayaknya dari para sosiologiwan dan sejarawan. Sudah barang tentu terdengar agak aneh bila buku Elias ini dinamakan sebagai 'monograf. Maksudnya, karya tersebut adalah sebuah sumbangan terhadap teori sosiologi. Sebagaimana Talcott Parsons, dan waktunya pun nyaris se­zaman dengan Parsons, Elias berusaha mensintesiskan ga­gasan-gagasan Weber, Freud, dan Durkheim."
Akan tetapi, dibanding Parsons, Elias lebih banyak tertarik dengan bidang sejarah dan oleh karena itu karyanya kaya de­ngan detail konkret. Bukunya disebut sebagai sebuah mono­graf dalam arti buku itu memusatkan perhatian pada aspek­aspek tertentu kehidupan sosial di Eropa Barat, khususnya di akhir Abad Pertengahan.
Model 2: Michel Foucault
Karya Michel Foucault berjudul Discipline and Punish (1975) merupakan contoh (model) lain dari monograf yang menibawa implikasi kuat terhadap teori. Seperti studi yang pernah dilakukan oleh pengarang yang sama, Madness and Civiliza­tion (1961), karya tersebut mengkaji tentang Eropa Barat pada periode 1650-1800. Foucault bercerita mengenai perubahan besar dalam teori-teori pen-hukuman, mulai dari retribusi sampai pelarangan, dan juga perubahan besar dalam pelak­sanaan hukuman, mulai dari 'mempertontonkan' sampai 'pengintaian'. Penulis menolak penjelasan tentang pengha­pusan eksekusi hukuman secara terbuka demi alasan kemanu­siaan, seperti halnya dia menolak penjelasan tentang mening­katnya pusat perawatan orang gila. Sebaliknya dia menekan­kan berkembangnya apa yang sebut sebagai 'masyarakat berdisiplin', yang semakin tampak jelas pada akhir abad ke­17 dan ke-18 di barak-barak, pabrik-pabrik, sekolah-sekolah, dan di penjara-penjara. Sebagai gambaran yang hidup tentang
j                             ZD
tipe masyarakat baru ini dia memilih proyek terkenal Jeremy Bentham tentang 'Panopticon', sebuah penjara ideal di mana sipir penjara dapat melihat semuanya sementara dia sendiri tidak terlihat. Tempo-tempo, Foucault tampaknya menghan­tam teori modernisasi, dengan menulis tentang kebangkitan disiplin bukan tentang maraknya kebebasan. Akan tetapi, pandangannya tentang masyarakat birokrasi yang represif mempunyai kemiripan penting dengan pandangan Max Weber tentang masyarakat birokrasi.
Model 3: Fernand Braudel
Mendiang Fernand Braudel hanya membutuhkan waktu separuh dari waktu Norbert Elias untuk mendapat pengakuan. Studinya tentang dunia Laut Tengah semasa Raja Philip II dari Spanyol membuat dirinva terkenal di Perancis segera setelah karya itu diterbitkan pada tahun 1949. Hanya saja, baru akhir­akhir ini relevansi karya Braudel itu dipahami oleh para teo­retisi sosial, setidak-fidaknya di Perancis, di mana Braudel dulu berdebat dengan sosi.ologiwan Georges Gurvitch.
Gagasan sentral Braundel ialah bahwa perubahan-perubahan kesejahteraa berlangsung dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Model 4 : Model Emmanuel Le Roy Ladurie
Penerusnya yang paling cemerlang, Emmanuel Le Roy Ladurie telah meneliti perubahan yang terjadi selama lebih dari 2 abad di sebuah kawasan Laut Tengah dalam sebuah monograf panjang yang difokuskan pada petani kecil di LAnguedoc. Seperti halnya Braudel, Le Roy Ladurie amat tertarik kepada geografi— dia pernah menulis tentang sejarah iklim
Studi Le Ray tentang Languedoc menitikberatkan pada apa yang disebut penulisnya sebagai 'sebuah siklus besar per­tanian, yang berlangsung sejak abad ke-15 sampai permulaan abad ke-18'. Pola dasar periode inilah yang merupakan salah satu dari pertumbuhan yang mengakibatkan kemunduran (yang kemudian membawa kembali kepada pemulihan).
Model 5 : Nathan Wachtel
Dalam studinya tentang Peru setelah ditaklukkan Spanyol, seorang sejarawan Perancis lain, Nathan Wachtel, juga mem­beri perhatian pada peran penduduk dalam perubahan sosial. Meskipun demikian, alasan kita untuk mengangkat mono­grafnya pada bagian ini ialah karma tulisannya itu membahas tentang perubahan yang dibawa pihak luar ke dalam masya­rakat tertentu. Tema utama Wachtel adalah'krisis yang ditim­bulkan oleh penaklukan'. Istilah-istilah pokok dalam uraian­nva tentang perubahan sosial dan kultural yang terjadi antara tah-an 1530 dan tah-an 1580 adalah'destrukturasi' (istilah yang diambil dari sosiologiwan Vittorio Lanternari), darCakulturasi' (istilah yang, seperti kita ketahui, diambil dari antropologi Amerika) .
Yang dimaksudkan Wachtel dengan 'destrukturasi' (istilah yang juga dipakai oleh Gurvitch) adalah hubungan antara berbagai bagian dalam sistem sosial tradisional. Pranata­pranata tradisional dan adat kebiasaan dapat bertahan dari penaklukan, tetapi struktur lama berantakan. Upeti, misalnya, masih tetap bertahan, tetapi tidak lagi didukung dengan sistem redistribusi lama yang dulu merupakan bagian dari pemerintahan.
Model 6: Marshall Sahlins
Variasi cerdas lain dari model akulturasi diajukan oleh antro­pologiwan Chicago, Marshall Sahlins, dalam sebuah penje­lasannya yang bertolak dari kedatangan Kapten Cook di Ha­waii pada tahun 1779. Model yang diajukannya dapat dikelom­pokkan atas empat bagian atau tahapan, diawali dari narasi, lalu interpretasi dan analisis, kemudian sampai pada teori Umum.
1. Saat berkunjung di Hawaii, Cook disambut dengan sangat antusias sekitar seribu orang, yang datang dengan perahu untuk menemuinya. la diantar menuju kuil dan mengikuti acara ritual yang memuja dirinya. Beberapa minggu ke­mudian dia datang lagi di pulau itu, sambutan yang is te­rima jauh lebih dingin. Kemudian banyak orang Hawaii menjadi pencuri dan untuk menghentikan mereka, dibu­nuhlah Cook. Tetapi, beberapa tahun kemudian, pimpinan bare, Kamehameha, membuat kebijakan yang menjalin hubungan persahabatan dan dagano, dengan Inggris.
2. Sahlins menginterpretasikan sambutan terhadap Cook itu (atau lebih tepatnya, berbagai penjelasan tentang kejadiantersebut dengan sebuah hipotesis bahwa orang – orang tersebut melihat cook sebagai reinkarnasi dari dewa hingga pembunuhan tersebut dianggap sebagai sebuah amalan pemujaan terhadap sang Dewa.
3. Sahlins menggunakan interpretasi ini untuk mengomentari secara lebih umum apa yang dia namakan interaksi antara system dan peristiwa yang terdiri atas dua poin yang saling melengkapi
4. Terakhir, Sahlins melanjutkan dengan pembahasan umum tentang perubahan sosial atau perubahan sejarah, yang mencatat bagaimana setiap upaya sadar untuk menangkal atau bahkan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan menimbulkan perubahan lain pada pihak-pihak yang se-clang berupaya tersebut, dan is menyimpulkan bahwa se­mua proses reproduksi budaya mengakibatkan timbulnya penyesuaian-penyesuaian. Kategori-kategori kebudayaan selalu berisiko bila dipakai untuk menginterpretasi du­nia
Kesimpulan
jelas bahwa keenam studi kasus itu mempunyai banyak implikasi terhadap studi perubahan sosial. Dalam kesimpulan ini, saga ingin mengomentari beberapa dari implikasi ini, dengan memusatkan pada tiga dikotomi yang keliru, yaitu pertentangan hitam-putih klasik antara kontinuitas dan per­ubahan, antara faktor internal dan eksternal, dan terakhir antara struktur dan peristiwa.
1. Konsepsi tentang perubahan secara tidak langsung terkait dengan konsepsi kontinuitas. Selama ini kontinuitas wring digambarkan secara negatif sebagai 'inertia', kelambanan saja, tetapi studi-studi kasus di atas menunjukkan cara-cara peng­gambaran yang lebih positif. Sebagai contoh, kepedulian Elias terhadap adab makan menyiratkan pentingnya melatih anak sebagai bagian dari proses peradaban. Mengajari anak penting artinya bagi terciptanya 'reproduksi' kultural (di depan, hlm.188), dan mungkin juga sebagai sarana perubahan yang efektif.
2.  Campur tangan dari luar ini tampak jelas pada kasus-kasus yang dibahas Wachtel dan Sahlins. Akan tetapi, sebagimana telah kita lihat, penjelasan mereka tentang perubahan di Peru dan Hawaii tidak hanya dari perspektif eksternal saja. Sebalik­nya, kedua penulis menekankan hubungan atau 'kesesuaian' antara faktor dalam. (endogeny dan faktor luar (eksogen), sama dengan cara para perancang teori resepsi (hlm. 146). Kita harapkan model-model perubahan social di masa mendatang akan membahas juga faktor-faktor yang menyebabkan seba­gian masyarakat relatif terbuka (atau rentan) terhadap penga­ruh luar, sedangkan sebagian lain lebih sanggup bertahan dari pengaruh tersebut — yang memang tidak mampu berbuat hal lain. Braudel membahas persoalan ini dalam beberapa halaman buku The Mediterranean, meski is tidak sampai melampaui generalisasi-generalisasi antitesis yang mengatakan'suatu per­adaban hares mampu menerima dan meminjam di camping memberi', sedangkan 'peradaban besar dapat juga dikenali me­lalui ketidaksudiannya untuk meminjam'. Tetapi apa yang me­nentukan'pilihan' (dan pilihan siapakah?) untuk menolak atau menerima penyerbu asing, teknologi asing, ide-ide asing?
3. Hubungan antara kejadian dan struktur telah disorot dalam teori sosial masa kini, terutama dalam bahasan Anthony Giddens tentang'strukturasi'.Para penulis studi kasus yang ditampilkan di atas melihat hubungan ini secara berbeda-beda. Bagi Braudel, peristiwa tidak lain hanyalah sesuatu yang tidak berarti, yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada struktur dalam tetapi sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali pengaruhnya terhadap perubahan-perubahan tersebut. Uraian Le Roy Ladurie tentang respons para petani terhadap 'konjungtur' ekonomis lebih menarik dan simpatik daripada Braudel.