Tampilkan postingan dengan label CURAHAN HATI SAHABAT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CURAHAN HATI SAHABAT. Tampilkan semua postingan

MANUSIA... BINATANGKAH ?

01.15 Add Comment

Aku heran dengan manusia, yang saling berebut untuk menjadi nomer satu. Mungkin itu memang sudah menjadi kodrat manusia pada umumnya. Namun satu hal yang tidak aku mengerti adalah ketika mereka juga masih tega untuk melahap saudara mereka sendiiri. Apakah itu sudah menjadi sebuah tradisi ?
Dimana masing-masing dari mereka hanya ingin mewujudkan apa yang menjadi egonya masing-masing tanpa mengindahkan akibat yang akan di derita, bahkan oleh orang lain sekalipun. Mungkin itulah sebabnya hingga mereka pun mendapat julukan selaku mahluk yang individual, yang selalu mementingkan diri sendiri.
Lantas dimanakah sosok manusia selaku mahluk sosial yang hidup membaur bersama manusia lainnya ? benarkah manusia itu juga seorang mahluk sosial yang bekerja sama? Sungguh aku masih menyangsikan semua itu.
Ketika di telaah secara lebih kritis maka akan di temukan bahwa wujud kebersamaan mereka pun pada akhirnya hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan individual yang tak akan bisa tercapai tanpa adanya campur tangan orang lain. Maka dari sini masih dapatkan manusia itu disebut mahluk sosial ? saya menyangsikan itu.
Beberapa hari ini aku pun mengalami hal itu sendiri, dimana sebuah ego mengalahkan rasa persaudaraan yang ada. Hanya demi sedikit nilai yang akan usang habis termakan masa mereka pun rela untuk mencaci dan melukai hati saudaranya. Sebuah ketakutan timbul di hati mereka, takut bahwa nilai itu jatuh ke tangan orang lain, walau mereka adalah saudaranya sendiri.
Manusia...
Mereka adalah mahluk yang beradab, dengan senyum manis yang tersemat di bibir. Senyum yang mencerminkan ketulusan hati.
Ya...
Hanya cerminan..
Bayangan dari pantulan kenyataan yang sungguh bertolak belakang..
Sebuah senyuman yang menikam di akhirnya.
Mungkin benarlah sebuah ungkapan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya “. Serigala yang seringkali berbulu domba dan menyembunyikan niat busuk mereka di balik senyuman yang tampak bersahabat itu. Yang menikam dan membinasakan di saat penghabisannya. Mereka hanya sedang menunggu waktu untuk memilih saat yang tepat guna melancarkan serangan mereka.
Whaahahahahhahaha...

BELAJARLAH UNTUK MATI MAKA KAU AKAN MENIKMATI HIDUPMU....

01.00 Add Comment

Belajarlah untuk mati  maka kamu akan  hidup, karena tidak ada orang yang sungguh-sungguh menikmati hidup kecuali mereka yang telah belajar dengan sungguh-sungguh tentang kematian. Sungguh seringkali kebanyakan dari kita seringkali menganggap kematian merupakan sebuah gerbang menuju alam barzah, atau berakhirnya sebuah kehidupan, atau  ada juga yang menganggap sebagai sebuah gerbang menuju alam pertanggungan jawab.
Namun di sisi lain ada satu hal yang telah kita lupakan tentang kematian itu sendiri, yaitu kematian sebagai sebuah anugrah. Kematian adalah sebuah anugrah bagi mereka guna menuju perjumpaan dengan Tuhannya. Dan itulah yang seringkali di lupakan oleh orang-orang. Bahkan sebagian dari mereka begitu takut menghadapi kematian mereka. Saat dimana mereka akan tersisih dan sendiri tersudut di gelapnya alam barzah.
Kematian itu sendiri bagi mereka adalah sebuah momok dan juga mimpi buruk yang begitu menakutkan, yang akan merenggut segala kesenangan yang ada. Kematian akan merampas segala kenikmatan, kemewahan, dan harta benda lainnya hanya dalam sebuah tarikan nafas yang menyakitkan.
Ya...
Seringkali kita melupakan bahwa hidup kita ini hanyalah sepanjang satu tarikan nafas semata, tidak lebih...
Belajarlah menghadapi kematian...
Niscaya kita akan menikmati indahnya hidup, menikmati betapa beruntungnya kita mendapatkan kesempatan untuk berubah dan menjadi lebih baik.
Aku seringkali membayangkan tentang maut, hingga seringkali dada ini berasa sesak karenanya.  Maut adalah sebuah gerbang tempat melepas segala yang kita cinta dan maut jugalah yang merenggut segala senyum.
Maut merupakan gerbang menuju kematian, tempat dimana bangkai yang berjalan ini pada akhirnya hanya akan menjadi seonggok daging selaku makanan dari rayap dan binatang lainnya.

SHOPPING..................!!!!!!!

01.50 Add Comment
Sayang….
Ikutlah denganku
Mari kita naik bis kota yang melenggang genit itu
Menuju  swalayan yang megah
di antara gedung yang mematung angkuh

Lekaslah kau pakai bedakmu dan bersoleklah
Aku ingin pergi denganmu
Shopping dan pulang sambil tertawa berdua
Terkekeh menyusuri gang becek sudut perkampungan

Oh ya…
Jangan lupa kau pake baju merah itu
Lambang cinta yang ku beli
Seharga  3 baju lusuh yang kugadaikan

Cepatlah sayang…!!
Hari hampir gelap dan siang enggan menunggu

Ah kenapa kau lama sekali
diam dan terisak  menatapku seperti itu
cepatlah …!!!
Apa kau sedang tak enak badan?
setelah seharian  berkutat dengan jelaga yang menghitamkan wajahmu

Ya sudah…
Istirahatlah…!!
Tenanglah dan tak usah khawatir
Masih ada hari esok yang panjang
Untuk kita kembali shopping
Dan  belanja sekeranjang air mata

WONG CILIK

20.05 Add Comment
Ah, pada siapa aku harus menjatuhkan pilihan
Aku hanyalah seorang anak dagang asongan
Bingung aku mengambil sebuah putusan

Kalah cacat menang lena
Baiknya ku tolak semua tawaran cawanmu itu
Toh sedih sakit bagi diriku juga
Sedang kau pun hanya bermain dengan mata telanjangmu
Bahkan  terkadang mungkin terkesan buta

Aih, tapi tak bisa kukatakan semua sama
Jadi  kumbang di garuk, jadi raja hanya symbol

Wahai kalian berdua..!!!
Hukum dan nurani siapakah tuanmu?
Kenapa hidupku seolah tak laras dengan jalanmu?

Ini itu kau lontarkan
Kau anggap apa aku ini?
Babu yang bebas merdeka?
Ataukah raja yang terikat  rantai emas?
Broken heart benar aku ini,
semua seolah tabu

Mungkin ada baiknya aku menghamba
Pada  tuanku DASAMUKA
Dalam gelimang dunia 
walau dalam angkara

PENANTIAN

17.26 Add Comment


Aku kembali hadir,
mencoba mengisi sepi beranda hatimu
Sungguh sepikah?
Ataukah hanya sebuah fatamorgana
yang menyesatkan para kelana cinta?
Kini aku di sini
sendiri terpaku menatap bayangmu
yang seolah kian jauh dan menjauh
Namun disini...
Di bantalan tempat dulu kita sering berkelakar
tentang dendang nakal antara hati dengan hati
tempat tawa canda dan juga tangis yang pilu
entahlah...
tapi disini....
aku masih menunggumu
bersama sekuncup wijayakusuma
yang tak pernah ku tau kapan dia akan mekar
DEWIKU...
Datanglah dan jamahlah sepiku ini
Walau hanya sesaat
Namun aku tetap menunggumu
datanglah...
ada semangkuk bubur menantimu
Yang kini telah dingin
Bersama waktu yang terlewati
Menantimu dari balik pintu keropos ini
Dalam istana reyot
Tempat kita biasa saling menautkan hati
DATANGLAH...
Sebelum aku bosan hingga waktuku habis
Bersama hembusan nafasku
Yang terakhir dan mengakhiri


MIMPI YANG TERGADAI

10.37 Add Comment

Aku bersajak dalam keremangan malam
Terbuai dalam alunan senandung sang bayu
Di bawah rimbunnya pohon rambutan yang menguning
Merajuk bersama sanjung yang penuh kepalsuan
Bertalun gelegar nada dalam ricuhnya nurani

Dalam kesendirian ku timang asa yang tersisa
Merangkai harap dalam sunyi pekatnya sang malam
Ada keluh kesah juga sedikit umpatan
Bagi negeri yang kehilangan nurani

Negeri tempat anak gembala
Bercengkerama dengan alam
Dalam gelak tawa yang riang bertalun
Lebur sudah segala mimpi
Berbalut lisan yang manis berbuih
Berteriak lantang tentang kebebasan

Ya..
Sebuah kebebasan yang membelenggu
Kembalikan….
Kembalikan pada kami
Gelak tawa anak gembala
Yang riang berlompatan di punggung kerbaunya

Wahai kau yang di sana
Nyanyikanlah pada kami
Senandung damai di balik pagar berkawat
Karena padamulah kami menaruh harap

KANGEN

01.11 Add Comment
Sayang...
Dipenghujung hari ini aku ingin bercerita
Tentang sebuah masa yang terlewat
Hanya berdua
Denganmu....

Sayang...
Jika nanti kita bersua
Ada sekantong rindu yang menunggu
Apa engkau mau menerimanya?

Atau mungkin kau ingin seikat kembang?
Yang siang tadi ku petik di tepian jalan berpagar ilalang

Sayang....
Ku ingin kita bisa saling tertawa
Menertawakan sekumpulan capung yang hilirmudik
atau mungkin menertawakan jenakanya kita
Kala saling menyanjung

Sayang...
 Lekaslah kau datang
Sebelum hari kian gelap
Dan matahari kembali pada peraduannya

CAHAYAKU

09.49 Add Comment

mungkin kau sering menganggap bahwa dirimu tiada berarti bagiku.Tapi sungguh dari relung hati yang terdalam aku jawab, bahwa segala syak wasangka yang seringkali terucap adalah salah adanya.Tanpa kau sadari, perlahan tapi pasti kau mampu mengambil satu tempat di salah satu singgasana hati ini, hingga memaksaku untuk mengakuinya..........
AKU MEMBUTUHKANMU..........
AKU LEMAH TANPAMU............
Sadarilah itu sayang.......
Janganlah kau sekalipun meragu akan besarnya cintaku padamu.Yakinilah tiada dua ataupun tiga yang mampu menggantikan tempatmu di singgasana hati ini.Yakinilah itu.
Mungkin saat ini kita terpisah oleh bentangan jarak yang cukup jauh yang telah memisahkan raga kita, tetapi tidak untuk hati kita.Aku yakin bahwa kau tercipta  belahan  tulang rusukku hingga aku yakin pada saatnya nanti belahan itu akan segera kembali kepada asalnya.
Kutunggu saat itu tiba, dan hingga saat itu tiba aku hanya bisa memberi hati ini sebuah keyakinan bahwa.........

SEMUA AKAN MENJADI INDAH PADA WAKTUNYA

GUNDAH

22.40 Add Comment


Tak  ada yang bisa aku lakukan tuk bisa jelaskan apa yang sedang melanda hati ini.
Aku cemas….
Aku takut………
Akuy merasa sendiri di tanah yang asing ini…..
Ingin ku selami lebih jauh dan lebih dalam mengenai hi\ukum yang berlaku disini tetapi aku takut mereka akan salah mengartikannya hingga hanya akan buatku makin terpuruk didalam  sudut  penjara jiwa yang lebih senyap lagi.
Tak pernah terlintas sedikitpun didalam benak pikiran kami bahwa semua ini akan terjadi.Namun pada akhirnya semua ini hanya menyadarkanku akan posisi yang aku jalani di tempat yang terasing ini.Semakin aku ingin lepas dari tempat ini seolah semakin berat rasa hati ini meninggalkan penjara jiwa ini.
Jangan tanya kenapa , karena aku sendiri sampai saat ini juga masih terus mencari jawabnya.Semua ini buatku sadar bahwa aku hanyalah pemimpi kecil………….
Ya…….
Seorang pemimpi yang hanya selalu larut dan terbuai dalam mimpi-mimpi yang seolah selalu lenakan aku dengan segala penat yang seringkali hinggapi jiwa.Aku sudah cukup merasa puas dengan apa yang aku dapatkan disini, dan tidak mengharap lebih dari ini…….
Tidak sekalipun.
Biarlah ini hanya akan menjadi rahasia batin yang kan tiada terungkap cukup hanya menjadi sebuah sir yang bertahta di dalam sonyanyuri kegelapan batinku.
Terkadang aku merasa tiada seorang pun yang memahami apa yang aku rasakan.Namun pada akhirnya aku sadar jua….
Untuk apa mereka memahami semua apa yang aku rasakan jika pada akhirnya hanya ejek dan cemooh yang akan mereka lontarkan pada diriku ini.
Alangkah indahnya jika semua masing-masing dari tiap pribadi yang ada saling bergandengan tangan dan saling satu dalam hati.Saling melengkapi dang saling menguatkan.
Namun Untuk apa berlari dalam kelam? Sedang kabut pun tak mau menyibak. Biarlah semua berlalu, mimpi pun aku tak ingin. Meski rindu ini tercipta untukmu, untuk semua mimpi yang selalu temani aku dalam tidurku…..

CATATAN DARI PINGGIR HUTAN JATI

10.26 Add Comment
TULISAN INI DIBUAT OLEH SEORANG TEMAN YANG BENAR-BENAR TELAH MENYADARKAN SAYA AKAN MIMPI-MIMPIKU YANG SEMPAT TERLUPAKAN.


Mbok Warsilah

Sosoknya gigih melawan takdir
Selembar kisah getir perempuan senja.

GULUNGAN kabut tipis perlahan menyingkir ketika perempuan senja membelah awal pagi. Kakinya yang renta perlahan melangkah selepas menutup daun pintu iratan bambu. Sepintas kakinya berhenti sekadar menengok rumah berdinding gedheg. Tak lama kemudian kaki ringkih tanpa sandal itu kembali melangkah, setelah menyulut obor dari bambu di tangan kanannya.

Di punggungnya teronggok rinjing berisi sebotol plastik isi air setengah liter yang dibalut selembar gendhong batik usang. Wadah dari iratan bambu itu, menemani perjalanan perempuan penderita tumor di mata kanannya. Tumor yang mencengkram matanya sejak lima tahun silam. Hanya satu kornea yang sudah kabur yang jadi penerang perjalanan nenek penghuni tepi hutan jati Perhutani Tuban itu. Di pinggir Desa Waleran, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Sisa hujan semalam masih kental ketika, Mbok Warsilah (70), sang nenek renta, menyusuri jalan setapak. Meninggalkan desa menuju persil yang akan dituai jagungnya. Jalan perempuan yang sudah bongkok itu tak cepat. Obor yang ditentengnya menari-nari diterpa angin hutan. Asapnya meninggalkan gumpalan langet di daun jati dan dedaunan perdu di sekelilingnya.

Pintu pagi belum terbuka. Sayub-sayub terdengar suara lelaki sepuh melafal ayat suci dari surau tua di sudut desa. Suaranya serak menahan lelah ketika melantun, Wallahu jawaril mungsyaatu fil bahri qal aklam, fabiaiya irobikum matukadziban (Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung, maka nikmat Tuhan yang mana yang masih kau dustakan). Suaranya tak merdu dari pengeras suara menelikung celah pepohonan jati di tengah hutan. Membasuh rohani kerontang dari raga yang beranjak senja.

“Duh Gusti Pengeran, kawulo nyuwun pangapuro,” gumam perempuan berkain jarik parang yang telah lapuk warna dan ornamennya, seraya menyandarkan oncor yang masih menyala di pohon jati. Direnggangkan ikatan gendong kemudian diturunkan rinjingnya. Hawa dingin dan rasa lelah menjadikan dirinya berhenti. Dia duduk di atas batu di tepi jalan setapak, seteguk dua teguk dia reguk air bawaanya. Hanya airlah yang setiap hari menjadi bekal perjalanan.

Seekor garangan semburat berlari mendengar Mbok Warsilah terbatuk. Nyaris menerjang rinjing yang teronggok di bawah kakinya. Batuk itu juga telah sepekan singgah di tubuhnya yang mulai keropos.
“Kuang ajar, mengagetkan orang saja,” kata wanita berbaju yang tak jelas warnanya karena dimangsa usia yang telah sobek bagian pundak. Sesaat dia terkejut. Setelah membasuh keringat di dahinya dengan ujung kain bajunya, kemudian melanjutkan separo perjalanan yang masih tersisa.

Sepasang kutilang saling bersautan menyambut pagi. Di ufuk timur semburat merah mulai menyala. Perlahan namun pasti seperti janji alam, sinar mentari mulai meremang. Menerobos dedaunan hutan. Menemani perjalanan perempuan yang sesekali memegangi matanya yang membengkak laiknya bola bekel. Lampu obor dimatikan, diikat tali dari sobekan kain di dinding rinjing.

Rasa nyeri yang sesekali menyergab mata kanannya tak lagi dia hiraukan. Janda renta yang sudah rapuh tubuhnya itu tetap melangkah. Mendekati para pesanggem yang mulai memetik jagung. Ya di pagi itu tanah persil yang digarap Kang Sumali dipanen. Sama dengan pria desa lainnya, mereka menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani.

Para pesanggem, petani tepi hutan penggarap lahan hutan usai ditebang hanya berhak menggarap. Tanpa boleh memiliki. Di sela-sela persil yang digarap ditanami pohon jati, sebagai pengganti pohon yang ditebang. Pada kerja sinergitas ini pesanggem berkewajiban memelihara pohon yang ditanam Perhutani hingga hingga besar.

“Iyo, Mbok War silahkan membantu memetik jagung,” kata Sumali kepada Mbok Warsilah, sebelum perempuan renta itu meminta ijin kepadanya.

Ada aturan yang tak tertulis di kalangan pesanggem. Mereka yang panen memberi makan sekali kepada para perempuan yang membantu petik. Meski dengan menu nasi jagung dan nasi beras dan sayur lodeh serta ikan asin atau tempe goreng, namun tetap memunculkan kebersahajaan kehidupan warga tepian hutan. Setelah usai petik panen, penggarap lahan memberi jaung kepada mereka. tanpa ada aturan jumlah yang baku. Namun, biasanya seukuran rinjing seperti yang digendong Mbok Warsilah.
Tak ada keraguan diantara mereka. Saling menghargai karena perasaan senasib sependeritaan hidup di sekitar hutan. Tentunya dengan segala keterbatasannya.

****
MBOK Warsilah terseok melangkah. Kakinya terpincang karena menginjak duri saat memetik jagung di persil Kang Sumali. Tubuhnya lelah menahan beban rinjing sarat jagung. Di tengah jalan dia berhenti. Di bawah pohon randu alas tua satu demi satu jagung yang telah kering itu dia kupas. Kemudian dia masukkan kembali ke rinjing.

Darah mengalir dari bekas duri di telapak kaki kanannya. Seekor bekicot bernasib sial, ketika ditangkap Mbok warsilah. Ujung rangka cangkangnya dia pukul dengan dengan batu hingga cairannya menetes. Rembesan air dari batok bekicot dia teteskan ke bagian luka yang menganga. Perlahan darah yang mengalir pun terhenti.

Siang semakin terik, ketika Mbok Warsilah menyusuri jalan Desa Waleran. Rasa lelah tak dia hiraukan ketika dari pintu ke pintu dia ketuk menjajakan jagung. Setelah tak seorangpun mau membelinya, dia melangkah meninggalkan desa.

Perjalanan panjang itu berlalu hingga memasuki pintu masuk Desa Dahor, Kecamatan Grabagan. Di desa ini dia beruntung jagungnya dibeli seorang pamong desa, Rp 20.000. Sama dengan pembeli lainnya, perangkat desa ini membeli jagung untuk makanan burung tekukur, hanya karena kasihan melihat Mbok Warsilah. Yang telah berumur masih saja bergelut dengan kemiskinannya.

“Kalau dirata-rata biasanya jagung saya dibeli orang Rp 5.000 sampai Rp 8.000, kadang ya ada yang memberi Rp 20.000, Nak,” kata Mbok Warsilah saat saya temui tengah istirahat di bawah pohon kemiri di jalan Desa Dahor.

Sesekali menghela nafas panjang. Antara membuang rasa lelah dan merasakan nyeri di mata kirinya yang dibalut tumor. Usia yang telah lanjut tak memungkinkan matanya dioperasi. Apalagi tak mungkin tumor yang mengeram di matanya diangkat karena keterpurukan ekonomi.
Kemiskinan secara struktural telah mendera keluarganya. Bahkan sebelum suaminya meninggal karena sakit tifus, semenjak anak semata wayangnya, Kusrahulah (25), berusia belasan tahun. Dan anak itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menjadi beban hidup Mbok Warsilah.
“Hee.. lhadalah Mbok War, sampeyan saya cari kemana-mana. Ayo segera pulang, Kang Kus kumat kae lho, mbok,” kata seorang anak berusia setingkat kelas akhir SD begitu menghentikan sepeda pancalnya di depan kami. Dengan terengah-engah sang bocah segera membalikan sepeda untuk digenjot kembali ke arah dia datang.
“Iyo Cung, aku muleh saiki,” jawab Mbok Warsilah. Ekspresi wajahnya tak terlihat terkejut. Dingin. Mungkin karena seringnya mengalami hal serupa.
Perempuan berusia lanjut itupun bergegas. Di sampirkan gendong di pudaknya yang ringkih. Cekatan dia angkat rinjing yang telah kosong ke punggungnya. Lalu berlalu meninggalkan kicau burung perkutut yang nangkring di puncak ranting pohon kemiri.
Disusuri jalanan desa wilayah pegunungan kapur utara Tuban itu dengan telaten. Angin siang yang menggiring hawa panas tak menyusutkan langkah kakinya yang terpincang. Tetesan keringat mengalir di bilur keriput wajahnya. Rambutnya yang berubah warna dia tutup dengan topi kain coklat seragam Pramuka. Topi bekas pemberian seorang seorang guru SD di desanya itu, menemani sehari-hari Mbok Warsilah.
Perempuan tua itu melangkah sendiri bersama angin. Membawa beban di pudaknya yang telah rapuh. Gending seni tradisi Tayub Tuban, Eling-eling, yang nyaring terdengar dari radio rumah warga tak membuatnya singgah. Sayub-sayub dari radio terdengar suara Warangono melantun syair; Eling-eling, Siro kudu eling, Eling marang Kang Moho Kuwoso, Bebasan wohing ranti, Siro kudu eling. Eling-eling, Siro kudu eling, Eling marang kang Moho Kuwoso.
Padahal gending itu merupakan gending kenangan yang biasa dilantunkan mendiang suaminya. Di saat menggarap persil di tengah hutan. Tak jarang pula dilantun almarhum saat duduk santai di rumah. Dia pun suka menirukan suaminya saat menembangkan gending itu. Puluhan tahun silam.
Mbok Warsilah hanya tersenyum tipis. Kecut. Tanpa ekspresi sepintas mengenang belahan jiwanya yang telah mendahului menghadap Sang Khaliq. Meneruskan perjalanan menuju rumahnya yang tak sampai 1,5 kilo lagi.
“Ah, masa lalu.” Hanya itu yang digumamkan Mbok Warsilah, sambil meniti jalanan desa. Menemui sisi lain dari kehidupannya yang sulit. Tentang anaknya. Tentang derita seorang lelaki muda. Tentang keturunannya. Dan kisah lain tentang darah dagingnya.
****
GEGER di rumah Mbok Warsilah mengundang perhatian tetangga. Meskipun kejadian ngamuknya Kusrahulah yang mengidap sakit hilang ingatan sesekali terjadi, namun kali ini cukup mengagetkan. Pemuda bertubuh kerempeng itu memegang sebilah sabit. Sambil berteriak-teriak menebangi pohon srikaya di depan rumahnya.
Sebelumnya dia telah mengobrak-abrik isi rumah. Hingga mebeler warisan ayahnya berantakan. Bak kapal pecah isi rumah gedheg berlantai tanah itu morat marit tak menentu.
Matanya nanar memerah melototi orang-orang yang mencoba meredam amuknya. Hingga Mbok Warsilah datang tergopoh membelah kerumunan warga. Diurainya kain gendong yang membelit rinjing di punggungnya. Rinjing pun terhempas tergolek diantara kaki tetangga.
“Wis, Cung, wis. Ora usah ngamuk,” kata Mbok Warsilah seraya mengusap wajah anaknya yang masih memerah menahan amarah.
Tangan renta itu kemudian menggandeng lengan anaknya masuk ke dalam rumah. Dituntunnya sang putra kesayangan yang berkain sarung itu duduk dikursi kayu panjang. Kusrahulah hanya meringis, lalu tersenyum, kemudian tertawa lagi. Dan tak lama kemudian diam seribu bahasa.
“Kalau dia ngamuk, hanya ibunya yang bisa menghentikan,” kata Sapuan, pemuda desa setempat.
Ihwal sakitnya Kusrahulah telah menjadi silang pendapat di kalangan warga. Ada yang mengatakan, pemuda yang kalau tidak kumat pendiam itu, kampiran dari syetan penghuni pohon dekat cungkup kuburan. Sementara yang lain menyebut, dia stress karena derita batin yang mendera karena kisah cintanya yang tak sampai.
Pemuda itu jika tak kumat hanya duduk di depan rumah, menunggu ibunya pulang berjualan jagung keliling desa. Dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Tak seperti pemuda lain di desanya yang saban pagi hingga siang masuk hutan menjadi kayu rencek, atau menggarap persil. Tak sedikit pemuda di Desa Waleran yang menjadi blandong batu kumbung di kawasan hutan Perhutani.
Terlepas dari semua itu, serangkaian upaya pengobatan ke paranormal dan sejumlah orang pandai telah dilakukan bertahun-tahun. Namun tak satupun membuahkan hasil. Kusrahulah masih dalam kondisi sama sesekali kumat. Sekalipun itu jarang terjadi.
“Saya sudah pasrah dengan kondisi ini. Semuanya saya serahkan kepada Gusti Alloh,” kata Mbok Warsilah. “Gusti Alloh yang mentakdirkan dan saya menerimanya,” tambahnya.
Dia sudah tak mampu lagi mengobatkan anaknya. Jangankan ke dokter atau ke rumah sakit, untuk ke para dukun dan paranormal pun dia tak sanggup membiayainya. Usia yang makin memangsanya makin memperpuruk kemiskinan yang menderanya.
“Kalau lagi tidak musim panen jagung, Mbok War biasanya ya mencari daun jati,” ujar seorang perempuan tetangganya.
Tak jarang pula, untuk makan sehari-hari para tetangga memberi jatah nasi dan sayur. Semua itu dilakukan untuk membantu kesulitan yang diderita keluarga janda tua anak satu yang sakit ingatan tersebut.
Bagi perempuan uzur itu, bukan tentang dirinya yang menjadi pikiran. Namun, justru bagaimana nasib anaknya jika dia dipanggil menghadap Tuhan. Karena apapun kondisinya, dia sadari, umur pasti ada batasnya.
Dalam kondisi Kusrahul yang sakit ingatan ditambah tumornya yang kian membesar, menjadikan perempuan ini bertahan. Ia tak ingin hidup ini berakhir sampai sang anak bisa mandiri. Entah sampai kapan.
Dalam logika sederhana saja, siapapun tak akan sanggup mengurus orang yang sakit ingatan. Terlebih sesekali suka ngamuk hingga menggegerkan para tetangga.
“Saya selalu berdoa agar Tuhan tidak mencabut nyawa saya dulu,” kata Mbok Warsilah. Karena itu pula dia masih ingin menunggui anaknya sampai sang anak sanggup dia tinggal.
Para tetangga satu demi satu meninggalkan rumah Mbok Warsilah. Di dalam rumah Kusrahulah, diam sambil menikmati nasi jagung pemberian tetangga. Tak terdengar suara teriaka dan tangis dari dalam rumah.
Di teras rumah kecil itu seorang perempuan renta duduk sendiri. Merenungi nasib yang ditakdirkan Gusti Penguasa Jagad. Botol kecil minyak urut yang tinggal separo dia tumpahkan ke telapak tangannya. Dirabanya kelopak mata kanannya yang sudah menonjol sebesar bola bekel. Tertutup tumor.
“Duh Gusti kuatkan hambamu, melakoni takdir yang kau gariskan,” demikian gumam Mbok Warsilah.

*) Selembar catatan dari tepian hutan jati Tuban (Jatim), akhir Juli 2010.

DOA

11.01 Add Comment
Ya Allahu Rabby
Sungguh betapa malunya diri ini padamu…
Karena Dia telah datang menghampiriku…
Aku kini merasakan betapa sakitnya menanggung…
Ya Muqolibal Qulub… Apakah benar aku “jatuh cinta”?
Apakah kata “cinta” telah merasuk dijiwa ini?
Apakah “cinta”telah merajut hatiku yang luka?
Hingga hati ini perlahan buta dan hilang arah
Sungguh ku mohon perlindungan-Mu Ya Rabb…
Hatiku seakan terinjak-injak olehnya…
Aku pun tak ingin mata batin ini tertutup…
Berikanlah hidayah-Mu pada hambamu yang lemah ini…
Ajarkanku jalan menuju cinta-Mu…
Tuntunlah mata batinku lewat sujud malam-Mu yang indah…
Selagi kata “cinta” belum terungkap dalam kata…
Masih tertahan oleh lisannya dan hati kecilnya…
Aku ingin memutar waktu ke masa lalu…
Saat kata “pertemanan” masih setia mengelilingi kita…
Yakinlah, Belum saatnya “cinta” melangkah…
Jangan kotori hati dengan “cinta” palsu penuh nafsu…

LIHATLAH, SIAPA TEMANMU...!

10.59 Add Comment
"Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang balk sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya"Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita shalihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah lake. Seperti ungkapan "Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya".Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:"Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap". (Riwayat Bukhari, kitab Buyuu', Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)1Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata," Hati-¬hatilah dari teman yang jelek ...!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati ".Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.Maka perhatikanlah dengan detail teman-¬temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam• ada teman yang bisa memberikan manfaat• ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)• dan ada yang bisa memberikan keutamaan.Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul 'ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :" Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh-ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi " (Riwayat Muslim)Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.Maka Syaikh Ahmad bin 'Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: "Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria¬-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita. Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya. Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; Dia cerdas (berakal), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid'ah dan tidak rakus dunia. Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid'ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid'ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial clan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. "Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka".Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur'an yang menyerukan hal itu :"Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang¬-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas" (Al-Kahfi:28)Footnote:1.Al Bid'ah, Dr. Ali bin M. NashirMaraji :• Hilyah tolabul 'ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaed• Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah• Bid'ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah, Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih• Sahsiyah Mar'ah, Dr M.Ali Al HasyimiDikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419

SUNYI (SOLITUDE)

08.26 1 Comment
In the solitude of prayer
deep
Lost in moments in between weep
and sleep

In the solitude of prayer
Lonliness finds a rest
Survived another test
Brings out our best

In the solitude of prayer
With nobody there
Except those far away
Reminded of their distant care

In the solitude of prayer
You pray for their smile
For their personal trial
Silently, all the while

In the solitude of prayer
Dreams seem more near
More hope than fear
Thoughts of those past those dear

In the solitude of prayer
Pray for their souls kind
Whose memory is still in your mind
And in your heart

In the solitude of prayer
Pray for your dear friends
Whose heart's you defend
As your own heart they mend

In the solitude of prayer
As for God's wisdom
And his love
As all love comes from above

In the solitude of prayer
Find grace to forgive
And to truely give
And to live

In the solitude of prayer
Recall how to dream
Of warm embraces of affection
And of love returned in your direction

In the solitude of prayer
Pray with conviction
Pray for the impossible
Without fear or restriction 
_____________________________________________
 
Dalam kesendirian doa
yang mendalam
Hilang di antara tangis
dan tidur

...Dalam kesunyian doa
Kesendirian menemukan sandaran
Bertahan dalam ujian yg lain
Menjadikan yang terbaik

Dalam kesendirian doa
tanpa seorangpun disana
Kecuali orang-orang jauh
Teringat kepedulian mereka yang jauh

Dalam kesendirian doa
Kau berdoa untuk senyum mereka
Untuk cobaan mereka
Diam-diam, sesaat..

Dalam kesendirian doa
Mimpi tampak lebih dekat
Lebih berharap daripada takut
Terfikir masa lalu dari kasih itu

Dalam kesendirian doa
Berdoalah untuk kebaikan jiwa mereka
Yang masih teringat dalam benakmu
Dan dalam hatimu

Dalam kesendirian doa
Berdoalah untuk sahabat terkasihmu
Hati yang kau bela
Seakan memeperbaiki hatimu sendiri

Dalam kesendirian doa
Bagi hikmat Tuhan
Dan cintaNya
Bagi segala cinta yang datang dari atas

Dalam kesendirian doa
Menemukan kasih untuk memaafkan
Dan untuk benar-benar memberi
Dan untuk hidup

Dalam kesendirian doa
Mengingat bagaimana bermimpi
Dari hangatnya kasih sayang
Dan cinta yang kembali kepadamu

Dalam kesendirian doa
Berdoalah dengan keyakinan
Berdoa untuk hal yang mustahil
Tanpa rasa takut ataupun dibatasi
 
oleh : HELENA

Ciri Muslimah Sejati

21.52 Add Comment
tahukah anda bagaimana ciri-ciri wanita solehah? Iaitu ciri-ciri wanita yang diredhai ALLAH.wanita yg menyejukkan mata yang memandang,bisa menginsafkan dan menundukkan nafsu mereka yang berhati goyah. Mari kita perhatikan kisah in...i... Seorang gadis kecil bertanya ayahnya “ayah ceritakanlah padaku perihal muslimah sejati?” Si ayah pun menjawab “anakku,seorang muslimah sejati bukan dilihat dari kecantikan dan keayuan wajahnya semata-mata.wajahnya hanyalah satu peranan yang amat kecil,tetapi muslimah sejati dilihat dari kecantikan dan ketulusan hatinya yang tersembunyi.itulah yang terbaik” Si ayah terus menyambung “muslimah sejati juga tidak dilihat dari bentuk tubuh badannya yang mempersona,tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya yang mempersona itu.muslimah sejati bukanlah dilihat dari sebanyak mana kebaikan yang diberikannya ,tetapi dari keikhlasan ketika ia memberikan segala kebaikan itu.muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan. muslimah sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa,tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara dan berhujah kebenaran” Berdasarkan ayat 31,surah An Nurr,Abdullah ibn abbas dan lain-lainya berpendapat.Seseorang wanita islam hanya boleh mendedahkan wajah,dua tapak tangan dan cincinnya di hadapan lelaki yang bukan mahram(As syeikh said hawa di dalam kitabnya Al Asas fit Tasir) “Janganlah perempuan –perempuan itu terlalu lunak dalam berbicara sehingga menghairahkan orang yang ada perasaan dalam hatinya,tetapi ucapkanlah perkataan yang baik-baik”(surah Al Ahzab:32) “lantas apa lagi ayah?”sahut puteri kecil terus ingin tahu “ketahuilah muslimah sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian grand tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya melalui apa yang dipakainya. Muslimah sejati bukan dilihat dari kekhuwatirannya digoda orang di tepi jalanan tetapi dilihat dari kekhuwatirannya dirinyalah yang mengundang orang tergoda.muslimah sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani tetapi dilihat dari sejauh mana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa redha dan kehambaan kepada TUHAN nya,dan ia sentiasa berssyukur dengan segala kurniaan yang diberi” “dan ingatlah anakku muslimah sejati bukan dilihat dari sifat mesranya dalam bergaul tetapi dilihat dari sejauh mana ia mampu menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul” Setelah itu si anak bertanya”Siapakah yang memiliki criteria seperti itu ayah? Bolehkah saya menjadi sepertinya? mampu dan layakkah saya ayah?” Si ayah memberikan sebuah buku dan berkata”pelajarilah mereka! supaya kamu berjaya nanti.INSYA ALLAH kamu juga boleh enjadi muslimah sejati dan wanita yang solehah kelak,Malah semua wanita boleh” Si anak pun segera mengambil buku tersebut lalu terlihatlah sebaris perkataan berbunyi ISTERI RASULULLAH Apabila seorang perempuan itu solat lima waktu ,puasa di bulan ramadhan ,menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya,maka masuklah ia ke dalam syurga dari pintu-pintu yang ia kehendakinya(riwayat Al Bazzar)

Pembuat Kubah dan Tukang Pos

10.22 Add Comment
IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.

Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.

"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.

Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.

"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."

"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"

Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.

"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."

Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."

"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"

"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.

Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.

Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.

"Hebat!" puji si tukang pos muda.
"Ya?"
"Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos.
"Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah."
"Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor."
"Dan ikhlas," ujar si tukang pos.
"Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah.
Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?

"Berapa umur Pak Kubah tahun ini?"
"Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.

Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.

Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.

"Wah. Kosong, Pak Kubah!"
"Kosong?"
"Kosong. Tapi mungkin besok."
"Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi."
"Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.

Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.

Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.

Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!"

" Surat ?"
"Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!"
Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***
                                                                                                      OLEH : UWI

JANGAN...

10.12 Add Comment
*Jangan menunggu bahagia baru tersenyum.
tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia
*Jangan menunggu kaya baru bersedekah.
tapi bersedekahlah, maka kamu semakin kaya
*Jangan menunggu termotivasi baru bergerak.
tapi bergeraklah, maka kamu akan termotivasi
*Jangan menunggu dipedulikan orang baru kamu
peduli,
tapi pedulilah dengan orang lain! maka kamu akan
dipedulikan...
*Jangan menunggu orang memahami kamu
baru kita memahami dia,
tapi pahamilah orang itu, maka orang itu paham
dengan kamu
*Jangan menunggu terinspirasi baru menulis.
tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam
tulisanmu
*Jangan menunggu dicintai baru mencintai.
tapi belajarlah mencintai, maka kamu akan dicintai
*Jangan menunggu banyak uang baru hidup
tenang,
tapi hiduplah dengan tenang, Insya Allah bukan
sekadar uang yang datang,
*Jangan menunggu contoh baru bergerak
mengikuti.
tapi bergeraklah, maka kamu akan menjadi
contoh yang diikuti
*Jangan menunggu sukses baru bersyukur.
tapi bersyukurlah, maka bertambah
kesuksesanmu
*Jangan menunggu bisa baru melakukan,
tapi lakukanlah! Kamu pasti bisa!
Para Pecundang selalu menunggu Bukti dan Para
Pemenang Selalu Menjadi Bukti
Seribu kata mutiara akan dikalahkan Satu Aksi
Nyata!
                                             BY WENTY (http://www.facebook.com/profile.php?id=100001229944868#!/note.php?note_id=472833002530 )

SANG PERANTAU

21.27 Add Comment

Kiara condong…………
Ditempat ini aku kira aku akan menemukan  hal-hal baru ,sekaligus sekedar ingin melepas penat akan segala beban hidup yang terus aku hadapi.
Dan seperti kebanyakan  tempat akupun melihat orang-orang yang ramai berlalu lalang disekitarku seolah tak mengacuhkana kan keberadaanku.
Dan hal itu memang bukan suatu hal myang luar biasa bagiku.
Setelah jemu cukup lama aku berdiam diri akupun melangkahkan kakiku sekedar untuk melemaskan otot-otot kakiku dan hingga akhirnya tanpa terasa kereta yang kutunggu pun tiba juga.Seperti biasa akupun memiulih jhalan pintas dengan tidak membeli karcis, lagipula aku juga melihat bekal uangku yang sudah mulai menipis.Ya, Cuma tinggal 37 ribu…….
Stasiun demi stasiun pun terlewati hingga akhirnya sampailah kereta di pemberhentian selanjutnya,Stasiun Cikampek……..
Akupun turun dan berharap akan menemukan sebuah pengalaman baru di stasiun yang sudah tidak asing lagibagiku.




Cukup lama aku duduk ditepian rel sambil menghabiskan puntung – puntung rokok hingga tak terasa malampun mulai menjelang.
Sayupo-sayup dari pengeras suara di mushola ujung stasiun aku mendengar suara adzan maghrib yang berkumandang dengan nyaringnya dan akupun memutuskan untuk beranjak pergi  tanpa ada pengalaman apapun yang yang bagiku berkesan.Dengan gontai akupun meloangkah pergi meniggalkan tempatku duduk.
Setelah cukup jauh aku melangkah , langkahku kembali terhenti .Nun jauh  disana aku melihat sekumpulan anak manusia  yang sedcang membentangkan Koran-koran bekas.
Hey tunggu dulu …..apa yang mereka lakukan ?
Mereka berjajar rapiu dan …..
Ya ampun ternyata mereka mau memjumpai Penciptanya, ya maerekaq mau menunaikan ibadah sholat maghrib berjamaah, dan itu semua di tempat yang seperti ini…….Denagan tergesa-gesa akupun mencarti air untuk berwudhu dan segera berbaur diantara mereka……
Setelah selesai menunaikan sholat maghrib berjamaah, kemudian prosesi dilanjutkan dengan saling berjabat tangan dan setelah itu kamipun duduk-duduk sekedar untuk ngobrol-ngobrol  ngalor-ngidul.
Dan seperti biasa tema-tema mereka tidak jauh dari  habis ini mau kemana, tentang sianu yang terkena razia, dan berbagai certa khas jalanan lainnya.
Tak ada yang menarik bagiku, namun aku tetap berusaha menjadi pendengar setia.Dari obrolan mereka aku sedikit banyak tahu bahwa kegiatan sholat berjamaah  telah menjadi suatu rutinitas dalam kelompok mereka.
Ya seabuah pelajaran yang sangat berharga pun dapat aku ambil bahwa “ tidak semua orang seperti mereka lupa akan hari perjuanjian mereka dahulu sebagaimana yang tertuangdalam firman Aallah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 172