IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.
"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.
"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."
"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"
Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.
"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."
"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"
"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.
Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.
"Hebat!" puji si tukang pos muda.
"Ya?"
"Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos.
"Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah."
"Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor."
"Dan ikhlas," ujar si tukang pos.
"Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah.
Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?
"Berapa umur Pak Kubah tahun ini?"
"Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.
Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.
Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.
"Wah. Kosong, Pak Kubah!"
"Kosong?"
"Kosong. Tapi mungkin besok."
"Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi."
"Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.
Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.
Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.
Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!"
" Surat ?"
"Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!"
Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***
Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.
"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.
"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."
"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"
Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.
"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."
"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"
"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.
Pembuat kubah itu bercakap-cakap sambil bekerja dan tukang pos muda itu memperhatikan serta bertanya-tanya. Wajah lelaki tua itu dilihatnya berseri-seri meski kulitnya keriput. Lengannya coklat, kukuh serupa kayu. Urat-urat di tangannya hijau bertonjolan, melingkar-lingkar. Tangan tua itu amat cekatan melipat atau membulat-bulatkan seng. Menggunting, atau menokok-nokok dengan palu kayu. Atau mematri. Semua dilakukan pembuat kubah itu tanpa buru-buru, sambil bercakap-cakap dengan si tukang pos.
"Hebat!" puji si tukang pos muda.
"Ya?"
"Hebat benar Pak Kubah bekerja!" ulang tukang pos.
"Cekatan, seolah mudah saja pekerjaan itu buat Pak Kubah."
"Hehehe. Alah bisa karena biasa, Pak Pos. Seperti Pak Pos mengantar surat dengan sepeda motor."
"Dan ikhlas," ujar si tukang pos.
"Ya, ya. Kalau tidak tentu berat terasa," sambut si pembuat kubah.
Mereka terus bercakap-cakap, dan tukang pos muda terus pula memperhatikan tangan si pembuat kubah. Juga tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu tentu akan tampak lebih tinggi, juga besar, kalau saja punggungnya tidak melengkung bungkuk dan badannya lisut. Tetapi wajahnya selalu berseri meski kulitnya keriput. Tukang pos itu berpikir, apakah wajah ayahnya, yang samar-samar saja ia ingat, akan keriput dan berseri andai sempat jadi tua. Jika tak wafat saat dia di sekolah dasar. Wajahnya juga. Apakah nanti keriput, juga berseri, bila Tuhan memberi dia usia panjang seperti tukang kubah itu?
"Berapa umur Pak Kubah tahun ini?"
"Hehehe. Tidak jelas, Pak Pos. Tapi pasti sudah panjang, sebab punggung ini tak kuat lagi menyangga tubuh." Pembuat kubah itu kembali tertawa.
Musim hujan kemudian singgah di kota itu. Meski tidak selalu lebat dan lebih kerap berujud gerimis tapi tiap hari mendesis. Kadang-kadang sore, sepanjang malam, pagi, atau siang hari. Tukang pos itu berteduh di bawah pohon atau emperan toko bila hujan turun deras, dan kembali berkeliling ketika hujan menjelma gerimis. Tubuhnya tertutup mantel, sebatas leher ke atas saja mencogok bak kura-kura. Tapi di kepalanya ada pet. Dan mukanya ditutupi sapu tangan seperti perampok.
Pembuat kubah itu sudah menggeser tempat kerjanya dari bawah pohon jambu ke emperan rumah agar terhindar dari hujan maupun tempias. Sedikit jauh dari pagar. Tetapi telinga si tua itu tajam. Tiap kali terdengar suara sepeda motor si tukang pos ia teleng-telengkan kepalanya. Tukang pos itu mulanya hendak lewat saja karena sapu tangannya sudah kuyup, mukanya perih ditusuk-tusuk gerimis. Atau cukup melambai, dan teriak, "Kosong, Pak Kubah!" Namun, dia tepikan sepeda motor begitu tiba dekat pagar laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu mendekat tertatih-tatih setelah menegak-negakkan punggung.
"Wah. Kosong, Pak Kubah!"
"Kosong?"
"Kosong. Tapi mungkin besok."
"Ya, ya. Besok. Mudah-mudahan. Singgahlah dulu. Ngopi."
"Terima kasih. Masih banyak surat harus diantar." Tukang pos itu lalu melaju. Sejenak dilihatnya si tua itu tertatih-tatih di bawah gerimis, melangkah kembali menuju emperan rumah. Punggungnya makin bungkuk, seolah ingin sekali mencium tanah.
Seperti biasa musim hujan cukup lama di kota itu. Atap, pohon, dan jalan-jalan tidak pernah kering. Orang-orang berpayung ke mana-mana. Berbaju hangat, jas, jaket atau mantel, sebab angin juga rajin bertiup meski tak pernah berubah jadi badai.
Tukang pos itu juga tak lepas-lepas dari mantel, pet serta sapu tangan menutup sebagian wajahnya. Dan walau sejenak, dengan muka terlihat makin putih juga perih ditusuk gerimis, ia berhenti dekat pagar berucap "kosong Pak Kubah, mungkin besok" dengan suara, bibir dan dada bergetar. Kemudian dilihatnya pula lelaki tua itu kembali melangkah, terbungkuk-bungkuk di bawah gerimis menuju emperan rumah.
Tetapi suatu hari, tukang pos itu merasa jadi manusia paling bahagia sedunia. Meski masih pucat, malah kian perih ditusuk gerimis yang terus mendesis, wajahnya berseri-seri. Belum tiga menit lalu dia bersorak kepada pembuat kubah itu, dan kali ini tidak dengan dada serta suara yang bergetar. " Surat Pak Kubah!"
" Surat ?"
"Ya. Surat ! Dari anak Pak Kubah!"
Pembuat kubah itu menerimanya dengan jari-jari bergetar. Dan saat si tukang pos itu melaju pula di jalan, dilihatnya laki-laki tua itu masih berdiri di bawah rinyai hujan, melambai-lambaikan tangan. ***
OLEH : UWI
0 Komentar