Mbok Warsilah
oleh: Rakai Pamanahan
Sosoknya gigih melawan takdir
Selembar kisah getir perempuan senja.
GULUNGAN kabut tipis perlahan menyingkir ketika perempuan senja membelah awal pagi. Kakinya yang renta perlahan melangkah selepas menutup daun pintu iratan bambu. Sepintas kakinya berhenti sekadar menengok rumah berdinding gedheg. Tak lama kemudian kaki ringkih tanpa sandal itu kembali melangkah, setelah menyulut obor dari bambu di tangan kanannya.
Di punggungnya teronggok rinjing berisi sebotol plastik isi air setengah liter yang dibalut selembar gendhong batik usang. Wadah dari iratan bambu itu, menemani perjalanan perempuan penderita tumor di mata kanannya. Tumor yang mencengkram matanya sejak lima tahun silam. Hanya satu kornea yang sudah kabur yang jadi penerang perjalanan nenek penghuni tepi hutan jati Perhutani Tuban itu. Di pinggir Desa Waleran, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Sisa hujan semalam masih kental ketika, Mbok Warsilah (70), sang nenek renta, menyusuri jalan setapak. Meninggalkan desa menuju persil yang akan dituai jagungnya. Jalan perempuan yang sudah bongkok itu tak cepat. Obor yang ditentengnya menari-nari diterpa angin hutan. Asapnya meninggalkan gumpalan langet di daun jati dan dedaunan perdu di sekelilingnya.
Pintu pagi belum terbuka. Sayub-sayub terdengar suara lelaki sepuh melafal ayat suci dari surau tua di sudut desa. Suaranya serak menahan lelah ketika melantun, Wallahu jawaril mungsyaatu fil bahri qal aklam, fabiaiya irobikum matukadziban (Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung, maka nikmat Tuhan yang mana yang masih kau dustakan). Suaranya tak merdu dari pengeras suara menelikung celah pepohonan jati di tengah hutan. Membasuh rohani kerontang dari raga yang beranjak senja.
“Duh Gusti Pengeran, kawulo nyuwun pangapuro,” gumam perempuan berkain jarik parang yang telah lapuk warna dan ornamennya, seraya menyandarkan oncor yang masih menyala di pohon jati. Direnggangkan ikatan gendong kemudian diturunkan rinjingnya. Hawa dingin dan rasa lelah menjadikan dirinya berhenti. Dia duduk di atas batu di tepi jalan setapak, seteguk dua teguk dia reguk air bawaanya. Hanya airlah yang setiap hari menjadi bekal perjalanan.
Seekor garangan semburat berlari mendengar Mbok Warsilah terbatuk. Nyaris menerjang rinjing yang teronggok di bawah kakinya. Batuk itu juga telah sepekan singgah di tubuhnya yang mulai keropos.
“Kuang ajar, mengagetkan orang saja,” kata wanita berbaju yang tak jelas warnanya karena dimangsa usia yang telah sobek bagian pundak. Sesaat dia terkejut. Setelah membasuh keringat di dahinya dengan ujung kain bajunya, kemudian melanjutkan separo perjalanan yang masih tersisa.
Sepasang kutilang saling bersautan menyambut pagi. Di ufuk timur semburat merah mulai menyala. Perlahan namun pasti seperti janji alam, sinar mentari mulai meremang. Menerobos dedaunan hutan. Menemani perjalanan perempuan yang sesekali memegangi matanya yang membengkak laiknya bola bekel. Lampu obor dimatikan, diikat tali dari sobekan kain di dinding rinjing.
Rasa nyeri yang sesekali menyergab mata kanannya tak lagi dia hiraukan. Janda renta yang sudah rapuh tubuhnya itu tetap melangkah. Mendekati para pesanggem yang mulai memetik jagung. Ya di pagi itu tanah persil yang digarap Kang Sumali dipanen. Sama dengan pria desa lainnya, mereka menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani.
Para pesanggem, petani tepi hutan penggarap lahan hutan usai ditebang hanya berhak menggarap. Tanpa boleh memiliki. Di sela-sela persil yang digarap ditanami pohon jati, sebagai pengganti pohon yang ditebang. Pada kerja sinergitas ini pesanggem berkewajiban memelihara pohon yang ditanam Perhutani hingga hingga besar.
“Iyo, Mbok War silahkan membantu memetik jagung,” kata Sumali kepada Mbok Warsilah, sebelum perempuan renta itu meminta ijin kepadanya.
Ada aturan yang tak tertulis di kalangan pesanggem. Mereka yang panen memberi makan sekali kepada para perempuan yang membantu petik. Meski dengan menu nasi jagung dan nasi beras dan sayur lodeh serta ikan asin atau tempe goreng, namun tetap memunculkan kebersahajaan kehidupan warga tepian hutan. Setelah usai petik panen, penggarap lahan memberi jaung kepada mereka. tanpa ada aturan jumlah yang baku. Namun, biasanya seukuran rinjing seperti yang digendong Mbok Warsilah.
Tak ada keraguan diantara mereka. Saling menghargai karena perasaan senasib sependeritaan hidup di sekitar hutan. Tentunya dengan segala keterbatasannya.
****
MBOK Warsilah terseok melangkah. Kakinya terpincang karena menginjak duri saat memetik jagung di persil Kang Sumali. Tubuhnya lelah menahan beban rinjing sarat jagung. Di tengah jalan dia berhenti. Di bawah pohon randu alas tua satu demi satu jagung yang telah kering itu dia kupas. Kemudian dia masukkan kembali ke rinjing.
Darah mengalir dari bekas duri di telapak kaki kanannya. Seekor bekicot bernasib sial, ketika ditangkap Mbok warsilah. Ujung rangka cangkangnya dia pukul dengan dengan batu hingga cairannya menetes. Rembesan air dari batok bekicot dia teteskan ke bagian luka yang menganga. Perlahan darah yang mengalir pun terhenti.
Siang semakin terik, ketika Mbok Warsilah menyusuri jalan Desa Waleran. Rasa lelah tak dia hiraukan ketika dari pintu ke pintu dia ketuk menjajakan jagung. Setelah tak seorangpun mau membelinya, dia melangkah meninggalkan desa.
Perjalanan panjang itu berlalu hingga memasuki pintu masuk Desa Dahor, Kecamatan Grabagan. Di desa ini dia beruntung jagungnya dibeli seorang pamong desa, Rp 20.000. Sama dengan pembeli lainnya, perangkat desa ini membeli jagung untuk makanan burung tekukur, hanya karena kasihan melihat Mbok Warsilah. Yang telah berumur masih saja bergelut dengan kemiskinannya.
“Kalau dirata-rata biasanya jagung saya dibeli orang Rp 5.000 sampai Rp 8.000, kadang ya ada yang memberi Rp 20.000, Nak,” kata Mbok Warsilah saat saya temui tengah istirahat di bawah pohon kemiri di jalan Desa Dahor.
Sesekali menghela nafas panjang. Antara membuang rasa lelah dan merasakan nyeri di mata kirinya yang dibalut tumor. Usia yang telah lanjut tak memungkinkan matanya dioperasi. Apalagi tak mungkin tumor yang mengeram di matanya diangkat karena keterpurukan ekonomi.
Kemiskinan secara struktural telah mendera keluarganya. Bahkan sebelum suaminya meninggal karena sakit tifus, semenjak anak semata wayangnya, Kusrahulah (25), berusia belasan tahun. Dan anak itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menjadi beban hidup Mbok Warsilah.
“Hee.. lhadalah Mbok War, sampeyan saya cari kemana-mana. Ayo segera pulang, Kang Kus kumat kae lho, mbok,” kata seorang anak berusia setingkat kelas akhir SD begitu menghentikan sepeda pancalnya di depan kami. Dengan terengah-engah sang bocah segera membalikan sepeda untuk digenjot kembali ke arah dia datang.
“Iyo Cung, aku muleh saiki,” jawab Mbok Warsilah. Ekspresi wajahnya tak terlihat terkejut. Dingin. Mungkin karena seringnya mengalami hal serupa.
Perempuan berusia lanjut itupun bergegas. Di sampirkan gendong di pudaknya yang ringkih. Cekatan dia angkat rinjing yang telah kosong ke punggungnya. Lalu berlalu meninggalkan kicau burung perkutut yang nangkring di puncak ranting pohon kemiri.
Disusuri jalanan desa wilayah pegunungan kapur utara Tuban itu dengan telaten. Angin siang yang menggiring hawa panas tak menyusutkan langkah kakinya yang terpincang. Tetesan keringat mengalir di bilur keriput wajahnya. Rambutnya yang berubah warna dia tutup dengan topi kain coklat seragam Pramuka. Topi bekas pemberian seorang seorang guru SD di desanya itu, menemani sehari-hari Mbok Warsilah.
Perempuan tua itu melangkah sendiri bersama angin. Membawa beban di pudaknya yang telah rapuh. Gending seni tradisi Tayub Tuban, Eling-eling, yang nyaring terdengar dari radio rumah warga tak membuatnya singgah. Sayub-sayub dari radio terdengar suara Warangono melantun syair; Eling-eling, Siro kudu eling, Eling marang Kang Moho Kuwoso, Bebasan wohing ranti, Siro kudu eling. Eling-eling, Siro kudu eling, Eling marang kang Moho Kuwoso.
Padahal gending itu merupakan gending kenangan yang biasa dilantunkan mendiang suaminya. Di saat menggarap persil di tengah hutan. Tak jarang pula dilantun almarhum saat duduk santai di rumah. Dia pun suka menirukan suaminya saat menembangkan gending itu. Puluhan tahun silam.
Mbok Warsilah hanya tersenyum tipis. Kecut. Tanpa ekspresi sepintas mengenang belahan jiwanya yang telah mendahului menghadap Sang Khaliq. Meneruskan perjalanan menuju rumahnya yang tak sampai 1,5 kilo lagi.
“Ah, masa lalu.” Hanya itu yang digumamkan Mbok Warsilah, sambil meniti jalanan desa. Menemui sisi lain dari kehidupannya yang sulit. Tentang anaknya. Tentang derita seorang lelaki muda. Tentang keturunannya. Dan kisah lain tentang darah dagingnya.
****
GEGER di rumah Mbok Warsilah mengundang perhatian tetangga. Meskipun kejadian ngamuknya Kusrahulah yang mengidap sakit hilang ingatan sesekali terjadi, namun kali ini cukup mengagetkan. Pemuda bertubuh kerempeng itu memegang sebilah sabit. Sambil berteriak-teriak menebangi pohon srikaya di depan rumahnya.
Sebelumnya dia telah mengobrak-abrik isi rumah. Hingga mebeler warisan ayahnya berantakan. Bak kapal pecah isi rumah gedheg berlantai tanah itu morat marit tak menentu.
Matanya nanar memerah melototi orang-orang yang mencoba meredam amuknya. Hingga Mbok Warsilah datang tergopoh membelah kerumunan warga. Diurainya kain gendong yang membelit rinjing di punggungnya. Rinjing pun terhempas tergolek diantara kaki tetangga.
“Wis, Cung, wis. Ora usah ngamuk,” kata Mbok Warsilah seraya mengusap wajah anaknya yang masih memerah menahan amarah.
Tangan renta itu kemudian menggandeng lengan anaknya masuk ke dalam rumah. Dituntunnya sang putra kesayangan yang berkain sarung itu duduk dikursi kayu panjang. Kusrahulah hanya meringis, lalu tersenyum, kemudian tertawa lagi. Dan tak lama kemudian diam seribu bahasa.
“Kalau dia ngamuk, hanya ibunya yang bisa menghentikan,” kata Sapuan, pemuda desa setempat.
Ihwal sakitnya Kusrahulah telah menjadi silang pendapat di kalangan warga. Ada yang mengatakan, pemuda yang kalau tidak kumat pendiam itu, kampiran dari syetan penghuni pohon dekat cungkup kuburan. Sementara yang lain menyebut, dia stress karena derita batin yang mendera karena kisah cintanya yang tak sampai.
Pemuda itu jika tak kumat hanya duduk di depan rumah, menunggu ibunya pulang berjualan jagung keliling desa. Dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Tak seperti pemuda lain di desanya yang saban pagi hingga siang masuk hutan menjadi kayu rencek, atau menggarap persil. Tak sedikit pemuda di Desa Waleran yang menjadi blandong batu kumbung di kawasan hutan Perhutani.
Terlepas dari semua itu, serangkaian upaya pengobatan ke paranormal dan sejumlah orang pandai telah dilakukan bertahun-tahun. Namun tak satupun membuahkan hasil. Kusrahulah masih dalam kondisi sama sesekali kumat. Sekalipun itu jarang terjadi.
“Saya sudah pasrah dengan kondisi ini. Semuanya saya serahkan kepada Gusti Alloh,” kata Mbok Warsilah. “Gusti Alloh yang mentakdirkan dan saya menerimanya,” tambahnya.
Dia sudah tak mampu lagi mengobatkan anaknya. Jangankan ke dokter atau ke rumah sakit, untuk ke para dukun dan paranormal pun dia tak sanggup membiayainya. Usia yang makin memangsanya makin memperpuruk kemiskinan yang menderanya.
“Kalau lagi tidak musim panen jagung, Mbok War biasanya ya mencari daun jati,” ujar seorang perempuan tetangganya.
Tak jarang pula, untuk makan sehari-hari para tetangga memberi jatah nasi dan sayur. Semua itu dilakukan untuk membantu kesulitan yang diderita keluarga janda tua anak satu yang sakit ingatan tersebut.
Bagi perempuan uzur itu, bukan tentang dirinya yang menjadi pikiran. Namun, justru bagaimana nasib anaknya jika dia dipanggil menghadap Tuhan. Karena apapun kondisinya, dia sadari, umur pasti ada batasnya.
Dalam kondisi Kusrahul yang sakit ingatan ditambah tumornya yang kian membesar, menjadikan perempuan ini bertahan. Ia tak ingin hidup ini berakhir sampai sang anak bisa mandiri. Entah sampai kapan.
Dalam logika sederhana saja, siapapun tak akan sanggup mengurus orang yang sakit ingatan. Terlebih sesekali suka ngamuk hingga menggegerkan para tetangga.
“Saya selalu berdoa agar Tuhan tidak mencabut nyawa saya dulu,” kata Mbok Warsilah. Karena itu pula dia masih ingin menunggui anaknya sampai sang anak sanggup dia tinggal.
Para tetangga satu demi satu meninggalkan rumah Mbok Warsilah. Di dalam rumah Kusrahulah, diam sambil menikmati nasi jagung pemberian tetangga. Tak terdengar suara teriaka dan tangis dari dalam rumah.
Di teras rumah kecil itu seorang perempuan renta duduk sendiri. Merenungi nasib yang ditakdirkan Gusti Penguasa Jagad. Botol kecil minyak urut yang tinggal separo dia tumpahkan ke telapak tangannya. Dirabanya kelopak mata kanannya yang sudah menonjol sebesar bola bekel. Tertutup tumor.
“Duh Gusti kuatkan hambamu, melakoni takdir yang kau gariskan,” demikian gumam Mbok Warsilah.
*) Selembar catatan dari tepian hutan jati Tuban (Jatim), akhir Juli 2010.
0 Komentar