Iman Kepada Allah (Tauhid dan Tanzih)

10.37
1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah

Firman Allah SWT:


Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa’ (4): 136.


Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.


Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.


Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24

Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti:

“Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia.” QS. al-Ikhlash (112): 1-4.

Sabda RasululIah SAW:


Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).


Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).


Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.

2. Pengertian Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah ialah:

1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah;
2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).

Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang.

Makrifat

Perlu dijelaskan lebih dahulu, bahwa membenarkan dalam pengertian iman seperti yang tersebut di atas, ialah suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu perlulah kiranya diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.

Makrifat ialah: “Mengenal Allah Tuhan seru sekalian alam” untuk mengenal Allah, ialah dengan memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis kejadian dalam alam ini. Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan “adanya Allah”. memakrifati Allah, maka Dia telah menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting untuk memakrifati Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada yang serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat itulah menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu’ dan khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya menetapkan: “Awwaluddini, ma’rifatullah permulaan agama, ialah mengenal Allah”. Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan syairnya yang berbunyi:


Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh.

Dalam pada itu, harus pula diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah mengenali sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul Husna (nama-nama yang indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak dibenarkan, sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul Baqa al-’Ukbary dalam Kulliyiat-nya menulis: “ada dua martabat Islam: (l) di bawah iman, yaitu mengaku (mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak mengakuinya; dan (2) di atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota”.

Sebagian besar ulama Hanafiyah dan ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan al-Asy’ari mengatakan: Iman dan Islam itu berlainan”.

Abu Manshur al-Maturidi berpendapat, bahwa: “Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya Allah, dengan tidak meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat, dengan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Tempatnya yang tersebut ini, ialah dalam hati. Iman ialah mempercayai (mengetahui) akan ketuhanan-Nya dan tempatnya ialah di dalam dada (hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan akan segala sifat-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati (fuad). Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaan-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir).

Inilah empat ikatan, yakni: lslam, iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan bukan pula berlainan. Apabila keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama.

3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah

Mengakui ada-Nya Allah, ialah: “Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya), yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh yang wajib wujud-Nya itu”.

Demikianlah ringkasan cara mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengendali alam yang sangat luas dan beraneka ragam ini.

4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah

Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan (Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan tepat, yang tidak dapat dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam (al-Qur’an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.

Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam, karenanya baiklah kita tinjau lebih dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu.

4.1. Aliran Kitab Tauhid

Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam.

Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:

(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I’tizal (Mu’tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn ‘Atha’.
(3) Aliran Asy’ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy’ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.

Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2

1. Dari 1 sampai 10, baik dilewati, jika ingin langsung mempelajari dalil-dalil ada-Nya Allah atau dalailul wujud atau dalailut tauhid.
2. Lihat. ‘Abdurrahman al-Jazairi Taudihul ‘Aqa’id.

4.2. Pengertian Ilmu Tauhid

Ada beberapa ta’rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.

Pertama: Ilmu tauhid, ialah “ilmu yang membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis segala paham ahli bid’ah yang keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus”.

Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:

[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya, sifat-sifat yang harus (mumkin) bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.

Ta’rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam’iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta’rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.

Dengan berpegang pada ta’rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab mereka.

Ulama yang berpegang pada ta’rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh yang sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.3

3. Risalah Tauhid.

4.3. Perkembangan Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur’an Membicarakannya

Ilmu yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua umumnya. Di setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini. Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan kepercayaan kepada hukum dan karakter alam.

Al-Qur’an yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan akal dan kemajuan ilmu. Al-Qur’an menerangkan iman dengan mengemukakan dalil serta membantah kepercayaan yang salah dengan memberikan alasan-alasan yang membuktikan kesalahannya. Al-Qur’an menghadapkan pembicaraannya kepada akal serta membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula supaya ahli-ahli akal itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur’an-lah akal bersaudara kembar dengan iman.

Memang diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara “ketetapan agama”, ada yang tidak dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya, ilmu-Nya dan seperti membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang belum dapat dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang mustahil pada akal.

Al-Qur’an mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia, seperti: qudrat, ikhtiyar, sama’, dan bashar. karena al-Qur’an menghargai akal dan membenarkan hukum akal, maka terbukalah pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-ahli akal (ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud berbagai rupa paham diantara para ahli akal atau nadhar. Perselisihan yang terjadi karena berlainan nadhar ini, dibenarkan al-Qur’an asal saja tidak sampai kepada meniadakan sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh golongan Mu’aththilah dan tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk, sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.

Para ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara menakwilkan beberapa sifat yang menurut pendapat mereka perlu ditakwilkan. Golongan mutakalimin khalaf membantah ta’thil (meniadakan sifat Tuhan) dan membantah tamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan sifat rnakhluk).

Ringkasnya, para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk. 4

4. Perhatikan uraian Dr. Muhammad al-Bahy dalam al-Janibul llahi.

4.4. Kedudukan Nadhar Dalam Islam

Dalam kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu ialah menggunakan akal di sekitar masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma’qulat).

Para filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam mengetahui dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan, ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal. Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan hal-hal yang gaib agar dapat dicerna oleh akal disamping menentukan mana yang benar diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta. Tidak mau lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam al-Qur’an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan nadhar. Diantara-nya ialah:

Katakanlah ya Muhammad: “Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-tanda dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman”. (QS. Yunus (l0): 10l).

Mengapakah mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang Allah jadikan?. (QS. al-A’raf (7): 185).

Maka ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An’am (6): 75).

Ayat-ayat tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk melakukan nadhar terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita memakai qiyas ‘aqli atau qiyas manthiqi dan sya’i. Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.

4.5. Kedudukan Akal Dalam Pandangan Islam

Dalam kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah tenaga jiwa untuk memahami mujarradat (sesuatu yang tidak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.

Tersebut dalam suatu kitab falsafah: “Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui makna mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan rupa-rupa benda”. memperhatikan rupa-rupa benda”. Al-Mawardi dalam A’lamun-Nubuwwah menulis: “Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala yang menjadi kepastiannya”. Ada pula yang mengatakan: “Akal itu kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal”.

Al-Mawardi membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah pokok akal, sedang kasbi adalah cabang yang tumbuh daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab), ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi mungkin terlepas dari akal ini.

4.6. Martabat Akal Dalam Memahami Hakikat

Para hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2] dengan akal (rasio).

Mengetahui sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda dari binatang.

Orang yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma’qulat (yang diperoleh melalui akal) nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur’an dalam seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan akal dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu. sebagai yang sudah dibayangkan sebelum ini.

4.7. Bukti Kelebihan Dan Keutamaan Akal Atas Pancaindera

Para hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera. Apa yang diperoleh akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.

Alasannya:

[1] Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui.
[2] Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil nadhar.
[3] Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir saja, yaitu yang terasa saja.
[4] Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).

4.8. Akal Pokok Pengetahuan

Al-Mawardi berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, akal itu menyampaikan kepada dalil; dia sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al-’aqlu ummul ‘ulum). Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang shahih yang fasid; yang mumkin dari yang mustahil.

Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.

1. Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melakukan nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2] berita-berita mutawatir.

Ilmu yang dirasakan atau yang diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.

Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan nadhar dan istidal; karena mudah diketahui. Khawwash dan ‘awwam dapat mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang mengingkarinya.

2. Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia tidak mudah diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan dalilnya.

Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:

- yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum pendengaran (yang diterima dari syara’).

Hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang diketahui karena mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar); kedua, yang diketahui karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.

Yang diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak boleh ada lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal, ialah: yang boleh ada lawannya, seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya. Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal; sebab dengan mudah akal dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan seseorang rasul, memerlukan dalil akal.

Ketetapan-ketetapan yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari’ah, sedang akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun pendengaran tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal semata-mata.

Hukum-hukum yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta’abbud dan Indzar. Ta’abbud mencakup larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa’ad dan wa’id.

4.9. Jalan Mengetahui ada-Nya Allah

Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika ditinjau dari sudut akal, dan nadari dari sudut hiss pancaindera.

Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma’qulat), adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal yang dirasakan. Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.

Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: “Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun”.
Previous
Next Post »
0 Komentar