عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya)
Derajat Hadits:
Derajat hadits ini adalah hasan lighairihi (Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80). Sebab meskipun hadits ini menurut ulama ahli ‘ilal (Antara lain Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain) adalah mursal (Jami’ al-ulum wa al-Hikam, oleh Ibn Rajab, hal 207), akan tetapi ia memiliki syawahid yang cukup banyak dengan redaksi yang semisal, sehingga menguatkannya dan menjadikannya hasan lighairihi (Lihat takhrij hadits ini dalam Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu, 1013/774, 1130/884, 1244/978. Dinukil dari Iqadzu al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al Ulum wa al-Hikam, oleh Syaikh Salim al-Hilaly, hal 172)
Biografi Singkat Perawi Hadits (Lihat: Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, oleh al-Mizzy, no: 8276, dan Siyar A’lam an-Nubala’, oleh adz-Dzahaby, II/578-632)
Abu Hurairah bernama Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy, berasal dari negeri Yaman. Beliau merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits musnad yang beliau riwayatkan sebanyak 5374 hadits. Banyaknya hadits yang beliau riwayatkan membuat orang-orang orientalis dan antek-anteknya merasa berkepentingan untuk menjatuhkan kedudukan beliau, dengan tujuan agar kaum muslimin kehilangan sebagian besar tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ulama kita bahu-membahu dalam membantah tuduhan-tuduhan keji mereka, serta menyapu bersih syubhat-syubhat yang mereka lontarkan. Di antara buku-buka yang ditulis dalam hal ini adalah: Al-Anwar al-Kasyifah fi Kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujazafah (Cahaya yang menyingkap kesalahan, penyesatan dan sikap serampangan dalam kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah), yang ditulis oleh salah satu ulama besar negeri Yaman; al-’Allamah Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimy (1313-1386 H). Pada tahun 57 H. Abu Hurairah meninggal dunia, dalam usia 78 tahun.
Kedudukan Hadits Ini:
Hadits yang ada di hadapan kita ini merupakan salah satu dasar pokok bidang akhlak dalam agama Islam. Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawany menerangkan, “Adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber dari 4 hadits: hadits “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam”, hadits “Salah satu pertanda kebaikan Islam seseorang, jika ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”, hadits “Janganlah engkau marah”, dan hadits “Seorang mu’min mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri” (Jami’ al-Ulum wa Al-Hikam, hal 208).
Penjelasan Tentang Hadits Ini:
« مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ »
“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
“Min husni islamil mar’i” i’rabnya adalah khabar yang didahulukan. Sedangkan “Tarku” adalah mubtada’ yang diakhirkan (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 181)
Huruf min dalam hadits ini jenisnya tab’idhiyyah (sebagian). Jadi makna hadits ini adalah: meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, merupakan sebagian dari hal-hal yang bisa mendatangkan baiknya keislaman seseorang (Jami’ al-’Ulum, hal 208)
Kapankah keislaman seseorang dianggap baik? Para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian memandang bahwa kebaikan Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Dan ini adalah tingkatan golongan yang pertengahan, yang disitir oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ
“Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Orang yang baik keislamannya adalah golongan pertengahan yang mengerjakan kewajiban-kewajiban dan sebagian yang sunah, serta meninggalkan semua hal-hal yang diharamkan.
2. Pendapat kedua mengatakan: Kebaikan Islam seseorang artinya: jika ia telah mencapai tingkatan ihsan yang disebutkan dalam hadits,
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»
Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah ihsan itu?” Beliau menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Seandainya engkau tidak mampu, ketahuilah bahwasanya Dia itu melihatmu.” (HR. Muslim no: 93)
3. Pendapat ketiga memandang bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, masing-masing orang berbeda-beda tingkatannya. Besarnya pahala dan keutamaan seseorang tergantung tingkatan kebaikan keislaman dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ »
“Jika Islam salah seorang dari kalian baik, maka setiap amal kebaikan yang ia lakukan akan dicatat (pahalanya) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR. Bukhari no: 42)
Keterangan para ulama ahli penelitian (tahqiq) mengatakan bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, tidak hanya satu level saja (menguatkan pendapat ketiga).
Hal lain yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwasanya agama Islam telah menghimpun segala macam bentuk kebaikan. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy dalam hal ini telah mengarang bukunya: “Mahasin al-Islam” (Keindahan-keindahan Agama Islam), demikian pula Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Salman mempunyai tulisan tentang pembahasan ini. Dan perlu diketahui bahwa seluruh kebaikan ajaran Islam telah terhimpun dalam dua kata yang disebutkan Allah dalam surat An Nahl ayat 90:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90) (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 158)
Al-’Inayah secara etimologi berarti: perhatian yang sangat terhadap sesuatu, atau suatu hal penting yang diperhatikan. Jadi maksud dari “maa laa ya’niih” adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak ada maslahat baginya (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 78)
Sesuatu yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk perbuatan. Jadi setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik itu untuk kepentingan ukhrawi seorang muslim ataupun untuk kepentingan duniawinya, seharusnya dia tinggalkan agar keislamannya menjadi baik (Lihat: Syarh al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, oleh Imam Nawawi hal: 40)
Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau tidak? Apakah standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak?
Ketahuilah bahwa standar yang harus kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat dan bukan hawa nafsu. Mengapa? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan suatu hal yang tidak bermanfaat” sebagai tanda dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan yang harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah syariat Islam. Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang yang salah paham dalam memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan syariat atau disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya (Qawa’id wa Fawaid min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim Sulthan, hal: 123, dan Bahjah an- Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, oleh Salim al-Hilaly I/142). Insya Allah di akhir penjelasan hadits akan kita bawakan contoh dari kesalahpahaman tersebut.
Adapun sekarang, maka terlebih dahulu akan kita datangkan contoh hal-hal yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, antara lain:
1. Maksiat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah ta’ala. Dan ini hukumnya wajib untuk ditinggalkan oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat ‘Uyun al-Akhbar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal: 137). Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga cahaya yang ada di dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: Badai’ at-Tafsir al-Jami’ li Tafsiri Ibn al-Qayyim, oleh Yusri as-Sayyid Muhammad, V/153-155, dan Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal 916). Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقلَ قَلْبُهُ, وَإِنْ زَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبُهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.»
“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka)” (QS.al-Muthaffifin: 14) (HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.
2. Hal-hal yang dimakruhkan dalam agama kita, juga berlebih-lebihan dalam mengerjakan hal-hal yang diperbolehkan agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat, malah justru terkadang menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan (Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal: 137, lihat pula: Syarh al-Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80). Di antara yang harus mendapat porsi terbesar dari perhatian kita adalah masalah lisan. Imam an-Nawawi menasihatkan, “Ketahuilah, seyogianya setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga lisannya dari segala macam bentuk ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat. Jikalau dalam suatu ucapan, maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk meninggalkannya adalah sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan ucapan tersebut. Sebab perkataan yang diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan atau yang dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan (dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang tidak ternilai harganya.” (Riyadh ash-Shalihin, hal: 483)
Pengalaman membuktikan bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah dipertimbangkan secara bijak, atau mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan kewibawaan dan kedudukan dalam kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut campur perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang muslim, mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawa’id wa Fawaid, hal: 123)
Imam Ibnu Hibban berpetuah, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali seseorang menyesal di kemudian hari akibat perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan pernah membawa penyesalan. (Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada mencabut perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Karena biasanya jika seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya, sebaliknya jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya (Raudhah al-’Uqala wa Nuzhah al-Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzhahullah, hal 31)
Banyak orang meremehkan perkataan-perkataan yang terlepas dari lisannya, serta tidak mempedulikan dampak baik buruknya. Padahal jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,
« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا , يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »
“Seringkali seorang hamba mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan dampaknya, padahal ternyata perkataan itu akan menjerumuskannya ke neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” ( HR. Bukhari, no: 6477, dan Muslim, no: 7407)
3. Menyibukkan diri mengurusi kesalahan orang lain, dan lupa untuk membenahi diri sendiri. Padahal salah satu prinsip agama Islam adalah, bahwa setiap muslim sebelum ia menyibukkan diri dengan kekurangan orang lain, hendaknya ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan dan menjauhkan segala hal yang akan membinasakan dirinya. Sebagaimana firman Allah,
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa * Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian * Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, nasihat-menasihati untuk menetapi kebenaran, serta nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)
Dalam untaian ayat-ayat ini, Allah ta’ala telah menerangkan karakteristik golongan orang-orang yang selamat dari kerugian. Di antara karakteristik mereka; merealisasikan keimanan dan amal shalih dalam diri mereka sendiri terlebih dahulu, sebelum mendakwahi orang lain untuk berpegang kepada al-haq dan bersabar. Dan ini merupakan penegasan atas permasalahan yang kita bahas.
Di sisi lain Allah ta’ala telah mencela Bani Israil, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini,
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kalian melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kalian membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kalian berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Oleh sebab itu, hendaknya kita senantiasa berusaha membenahi diri sendiri sebelum berusaha membenahi orang lain. Jikalau telah beristiqamah (dalam kebaikan), lantas kita berusaha untuk memadukan antara penerapan ajaran agama Allah dalam diri sendiri dengan usaha untuk mendakwahi orang lain, di saat itulah kita benar-benar berada di atas petunjuk salaf, dan niscaya Allah akan menjadikan kita bermanfaat (untuk umat). Itulah (karakteristik) para da’i sunnah dengan perkataan dan perilakunya. Metode ini, demi Allah, benar-benar merupakan tingkatan tertinggi, yang mana jika seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling tinggi kedudukannya kelak di hari akhir. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. “ (QS. Fushilat: 33) (Nashihah li asy-Syabab, oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafidzhullah, hal: 1)
Telah disinggung di awal makalah ini, di saat kita menerangkan tentang standar atau patokan apa yang harus kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan, kita peringatkan di sana tentang kekeliruan yang dialami oleh sebagian orang tatkala mereka meninggalkan hal-hal yang diwajibkan agama dengan alasan hal itu tidak berguna baginya. Maka di sini kita akan membawakan berbagai contoh dari perintah-perintah agama yang ditinggalkan oleh sebagian orang, akibat kekeliruan mereka dalam memahami hadits ini.
Sebagian orang meninggalkan amar ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah dari kemungkaran), dengan alasan hal tersebut tidak bermanfaat baginya. Ini jelas-jelas merupakan kekeliruan yang nyata, sebab amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan perkara yang amat penting bagi seorang muslim. Allah berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan hendaklah ada di antara kalian, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 104). (Lihat: Syarh al-Arba’in, oleh Syaikh al-Utsaimin, hal: 182)
Setiap yang diperintahkan Allah adalah penting dan bermanfaat bagi manusia.
Sebagian yang lain mengabaikan nasihat untuk umat, dikira bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi dirinya. Hal ini tidak diragukan lagi bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk membudayakan nasihat antar umat (Qawa’id wa Fawa’id, hal: 123-124). Dan di antara bentuk nasihat yang sering kali diabaikan, bahkan diperangi oleh banyak orang, adalah menerangkan kesalahan dan kesesatan ahlul bid’ah kepada umat, dengan tujuan agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan mereka. Para ulama telah berijma’ (bersepakat) tentang disyariatkannya bahkan diwajibkannya mengkritik ahlul bid’ah, sebab bahaya mereka bagi umat lebih besar dari segala bentuk marabahaya (Lihat keterangan dari para ulama tentang masalah ini dalam kitab al-Mahajjah al-Baidha’ fi Himaayati as-Sunnah al-Gharra’ min Zallati ahl al-Akhtha’ wa Zaighi ahl al-Ahwa’, oleh Syaikh Prof Dr Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly, hal: 55-74). Dan ini bukanlah termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam an-Nawawy (Dalam Riyadh ash-Shalihin, hal: 489-490) dan ulama lainnya (Lihat: Mauqif Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah min Ahl al-Ahwa’ wa al-Bida’, oleh Syaikh Dr Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily, I/496-509)
Kemudian, dalam mengingkari suatu kesalahan dan membantah orang yang terjatuh ke dalamnya, kita perlu memperhatikan norma-norma yang telah digariskan oleh agama kita. Di antara norma-norma tersebut:
4. Pengingkaran itu harus dilakukan dengan penuh rasa ikhlas dan niat yang tulus semata-mata dalam rangka membela kebenaran. Di antara konsekuensi ikhlas dalam masalah ini, adalah berharap agar orang yang terjatuh ke dalam kesalahan mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq. Maka hendaknya ia menempuh segala cara yang dapat dilakukan, agar orang yang berbuat kesalahan hatinya mendekat, bukan malah menjadikannya semakin menjauh. Dan hendaknya pengingkaran tersebut juga diiringi dengan doa kepada Allah agar mendapat petunjuk-Nya. Apalagi jika ia termasuk golongan ahlus sunnah, ataupun kaum muslimin lainnya. Dahulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakan sebagian orang kafir agar mendapatkan petunjuk, bagaimana halnya jika orang yang bersalah berasal dari kaum muslimin yang bertauhid? (tentunya lebih berhak untuk didoakan).
5. Hendaknya bantahan tersebut dilakukan oleh seorang alim yang telah mumpuni ilmunya; mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi bantahan, entah yang berkaitan dengan dalil-dalil syariat yang menjelaskannya serta keterangan para ulama, maupun tingkat kesalahan lawan serta sumber munculnya syubhat dalam dirinya plus mengetahui keterangan-keterangan para ulama yang membantah syubhat tersebut.
Hendaklah orang yang membantah juga memiliki kriteria: kemampuan untuk mengemukakan dalil-dalil yang kuat tatkala menerangkan kebenaran dan mematahkan syubhat. Memiliki ungkapan-ungkapan yang cermat, agar tidak nampak atau dipahami dari perkataannya, kesimpulan yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Jika tidak (memenuhi kriteria itu), maka justru yang akan timbul adalah besarnya kerusakan.
6. Hendaklah tatkala membantah, ia memperhatikan: perbedaan tingkat kesalahan, perbedaan kedudukan orang yang bersalah baik dalam bidang keagamaan maupun sosial, juga memperhatikan perbedaan motivasi pelanggaran; apakah karena tidak tahu, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau mungkin cara penyampaiannya yang keliru dan salah ucap, atau karena terpengaruh dengan seorang guru dan lingkungan masyarakatnya, atau karena ta’wil, atau karena tujuan-tujuan lain di saat ia melakukan pelanggaran terhadap syariat. Barang siapa yang tidak mempedulikan atau memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang mana akan berakibat tidak bergunanya perkataan dia atau paling tidak sedikit manfaatnya.
7. Hendaklah ia senantiasa berusaha mewujudkan maslahat yang disyariatkan dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyariatkan untuk membantah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan (suatu kaedah penting), “Tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian yang ringan dengan melakukan kerugian yang lebih berat. Karena syariat Islam datang dengan tujuan merealisasikan maslahat dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya sedapat mungkin.
Pendek kata, jika tidak mungkin untuk memadukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu pula halnya dengan dua kerusakan, jika tidak dapat dihindarkan kedua-duanya, maka kerusakan terbesarlah yang harus dihindarkan” (Al-Masail al-Mardiniyah, hal: 63-64, dinukil dari Nashihah li asy-Syabab, hal: 7)
8. Hendaknya bantahan disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga jika suatu kesalahan hanya muncul di suatu daerah atau sekelompok masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebarluaskan ke daerah lain atau kelompok masyarakat lain yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik dengan menerbitkan buku, kaset maupun dengan menggunakan media-media lain. Karena menyebarluaskan bantahan, berarti secara tidak langsung, turut menyebarluaskan pula kesalahan tersebut. Bisa jadi ada orang yang membaca atau mendengar suatu bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, juga tidak merasa puas dengan bantahan itu.
Jadi, menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan, adalah lebih baik daripada mendengarkannya kemudian mendengarkan bantahannya. Para salaf senantiasa mempertimbangkan norma ini dalam bantahan-bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang bertemakan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan al-haq, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa meyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka yang belum dicapai oleh sebagian orang yang hidup di zaman ini.
Pembahasan yang baru saja diutarakan -yang berkaitan dengan menyebarkan bantahan di negeri yang belum terjangkiti kesalahan-, sama halnya dengan pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negeri yang sama. Maka tidak seyogyanya menyebarkan bantahan baik melalui buku maupun kaset, di tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan tersebut. Betapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka. Maka hendaknya orang-orang yang menyebarkan buku-buku bantahan ini, merasa takut kepada Allah dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terpicunya fitnah di masyarakat yang akal pikiran mereka tidak dapat memahaminya. Dan di antara kejadian yang amat mengherankan; sebagian orang membagi-bagikan beberapa buku-buku bantahan kepada orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau beberapa bulan saja, kemudian mereka diarahkan untuk membaca buku-buku tersebut. Alangkah mengherankan perbuatan mereka ini!.
9. Hukum membantah pelaku suatu kesalahan adalah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, tujuan syariat telah terealisasi dengan bantahan dan peringatan darinya. Maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama yang lain telah gugur. Hal ini telah ditetapkan oleh para ulama dalam pembahasan hukum fardhu kifayah. Di antara kesalahan yang kerap terjadi: tatkala ada seorang ulama membantah orang yang melakukan kesalahan atau mengeluarkan tahdzir (fatwa dalam rangka memperingatkan dari kesalahan seseorang), banyak para penuntut ilmu yang menisbahkan diri mereka ke as-sunnah, menuntut ulama lain atau penuntut ilmu lainnya, agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama pembantah, terhadap orang yang bersalah, atau terhadap tahdzir tersebut.
Bahkan sampai-sampai para pemula dari kalangan penuntut ilmu dan bahkan masyarakat awam, juga dituntut untuk menentukan sikap mereka terhadap ulama yang membantah dan orang yang bersalah. Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai dasar wala’ dan bara’ (loyalitas dan benci), hingga akhirnya yang terjadi adalah saling menghajr (memboikot atau mendiamkan) hanya karena masalah ini. Terkadang seorang penuntut ilmu menghajr Syaikhnya (ustadznya) yang selama bertahun-tahun ia telah menuntut ilmu di tangannya, hanya karena permasalahan ini. Terkadang pula fitnah ini menyelusup ke dalam sebuah keluarga, sehingga kita dapati seseorang menghajr saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan kepada orang tuanya, bahkan terkadang seorang istri diceraikan, yang berakibat terlunta-luntanya anak-anak mereka, (semua itu) hanya karena perkara ini.
Dan bila melihat fenomena yang menimpa umat, niscaya kita akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok melemparkan berbagai tuduhan kepada yang lain, yang akhirnya mereka saling menghajr. Semua ini terjadi di kalangan orang-orang yang menisbatkan diri mereka ke as-sunnah (ahlus sunnah), yang mana sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini bersumber dari kebodohan yang akut terhadap as-sunnah (manhaj ahlus sunnah) dan kaidah-kaidah mengingkari suatu kemungkaran menurut ahlus sunnah, atau (mungkin juga) bersumber dari hawa nafsu. Kita memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah… (Nashihah li asy-Syabab, oleh Syaikh Dr Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafidzahullah, hal: 6-8)
Di antara permasalahan yang dapat kita pahami dari hadits ini, bahwa masing-masing dari kita berkewajiban untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, jangan sampai menyia-nyiakan hal-hal yang penting, baik itu berkenaan dengan perkara agama maupun perkara dunia. Mari kita berusaha keras semampunya untuk menggapai ridha Allah, dan meraih tujuan (yang digariskan-Nya), sambil terus memohon pertolongan dari-Nya dan meminta taufik serta kebenaran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ, اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ »
“Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersungguh-sungguhlah dalam (mengerjakan) hal-hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan dari Allah dan janganlah bersikap lemah.” (HR. Muslim, no: 6716) (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Dr. Bandar al-’Abdaly, hal: 55)
Beberapa Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Hadits Ini:
1. Dorongan untuk mempergunakan waktu di dalam hal-hal yang mendatangkan manfaat bagi seorang hamba di dunia dan akhirat.
2. Hasungan untuk menjauhi perkara-perkara yang tidak ada artinya, serta menyibukkan diri dengan hal-hal yang mulia.
3. Dorongan untuk menundukkan diri sendiri dan meluruskannya, dengan cara menjauhkannya dari hal-hal yang bisa mencorengkan noda di atasnya, berupa tingkah laku yang rendah dan hina.
4. Campur tangan dalam perkara-perkara yang tidak bermanfaat akan mengakibatkan timbulnya perpecahan dan permusuhan antar umat (Qawaid wa Fawaid, hal: 124)
Daftar Pustaka:
1. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
2. Ad-Durar as-Saniyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, Dr. Bandar bin Nafi’ al-’Abdaly.
3. Al-Mahajjah al-Baidha fi Himayati as-Sunnah al-Gharra’ min Zallati Ahl al-Akhtha’ wa Zaighi Ahl al-Ahwa’, Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly.
4. Badai’ at-Tafsir al-Jami’ li Tafsir Ibn Qayyim al-Jauziyah, Yusri as-Sayyid Muhammad.
5. Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhbar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy.
6. Bahjah an-Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
7. Iqadz al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
8. Jami’ al Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab.
9. Mauqif Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah min Ahl al-Ahwa’ wa al-Bida’, Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily.
10. Nashihah li asy-Syabab, Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily.
11. Qawa’id wa Fawaid min al-Arbain an-Nawawiyah, Nadzim Muhammad Sulthan.
12. Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr.
13. Riyadh ash-Shalihin, Muhyiddin an-Nawawy.
14. Shahih al-Bukhary, Muhammad bin Ismail al-Bukhary.
15. Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj.
16. Siyar A’lam an-Nubala, Syamsuddin adz-Dzahaby.
17. Sunan at-Tirmidzy, Abu ‘Isa at-Tirmidzy.
18. Sunan Ibnu Majah, Ibnu Majah al-Qazwiny.
19. Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
20. Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, Shalih Alu Syaikh.
21. Syarh al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, Muhyiddin an-Nawawy.
22. Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal, Abul Hajjaj al-Mizzy.
23. Taisir al-Karim Ar-Rahman fi tafsir Kalam al-Mannan, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar