MEMORIES
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Khawarij dan Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan khawarij dengan kekerasandan mengidentikan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji masalah ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Khawarij dan Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaumKhawarij dan Mu’tazilah itu?.
Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij ?
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini agar memperoleh data tentang
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHAWARIJ
1. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Sebutan lain diberikan kepada mereka adalah haruriyah. Asal katanya harura, yaitu suatu desa yang terletak dekat di kuffah(irak). Ditempat tersebut mereka berkumpul setelah memisahkan diri degan Aliberanggotakan 12ribu orang dan memilih Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyidi menjadi imam pengganti Ali bin Abi Thalib. NASUTION
2. Sejarah kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
3. teologi Khawarij
B. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
1. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
2. Teologi Mu’tazilah
1. konsep Tauhid
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (’umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (’ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (’ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a) Tidak mengakui sifat-sifat Allah
b) Mengatakan al-Qur’an makhluk.
c) Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
d) Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
e) Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, “al-’adl”merupakan bentuk mashdar dari ‘adala – ya’dilu yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya .
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih bberpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.
BAB III
KESIMPULAN
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar