MEMORIESBAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia.
Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi estotik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriyah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas berbagai kbutuhan manusia. Selain menghendaki kebersihan lahiriyah juga kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam islam diberikan pada aspek batinnya, misalnya dalam hal ini dapat dilihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, harus dengan niat.
Melalui studi tasawuf seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan hati dan serta pengamalannya secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang dapat mengendalikan dirinya disaat berinteraksi dengan orang lain, atau berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keihklasan, tanggung jawab dan sebagainya. Dari kondisi seperti ini, tasawuf diharapkan mampu mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penindasan, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainya.
Kembaliannya masyarakat saat ini kepada tasawuf adalah cukup beralasan, karena secara historis kehadiran tasawuf bermula berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam dimasa lalu, yaitu : umat islam di abad klasik (650 1250 M) bergelimang dengan harta dan kemewahan sudah mulai terjerumus ke dalam kehidupan foya-foya, berbuat dosa, dan akhirnya dia lupa sebagai kholifah Tuhan dimuka bumi, dia sakit mentalnya. Dalam keadaan sedang sakit inilah datang serbuan bangsa Mongol tahun 1258 M, dan berhasil mengalahkan umat islam dengan menghancurkan kota Bagdad.
Menyadari bahaya tersebut selanjutnya umat islam terus intropeksi diri dengan membangun kembali etos kerja yang dipandu oleh akhlak mulia yang dijiwai bangun melalui tasawuf, namun kejadian ini terjadi secara tidak seimbang, kaum muslimin nampak lebih menangkap aspek ritualitas lahiriyahnya dari tasawuf tersebut, sehingga mereka hanya terlena dalam dzikir, wirid tanpa memberi ke dalam gerakan sosial kemasyarakatan, mereka malah menjauhi masyarakat, tidak peduli pada lingkungan dan keadaan umat yang semakin mundur. Dalam keadaan demikian ini wajar jika tasawuf dituduh sebagai biang keladi terjadinya keadaan dimana umat islam semakin terpuruk ke dalam kemunduran. Namun dewasa ini muncul upaya interpretasi kembali terhadap istilah-istilah tasawuf untuk dipahami, dihayati serta diamalkan dimensi spiritualitas dan dinamikanya sehingga mampu menjadi motor penggerak terjadinya perubahan sosial yang mengarah pada terwujudnya keagungan Tuhan.
Demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat islam, setelah manusia membangun akhlak dan ibadahnya, melalui ilmu tauhid dan ilmu fiqih, dengan demikian terjadilah hubungan yang cukup harmonis yaitu aqidah, syariah akhlak.
A. Ta’arif Tasawuf
Banyak pendapat dari kalangan tasawuf tentang ta’rif atau definisi istilah kata tasawuf dan berbagai kata ta’rif ini ssebetulnya punya esensi yang sama cuma berbeda dalam mengungkapkannya saja. Secara etimologi pengertian tasawuf itu antara lain ;
1. Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan “Ahlu Suffah” ( ) yang berarti kelompok orang dimasa Rosululloh yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Alloh Swt.
2. Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shafa” ( ) berarti nama bagi orag-orang yang “bersih” atau “suci” maksudnya oarng-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhannya.
3. ( ) “shaf” ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika sholat berada di shaf terdepan.
4. Ada yang menisbahkan dengan bahasa Grik atau Yunani, yaitu “saufi” ( ) istilah ini disamakan maknanya dengan kata “hikmah” ( ) berarti bijaksana.
5. Dikatakan juga dengan kata “shuf” ( ) berarti bulu domba atau wool, karena pada zaman dulu orang sufi banyak memakai pakaian wool.
Pengertian ts secara istlah (terminologi) banyak pendapat yang dirumuskan para ahli, tapi kami dapat menyimpulkan dari pendapatnya Al-Junaidi. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabdian, saling mengingat antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Alloh mengikuti syari’at Rosululloh dengan mendekatkan diri dan mencapai keridhoan-Nya.
B. Tujuan
Setiap ada maksud pasti ada tujuan, dalam penulisan makalah ini penulis mempunyai beberapa tujuan antara lain ;
- Melatih para mahasiswa dalam penulisan ilmiah
- Sebagai bahan dalam kajian diskusi
- Mengaktifkan para mahasiswa agar tidak pasif saja dalam menstranfer ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari.
- Untuk memperluas wawasan dengan menelaah dan menggali.
C. Metode
Penulis dalam membuat makalah ini menggunakan metode yang lazim digunakan oleh para mahasiswa, yaitu metode perpustakaan. Kami cukup mengambil dari literatur dan referensi yang berkaitan dengan topik makalah dari penulis. Cara ini selain mempermudah juga bisa menghemat waktu. Selain itu juga kami mengambil beberapa keterangan-keterangan dari para dosen, kyai dan hasil dari diskusi.
BAB II
PANDANGAN TEORI
A. Obyek Tasawuf
Adapun yang menjadi sasaran dari tasawuf itu ada dua bagian yaitu :
1. Segi lahiriyah : mengusahakan agar manusia membersihkan diri dari segala yang tercela, dengan jalan membersihkan hati dan mengamalkannya budi pekerti yang luhur.
2. Segi batiniyah : membawa manusia dari akhlak yang mulia untuk mendekatkan diri kepada Alloh.
Dalam bermujadalah, seorang sufi (calon sufi) biasanya melewati tiga pendekatan (Approup, yakni takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli merupakan langkah untuk membersihkan jiwa dan hati (takhiyatu al-nafs-wa al-qalo) dari segala perbuatan yang tercela dan maksiat. Disinilah seseorang nantinya akan menambah beberapa maqomat dan ahwal dari hasil mujahadahnya. Mula-mula berada pada maqam al-taubat, al-wara, al-zuhud dan as-fagr, dari empat maqadat tersebut muncul ahwal, al-khauf, al-raja, al-syuuq dan al-uns.
Sementara tahalli, adalah langkah menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Disini ada tiga maqamat ini nantinya akan mendatangkan hal al-thuma’ninah, hal al-musyahadah dan hal al-yaqin.
Sedangkan tajalli, dipandang sebagai langkah akhir para sufi untuk dapat menyingkap hijab (tabir) antara Alloh dengannya. Disini para sufi dipilih jiwa dan hatinya oleh Aloh sebagai “arasy-Nya” (rumah ilahi). Rumah yang dijejali jutaan dzikir dan gemuruh alunan musik surgawi. Maka setiap detik, setiap saat, setiap berdiri, setiap duduk atau setiap berdiam (tidur), sufi yang telah mencapai derajat ini selalu dalam ke-fana-an, al-baga’, al-ittihad, bahkan waldatal wujud. Dikala ini, seorang sufi senantiasa memandang alam semesta dengan alam ketuhanan (al-ilahiyah), suara hati sufi adalah suara tuhan. Pandanganya juga pandangan Tuhan, segala gerak-geriknya adalah gerak-gerik Tuhan, irodahnya pun adalah irodah Tuhan, wajarlah jika orang awam sulit membedakan antaranya dengan tuhan. Inilah tripologi seorang insan tripologi seorang insan paipurna(al-insan kamil) yang menjadi cermin bagi Alloh Swt ini sebenar-benar tauhid.
B. Alternatif Metodologi Kajian
Penyampaian hakekat dan esensi kepada para mahasiswa haruslah dijadikan titik tolak dalam bahasan. Overloping diskursus dengan amaliah tarikat yang sudah menjamur di tanah air haruslah dikikis habis. Begitu pula pemahaman yang mngidentikkan tasawuf dengn memutar tasbih dan wirid dan harus dihapus. Semua ini tentu dengn disertai mengajak mahasiswa untuk menelaah kembali al-marja’ al-awwal wa al-assi dalam bidang tasawuf. Image yang berkembang bahwa al-junaid (wafat 297 H) dan Al-Ghazali (wafat 505 H) sebagai tokoh yang paling representatif bagi tasawuf sunni haruslah dikaji dan ditinjau ulang kembali. Apalagi sikap apologic yang menentang dan mentaksir para sufi folosifis agung semacam Husein al Hallaj (wafat 303 H) dan ibn ‘Arabi (wafat 638) harus dijauhkan pula.
Bukankah Imam Al-Ghazali sendiri sama sekali tidak bersikap menetang dan mentaksir Al-Hallaj?. Demikian pula, kalau kita baca biografi dan karya Syeh Nawaei Al-Bantani (1316 H) dan Syeh Hasyim Asy’ari (wafat 1996 M), kedua ulama Salafiyah ini sangat concern dan mengidolakan ibn ‘Arabi, karena itu sudah menjadi kewajiban kita untuk segera untuk meluruskan pendistorsian dan inhiraf kejadian tasawuf.
C. Perkembangan Tasawuf
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf akhlaqi yang mengarah pada teori-teori perilaku, dan yang kedua tasawuf falsafi yang mengalah pada teori-teori rumit yang memerlukan pemahaman mendalam tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof disamping sebagai sufi.
Perkembangan tasawuf dalam islam telah mengalami beberapa fase, pertama fase arkateisme (zuhud) tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Sikap arketisme ini dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, dari individu-individu kalangan muslim lebih banyak memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsep asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian ataupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk kepentingan akherat. Tokoh yang populer dari kalangan ini adalah Hasan Al- Bashri (wafat 110 H), dan Robi’ah Al-Adawiyah (wafat 185 H) kedua tokoh ini dijuluki dengan zahid.
Pada abad ke-3 H, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah dekadensi moral disaat itu, tasawufpun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Tasawuf pada alur sederhana ini banyak ditampilkan kaum salaf. Kaum sofa tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran agama islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak. Kondisi berkembang selama 1 abad , kemudian pada abad ketiga hijriyah muncul tasawuf yang menonjolkan pemikiran eksklusif . Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (309 H) yang sangat kontroversial dengan realita di masyarakat yang telah menggandrungi tasawuf akhlaqi.
Pada masa kelima hijriyah muncul Al-Ghazali, beliau sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan Al Qur'an dan as-sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Sejak ke abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali, pengaruh tasawuf sunni semakin luas keseluruh penjuru dunia. Keadaan ini muncul para tokoh sufi yang mengembangkan torikot-torikot untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 570 H), Sayid Abdul Qadir Al-Jaelani (wafat 651 H).
Pada masa ini muncul pula skelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teorinya bersifat setengah-setengah, artinya tidak murni tasawuf ataupun filsafat. Tokohnya Sukhrawardi Al-Maqtul (wafat 549 H) ibnu Arabi (wafat 638 H) Ibnu Faridh (wafat 632 H), Abdul Haqq ibnu Sabi’in Al-Mursi (wafat 669 H). Mereka banyak menimba dari filsafat Yunani khususnya Neo-Platonisme.
Dengan munculnya para sufi filosof, orang mulai membedakan dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yaitu tasawuf akhlaqi yang identik dengan tasawuf sunni, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilakukan oleh sufisme dengan Al Qur'an dan as-sunnah. Dengan demikian ada dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni yang berorientasi pada pengokohan akhlak dan tasawuf falsafi yang mnonjolkan pemikiran filosofis dengan pemikiran-pemikiran ganjilnya (syathahiyat) , ungkapan ini bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan atau hulul. Para sufi yang juga filosof ini banyak mendapat kecaman dari fuqaha akibat pernyataan yang pantaistis, penentang yang paling keras adalah adalah Ibnu Tarmiyah (wafat 728 H).
Tasawuf pada abad ke -5 H, cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikan landasan Al Qur'an dan As-Sunnah. Tokoh yang terkenal mengembalikan adalah Al-Qusyairi dan Al-Harawi, Abu Ismail Al-Anshari kemudian Al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf sunni, beliau diklaim sebagai seorang sufi, beliau diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khasanah ketasawufan didunia islam.
Diluar dua aliran tasawuf diatas, ada juga yang memasukkan tasawuf syi’i dapat ditinjau melalui keterpengaruhan Persia oleh para pemikir filsafat Yunani. Ibnu Kholdun mengatakan tasawuf filosif dekat dengan sekte Isma’iliyah dari Syi’ah, sekte isma’illiyah menyatakan terjadinya hullul atau ketuhanan para imam mereka, kedua kelompok ini ada kesamaan dalam masalah “Quthb’ dan “Abdal”. Bagi para filosofis mengatakan puncaknya kaum arifin, sedang abdal merupakan quthb perwakilan. Bagitu pula pemakaian gompang-gamping yang disebut-sebut dari Imam Ali.
D. Pentingnya Tasawuf dalam Kehidupan
Sebagaimana pendapat Al-Ghozali dan para ulama mengatakan tasawuf hukumnya fardlu ain, sebab pokok pembahasan tasawuf itu kesucian hati kebersihan jiwa, keiklasan, ridlo, tawakkal, sabar, taubat, dan sebagainya. Berbeda dengan pandangan para ahli fiqih, bahwa semua analiyah asalkan sudah sesuai denga syarat dan rukunnya itu sudah cukup.
Abu Ali Fudlail bin ‘iyadh berkata ;
“Meninggalkan beramal disebabkan karena manusia, adalah riya’, beramalkan karena manusia adalah syirik, sedangkan iklas itu hendaknya Alloh menjagamu dari yang demikian itu. Oleh karena itu orang-orang yang arif berkata : semua manusia itu akan rusak binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu akan binasa, kecuali orang-orang yang beramal. Orang-orang yang beramalpun juga binasa, kecuali orang-orang yang iklas. Oleh karena itu orang-orang amal merupakan jisimnya dan sedangkan ikhlas merupakan jiwanya”.
Ikhlas ini ada tiga tingkatan :
Tingkat tertinggi, beramal karena hanya Alloh semata, dengan mengerjakan perintah-Nya dan melaksanakan hak ubudiyah kepada-Nya.
Tingkatan pertengahan, beramal karena mengharapkan pahala akherat, yaitu masuk surga dan selamat dari neraka.
Tindakan terendah beramal karena ingin mendapatkan kemulyaan dari Alloh di dunia dan mencari keselamatan dari malapetaka-Nya. Selain dari tiga itu terbilang riya’.
Untuk mencapai derajat yang tinggi agar manusia memperoleh akhlak yang karimah ada tiga tingkatan, melepaskan diri dari akhlak tercela, mengisi diri dengan akhlak terpuji dan mendekatkan diri kepada Alloh, firman Alloh surat Al-Bayyinah : 5;
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan ikhlas, karena Alloh semata-mata”.(Q.S Al-Baiyinah : 5).
Ilmu tasawuf sebagai bagian dari pada ilmu agama, maka segala amal itu akan sia-sia tidak memperoleh pahala, tanpa disertai niat yang ikhlas. Karena ikhlas jiwa dari semua amal ibadah, disinilah pentingnya ilmu tasawuf dan hubungannya antara amal dan riyat, Syeh Zarruq berkata ;
“Hubungan antara tasawuf dengan ilmu-ilmu agama lainnya laksana hubungan ruh dengan jasad. Karena ilmu tasawuf merupakan tempat keutamaan yang oleh Nabi dijelaskan kepada MAlaikat Jibil as. Hendaknya kamu beribadah kepada alloh seakan-akan kamu melihat-Nya. Bila tidak demikian, maka ketahuilah bahwa Alloh itu melihat kamu”.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagaimana diketahui bahwa sumber dan kriteria tasawuf Al Qur'an dan Hadits. Maka para ahli tasawuf amaliyahnya mencontoh perilaku Nabi Saw. Nabi adalah peletak dasar utama dari kehidupan rohani islam.
Obyek pembahasan dalam tasawuf adalah masalah dzat Alloh dan kesucian hari atau atau shofa’ dan musyahadah. Sedangkan manusia hanya dapat ma’rifat kepada-Nya dengan melalui kesucian hati, mengikuti segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang.
Pendidikan akhlak dalam tasawuf terdiri dari tiga unsur, yaitu ;
1. Takhalli menyongsong sifat-sifat tercela, menjauhkan diri segala larangan-Nya.
2. Tahalli, mengisi diri serta menghiasinya dengan sifat-sifat yang utama dan terpuji, dengan jalan taat lahir batin dalam mengerjakan perintah-Nya.
3. Tajalli, meresapkan rasa agama, pengalaman batin dan jiwa beragama.
Dalam perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf akhlaq dan tasawuf falsafi, yang pertama mengarah pada perilaku dan yang kedua mengarah pada teori-teori rumit yang berkolaborasi dengan filsafat. Kemudian muncul tasawuf sunni dilihat dari pada upaya memagdi tasawufnya dengan Al Qur'an dan As-Sunnah, dan sampai sekarang tasawuf inilah yang tunmbuh subur. Al-Ghozali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf sunni. Diluar tasawuf diatas ada lagi tasawuf Syi’i dapat ditinjau terkontaminasinya persia oleh para pemikir filsafat Yunani.
Dalam tasawuf bukan hanya berusaha memenuhi segi-segi formalitas saja, yaitu syari’at, tetapi berusaha memperoleh pengalaman-pengalam batin, rasa agama, jiwa agama dengan jalan shofa dan mujahadah. Dengan membersihkan hati dari sufat-sifat tercela dan kesungguhan dalam beribadah.
Demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan bila tasawuf akrab dengan kehidupan masyarakat islam, setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadah melalui tauhid dan fiqih. Dengan demikian akan terjadi halangan harmonis antara akidah, syari’ah dan akhlak.
B. PENUTUP
Segala puji bagi Alloh yang benar-benar mengeluarkan beberapa buah pikiran kepada yang mempunyai akal menghilangkan dari langitnya akal, akan setiap penutup dari mendungnya kebodohan, sehingga jelas bagi setiap yang mempunyai akal beberapa matahari pengetahuan. Alhamdullilah saya dapat menyelesaikan makalah berjudul “Thoriqot Tasawuf” sebagai tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah materai PAI.
Saya mengucapkan ribuah terima kasih kepada semua pihak yang membantu pembuatan makalah ini terutama kepada, Dosen pembimbing kami Ibu Diah Nawangsari M.Ag, ke dua orang tua, para masyikh ustadz Pon-Pes Assunniyyah, sahabat-sahabat seperjuangan, dan masih banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Meskipun demikian, karena tak ada gading yang tak retak, tegur sapa dari pembaca yang sifatnya membangun akan selalu penulis terima dengan ikhlas. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis, amin, Yaa Robbal Alamien ... .
DAFTAR PUSTAKA
1. DR. H,. Abudhin Nata, M.A, Metodologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
2. Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Drs Mukhtar Solihin, M.Ag, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000.
3. DR. H. Said Aqil Siradj, Buletin Bina Pesantren, Depag, Edisi Maret/72/Tahun VIII/2000.
4. Drs. Sahilun A. Nasir, Prinsip-prinsip Tashawuf Islam, CV. Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983.
5. DR. H. Abudhinata , Akhlaq Tashawuf, Raja Grafindo Persada, 1996.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar