MAKALAH PENGANTAR ILMU HUKUM Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf" (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi /Grounded Theory Meng-Indonesia)

23.24


  1. Menelusuri jejak pemikiran Prof. Tjip
Tulisan ini mencoba mengkristalkan pemikiran Prof Satjipto Rahardjo dari
beberapa pemikiran beliau yang penulis lakukan melalui komtemplasi digelapan malam. Oleh karena itu paparan ini lebih mengarah paparan kepingan-kepingan pemikiran yangtersebar dari artikel dan buku-buku beliau serta mengikuti perkembangan berbagaikomentar para penstudi hukum setelah menganalisa pemikiran yang terpaparkan dalam sebuah diskusi terbatas di Universitas Tanjungpura dengan para mahasiswa peserta S3 Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP KPK UNTAN 2009, bersamaan dengan mencuatnya pernyataan Ketua MK Mahfud MD pada sebuah acara stasiun telivisi (TV ONE) yang menyatakan, bahwa ia sependapat dengan pandangan Prof Tjip dan hal itu disampaikan setelah satu hari Prof Tjip memberikan kuliah melalui telekomprence yang diikuti oleh seluruh Fak Hukum di Indonesia 29 Oktober 2009 dan ketika itu penulis tergugah dan bertanya apa sebenarnya Pemikiran Hukum Progresif itu sebenarnya?

Penulis menyadari, bahwa ketika memasuki situasi transisi dan perubahan yang  sangat  Cepat saat ini, hukum Indonesia ternyata memiliki banyak catatan untuk dikaji. Salah satunya yang dapat dipaparkan pada paparan ini, yaitu pandangan seorang yang dapat disebut pakar yang selama ini senantiasa melihat hukum melalui cara pandang berbeda. Dialah Prof Satjipto Rahardjo, barang kali bukan nama yang asing bagi kalangan praktisi dan akademisi hukum di Indonesia. Buah karyanya dalam berbagai tulisan telah memberikan nuansa baru bagi perkembangan pemikiran hukum.
Ada beberapa alasan mengapa pemikiran beliau dikemukakan dalam paparan ini.
Pertama, alasan paling logis, bahwa salah satu beberapa referensi Prof Tjip yang penulis memiliki, sehingga cukup memudahkan untuk memetakan secara garis besar pemikiran beliau tentang hukum di Indonesia.
Kedua, Sepengamatan penulis ternyata beberapa pemikir lain di bidang hukum sudah banyak dikupas dalam beberapa buku, baik untuk tingkat dasar (pengantar) sampai tingkat lanjut tentang hukum Indonesia, sebut saja beberapa tulisan dan karya Mochtar Kusumahatmadja, Soerjono Soekanto dan lain-lain.
Ketiga, orisinalitas terhadap pemikiran Satjipto Rahardjo sesungguhnya mewakili konteks berpikir kontemporer atau postmodernis, sepertinya sedang membumi (boming) saat ini, yaitu menyangkut perkembangan yang luar biasa pesat dalam ilmu dan era penegakan hukum yang "carut marut" saat ini.
Keempat, substansi pemikiran yang dikemukakan mengarah kepada penemuan teori hukum, hanya mungkin ada pertanyaan yang menghujam pada diri penulis dapatkah teori hukum Prof Tjip ini menjadi teori yang membumi (Grounded Theory) atau yang meng-Indonesia.
Kelima, Pemikiran Prof Tjip apabila mengkristal secara terus menerus bisa jadi menjadi sebuah alternatif pemikiran hukum yang mengeser paradigma hukum yang sangat positivisme dan menjadi sebuah paradigma baru pemikiran hukum di Indonesia, bahkan di dunia.
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil.
Butiran pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science),(Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat logika sosial dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang seharusnya selalu dimaknai sehingga selalu up to date.
Pemikiran konvensional yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto merupakan tragedi pemikiran, penulis sebut saja parsialisme pemikiran atau belum out of the box.
Satjipto Rahardjo merupakan salah satu pemikir hukum Indonesia yang cukup roduktif. Prof. Tjip, begitu orang-orang menyebutnya, lebih terkenal (khususnya) di dunia akademis sebagai "Begawan Sosiologi Hukum". Pemikirannya akan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. Ciri pemikirannya sesuai dengan perkembangan saat ini dapat dimasukan ke dalam pemikir kontemporer dalam ilmu hukum postmodernis sekaligus kritis.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang sering disebutnya sebagai ‘Pemikiran Hukum Progresif, yaitu semacam refleksi atau sebuah komtemplasi dari perjalanan intelektualnya selama menjadi musafir Ilmu. Ulasan yang ada dalam paparan ini, hanya berupa sketsa kecil dan bisa jadi tidak dapat menggambarkan substansi, konsep dan pesan yang ada didalamnya. Karena fokusnya lebih kepada kepingan-kepingan dari pidato emeritusnya serta berbagai referensinya, juga beberapa diskusi di ruang kelas antara mahasiswa maupun antara mahasiswa dengan dosen pemateri juga diskusi terbatas berbagai diskusi publik, ketika mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang melalui KPK UNTAN Pontianak Kal-Bar.
Meskipun demikian, sebagai sebuah tulisan berbentuk sketsa hal ini cukup representative, mengingat kedalam substansi yang dikemukakan dalam pidato emeritusnya dan juga materi diskusi serta referensinya. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti, maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah “ilmu”. Proses pemaknaan itu mengelaborasi sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunannya sebuah teori, yang dalam terminologi Thomas Kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatika”.

B. Diantara Persimpangan Profesi dan Ilmu
Bagi Satjipto Rahardjo, lahirnya program Pascasarjana dalam pendidikan hukum di Indonesia, pada tahun 1980-an merupakan sebuah pembalikan paradigmatik (revolusioner) dalam dunia pendidikan hukum, sebagaimana dijelaskan, “Dikatakan sebagai revolusi, oleh karena sejak dibuka rechtshogeschool di jaman kolonial Belanda pada tahun 1922, maka Indonesia hanya mengenal program profesi saja. Maka sungguh revolusionerlah sifat atau kualitas perubahan pada pertengahan tahun 1980-an itu, mulai saat itu Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan profesi, melainkan juga keilmuan, khususnya dalam bidang hukum …”
Apalagi setelah dibukanya Program Doktor Ilmu Hukum, khususnya di UNDIP, maka lebih jelaslah kedudukan hukum sebagai objek ilmu, dan mengokohkan eksistensi tentang program keilmuan. Sehingga mereka yang hendak kuliah di Program Doktor Ilmu
Hukum UNDIP, tidak harus memiliki latar belakang formal SI Hukum. Konsekuensi yang muncul, bahwa para ilmuwan hukum akan diajak "thawaf" untuk menjelajah hukum secara luas yang intinya tidak lain adalah searching for truth (pencarian kebenaran).
Inilah sebuah master key pemikiran beliau, bahwa setiap akademisi hukum memiliki kewajiban untuk upaya pencarian kebenaran. Pencarian kebenaran inilah sebenarnya disebutnya sebagai proses pemaknaan terhadap hukum, dan ini pula merupakan kesadaran visioner, bahwa tugas ilmuwan adalah mencerahkan masyarakat, sehingga dunia pendidikan memberikan kontribusi dan tidak melakukan pemborosan atau sering disebut oleh beliau hukum bukan untuk hukum tetapi hukum dibuat untuk manusia.
Selama ini, khususnya sebelum lahirnya S2-S3, pendidikan hukum lebih bersifat kepada apa yang disebutnya dengan Lawyers Law, atau Law for the lawyers atau Law for the professional, setiap orang dibawa dan diarahkan untuk menjadi seorang profesional, dan sisi buruknya muncul pandangan bahwa itulah satu-satunya kebenaran, bahwa hukum hanyalah ada dalam wilayah yang disebut dengan “logika hukum” tataran norma ansic. Pandangan ini kemudian berkembang lebih jauh bahkan mendominasi dan menghegemoni, sehingga setiap orang apabila berbicara hukum seolah-olah hanya wilayah “logika hukum” norma ansic itulah kebenaran, di luar wilayah itu bukanlah hukum. Namun dengan munculnya pendidikan S2 dan S3, maka wilayah kebenaran (hukum) menjadi jauh lebih luas daripada potret hukum yang sudah direduksi menjadi sekedar Lawyers Law.
 Satjipto Raharjo memberikan gambaran tentang kajian dua domain pendidikan yang berbeda itu, dengan menjelaskan pendidikan hukum Profesional, dan pendidikan S2 dan S3.
Pertanyaannya apakah ada "benang merah antara Profesi dan Ilmu" menurut penulis ada benang merahnya diantara keduanya, tetapi benang merah itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan atau sesuatu yang dikhotomis, penulis sependapat dengan apa dinyatakan oleh K. Kopong Medan & Mahmutarom HR dalam sebuah kata editor: yang bertitle: "Memahami "Multi Wajah" Hukum" dinyatakan: Adalah sebuah langkah yang setrategis apabila kita coba mencermati dinamika studi hukum yang terjadi di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro Semarang. Bukankah sesuatu yang tidak beralasan kalau para penggagas berdirinya PDIH Undip-seperti Satjipto Rahardjo, Muladi, Barda Nawawi Arief, dan sebagainya-menetapkan program unggulannya yang "multi entry", yang memungkinkan orang –orang dari disiplin ilmu lain untuk mengikuti studi di PDIH Undip. Strategi pendidikan hukum yang demikian itu dimaksudkan untuk bisa mendapatkan tampilan wajah hukum yang sesungguhnya. Itu berarti, baik studi-studi
yang normatif maupun yang sosiologis, antropologis, pesikologis, politik, ekonomi, dan sebagainya ikut dikembangkan bersama-sama sesuai minat mahasiswanya agar penggalan wajah hukum yang dikemukakan oleh masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang utuh.
Perpaduan itu dikemas dengan satu kalimat, yaitu saling menyapa antara berbagai perspektif dalam memahami pemikiran hukum yang berkembang saat ini baik doktrinal maupun yang non doktrinal atau yang melakukan pendekatan analisis normologik, yakni wajah hukum yang beragam: (1) wajah hukum yang sarat dengan asas keadilan, (2) wajah hukum hukum yang sarat dengan norma yang dipositifkan melalui peraturan perundangundangan dan (3) wajah hukum yang judgemande atau yang tampil dalam putusanpurusan hakim, Tipologi wajah hukum yang demikian itu selalu eksis sebagai bagian dari suatu sistem doktrin atau ajaran, yakni ajaran tentang bagaimana hukum harus diketemukan atau diciptakan untuk menyelesaikan perkara atau problem solving baik dari dimensi kenegaraan maupun dimensi kemasyarakatan, sebaliknya dengan yang melakukan analisis nomologik, yakni logika hukum yang berlandaskan pada nomos (realitas sosial). Konsep hukum yang demikian itu jelas tidak akan menampilkan wajah hukum yang normatif (rules), melainkan sebagai regularities (pola-pola perilaku) yang terjadi dialam pengalaman dan atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari (sine ira et studio).
 Menerut Penulis perpaduan kedua analisis itu sama halnya kita memahami sinergisitas ayat-ayat kauliyah dengan ayat-ayat kauniyah berdasarkan Al-Qur'an, penulis menyebut dengan satu proposisi "sesungguhnya Al-Qur'an itu berthawaf dalam dirimu", karen memang manusia diperintahkan untuk memperhatikan kedua kategori ayat-ayat itu dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan tetapi terbedakan, oleh karena itu harus dipahami secara holistik bukan parsial, Jadi kedua pandangan itu bisa diketemukan jika kita tidak hanya memandang struktur hukum sistimatis hirarkis tetapi juga memandang struktur hukum itu sesungguhnya berthawaf, mengapa demikian, Satjipto Rahardjo lebih jauh menegaskan, bahwa tidak ada tatanan sosial, termasuk didalamnya tatanan hukum, yang tidak bertolak dari kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat. Dengan perkataan lain, tidak ada tatanan tanpa paradigma.4 Kesamaan sikap, perlaku, filosofi antara bangsa dalam menghadapi pergeseran pemikiran hukum global sangat diperlukan, K Kopong Medan & Mahmutarom HR dalam Esmi Warasssih, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005, halaman ix. Soetandyo Wignyo Soebroto, "Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, halaman 11-15. Satjipto Rahardjo. "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses-Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998.
Oleh karena itu konsep Edward O Wilson tentang "penyatuan Ilmu Pengetahuan" yang dilontarkan dalam buku berjudul Consilience: The Unity of Cnonwledge, Idealisme Wilson ini didasarkan pada suatu keyakinan bahwa dunia ini bersifat tertata dan dapat diterangkan hanya dengan sedikit saja hukum-hukum (alam). Oleh karena itu, penyatuan ilmu pengetahuan bagi Wilson merupakan "suatu lompatan bersama dengan mempertalikan atau mempersatukan fakta-fakta dan teori-teori diseluruh disiplin ilmu untuk menciptakan suatu dasar penalaran yang sama dalam memberikan penjelasan tentang sebuah "obyek" studi".

C. Ilmu Hukum mengalami pergeseran paradigmatik
Pada penjelasan lain yang berkaitan dengan problematika diatas, adalah sikap ilmuwan yang harus senantiasa menyikapi ilmu sebagai sesuatu yang terus berubah, bergerak dan mengalir, demikian pula ilmu hukum. Garis batas ilmu hukum selalu bergeser sebagaimana dijelaskan, “… Maka menjadi tidak mengherankan bahwa baris perbatasan ilmu pengetahuan selalu berubah, bergeser, lebih maju dan lebih maju ….”
Dengan menganalogikan pergeseran paradigmatik dalam ilmu fisika khususnya
pemikiran Newton yang terkenal dan pada waktu itu menghegomoni para fisikawan kemudian digantikan oleh era baru dengan munculnya teori kuantum modern yang pada kenyataannya lebih mampu menjawab persoalan-persoalan fisika yang tidak terpecahkan sebelumnya. Harus diakui, bahwa Fisika Newton telah memberikan jasa luar biasa besar terhadap persoalan-persoalan fisika yang bersifat makro, logis, terukur dan melihat hubungan sebab akibat (mekanis), namun tidak mampu menjawab persoalan mikro, yang bersifat relative, kabur, tidak pasti, namun lebih menyeluruh. Lahirnya teori kuantum modern yang memecahkan kebuntuan dari teori fisika Newton tersebut, selanjutnya merubah cara pandang ilmuwan tentang realitas alam semesta. Perubahan itu tentu saja dimaknai secara bervariasi oleh setiap orang yang mencermatinya, namun hakekat utamanya jelas bahwa lahirnya teori kuantum adalah penjelasan paling logis bahwa ilmu senantiasa berada di tepi garis yang labil.
Satjipto Raharjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk Ilmu Hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan”. Inilah yang disebutnya sebagai “pandangan holistik dalam ilmu (hukum) Pandangan holistik ini memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Edward O. Wilson melalui tulisannya menjadi acuan para penstudi hukum yaitu Consilience; The Unity of Knowledge, membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Ian G. Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains sosial dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghinpun beberapa disiplin secara luas dan anggun”.
Menurutnya tumbangnya era Newton mengisyaratkan suatu perubahan penting dalam metodologi ilmu dan sebaiknya hukum juga memperhatikannya dengan cermat.
Karena adanya kesamaan antara metode Newton yang linier, matematis dan deterministic dengan metode hukum yang analytical-positivism atau rechtdogmatiek yaitu bahwa alam (dalam terminology Newton) atau hukum dalam terminologi positivistic (Kelsen dan Austin) dilihat sebagai suatu sistem yang tersusun logis, teratur dan tanpa cacat. Dengan munculnya teori kuantum, bahkan teori keos, imbasnya terasa sekali kepada perkembangan pemikiran hukum. Maka situasi atau yang selama ini teramalkan dalam konsep yang dijelaskan diatas (Kelsen dan Austin) menjadi tatanan yang tidak dapat diprediksi, acak, simpang siur, dan dramatis.
Ternyata gagasan fisika kuantum tersebut di atas dengan relativitasnya, membantu kita untuk tidak memutlakan gagasan dan nilai yang kita pegang, tidak ada di dunia ini yang mutlak, yang paling benar dan paling baik sendiri, yang mutlak hanya Allah SWT. Pemutlakan terhadap kebenaran yang relatif di atas itu pada dasarnya akan merusak kreativitas. Bagi Satjipto Rahardjo, teori bukanlah harga mati, karena sejarah perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan akan hal itu semua dapat ditelusuri sejak jaman Yunani hingga masa di era Postmodernis. Dengan demikian patut dicatat bahwa ilmu hukum selalu berada pada suatu pijakan yang sangat labil dan atau selalu berubah (the changing frontier of science) dan ini pula yang disebutnya dengan “the state of the arts in science”. Oleh karena itu kalimat yang senantiasa muncul adalah hukum selalu mengalami referendum’.
Bagi Satjipto Raharjo, berpikir teoretis bagi para ilmuwan hukum adalah mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu gagasan beliau lebih kepada bagaimana para ilmuwan hendaknya mengembangkan semangat untuk tetap menjaga cara berpikir yang demikian itu, karena melalui jalur tersebut akan membawa kita semua sampai kepada apa yang disebutnya dengan “The Formation of Theory” (membangun teori). Teori menurutnya adalah, Giving name-explanation, given new meaning. Para llmuwan hukum seharusnya mencoba berpikir kearah sana. Dan semua ilmuwan sangat terbuka/diundang untuk memasuki wilayah ini.
Teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana orang atau sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum itu, artinya apa yang sedang terjadi atau perubahan yang tengah terjadi dimana komunitas itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang hukum. Misalnya saja lahirnya pemikiran positivistic dalam ilmu hukum sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat positivistic yang saat itu tengah "booming".
Keniscayaan sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi; bergerak, dan proses pemaknaan baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total.

D. Sebuah Kritik Terhadap konsep Hukum Modern saat ini.
Satu hal yang cukup penting dari gagasan Satjipto Rahardjo, adalah kritiknya
terhadap dominasi hukum modern, yang telah mengerangkeng kecerdasan (berfikir)
kebanyakan ilmuwan hukum di Indonesia. Sejak kemunculannya hukum modern,
seluruh tatanan sosial yang ada mengalami perubahan luar biasa. Kemunculan hukum modern tidak terlepas dari munculnya negara modern. Negara bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat, dan pada saat yang sama kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial, sehingga seluruh yang ada dalam lingkup kekuasaan negara harus diberi label negara, undang-undang negara, peradilan negara, polisi negara, hakim negara dan seterusnya. Bagi hukum ini merupakan sebuah puncak perkembangan yang ujungnya berakhir pada dogmatisme hukum, liberalisme, kapitalisme, formalisme dan kodifikasi.
Namun demikian Satjipto Rahardjo menjelaskan, bahwa memasuki akhir abad 20 dan awal abad 21, nampak sebuah perubahan yang cukup penting, yaitu dimulainya perlawanan terhadap dominasi atau kekuasaan negara tersebut.
Dalam ilmu, pandangan ini muncul dan diusung oleh para pemikir post-modernis, pada tataran yang dengan demikian sifat hegemonal dari negara perlahan-lahan dibatasi, dan mulai muncul pluralisme dalam masyarakat, negara tidak lagi absolute kekuasaannya. Muncullah apa yang disebut dengan kearifan-kearifan lokal, bahwa negara ternyata bukan satu-satunya kebenaran.
 Inilah yang digambarkan oleh Satjipto Rahardjo sebagai gambaran transformasi hukum yang mengalami “bifurcation” (pencabangan) dari corak hukum
yang bersifat formalisme, rasional dan bertumpu pada prosedur, namun di samping itu muncul pula ada pemikiran yang lebih mengedepankan substansial justice, sebagaimana dijelaskan, “Disinilah hukum modern berada di persimpangan sebab antara keadilan sudah diputuskan dan hukum sudah diterapkan terdapat perbedaan yang sangat besar.Wilayah keadilan tidak persis sama dengan wilayah hukum positif. Keadaan yang gawat tersebut tampil dengan menyolok pada waktu kita berbicara tentang “supremasi hukum”. Apakah yang kita maksud? Supremasi keadilan atausupremasi undang-undang? Keadaan persimpangan tersebut juga memunculkan pengertian-pengertian seperti “formal justice” atau “legal justice” di satu pihak dan “substansial justice” di pihak lain.

Gambaran berikut ini mengilustrasikan pemikiran di atas.
Natural Law - Hukum Modern - Bifurcation - Negara Modern - Indrustrialisme
Liberalisme, Kapitalisme dll - Keadilan Substantial Justice - Formal Justice.

Inilah sebuah sketsa singkat pemikiran seorang yang selalu berada di jalan ilmu, upaya dan semangat yang dikembangkan dengan terus berusaha mencermati perubahanyang terjadi, khususnya di Indonesia, gagasan Satjipto Rahardjo tidak saja memperkaya khasanah pengetahuan hukum tetapi lebih dari itu memberikan sebuah keteladanan bahwa kewajiban bagi seorang ilmuwan adalah selalu bersikap rendah hati dan terbuka, serta memiliki semangat untuk senantiasa berada pada jalur pencarian, pembebasan danpencerahan. Itulah pesan yang merupakan hakekat dari
apa yang disebutnya “pemikiran hukum yang progresif, jika penulis selaraskan dengan menyitir Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, 29 Oktober 2009 yang disampaikan  Garuda Wiko "Penegakan Hukum, Pembaharuan Hukum dan Rancang Bangun Hukum Progresif" pada bagian penutup beliau menyatakan: "Dibagian akhir pidato pengukuhan ini, saya sampaikan bahwa rancang bangun hokum progresif yang saya sampaikan adalah upaya teoritik dan tentatif untuk menuliskan "wajah" hukum progresif yang diperkenalkan Prof Satjipto Rahardjo. Dalam beberapa artikel dan tulisan yang menanggapi gagasan hukum progresif, penulisnya seringkali bertanya dan mencari-cari definisi hukum ptogresif itu, tetapi tidak menemukannya secara "gamblang" Saya juga pada mulanya "penasaran" dengan cara pengungkapan gagasan yang dipilih Prof Tjip (demikian biasanya beliau disapa). Akan tetapi ketika
beliau mengungkapkan pada suatu pertemuan bahwa gagasannya ini adalah suatu eksemplar yang masih terbuka, mengertilah saya akan "kearifan" Prof Tjip dalam membuka dialog teoritik yang egaliter, jauh dari kesan dominasi hegemonik.
Kemudian selanjutnya Garuda Wiko menyatakan: "Upaya saya untuk menelisik rancang bangun hukum progresif, seperti uraian sejak awal pidato ini, juga didorong oleh situasi dimana hukum seringkali menyajikan atraksi tearitikal yang meletupkan kekecewaan rakyat. Upaya menghadirkan ideal kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan tujuan hukum nampaknya membutuhkan perubahan radikal baik pada aras paradigmatik, teoritik maupun praksis. Mudah-mudahan tawaran model hukum progresif dengan segala elemen dan kisi-kisinya penyusunnya, dapat memberikan sumbangan pada perubahan yang hendak kita susun sebagai rencana aksi kedepan.
Pernyataan itu mengelitik pemikiran penulis, bahwa perlunya perubahan paradigmatik yang radikal, teoritik dan praksis, dan paparan ini menawarkan sebuah
konsep paradigmatik yaitu rekonstruksi pospositivisme yang berbasiskan spiritulisme
sekaligus kritis berdasarkan konsep "thawaf" penulis sebut paradigma "thawaf' dan "gilirbalik".

E. Pengertian Hukum "berbanding lurus" dengan Paradigma yang dianut.
Mengacu pada paparan di atas, maka para penstudi hukum ketika membaca
beberapa literatur utamanya yang terkait dengan Ilmu Hukum seharusnya memahami
paradigma pemikiran hukum yang melatar belakangi pemikiran pencetusnya, karena dari paradigma itu kita akan temukan beberapa definisi/pengertian tentang “hukum”itu. Artinya pengertian hukum itu ternyata berkaitan erat dengan paradigma yang dipakai oleh pemikir atau penstudi hukum tersebut.
Untuk melihat apa yang dimaksud dengan hukum, berikut akan diuraikan
pandangan tentang apa yang dimaksud dengan “hukum” dari beberapa aliran pemikiran dalam ilmu hukum yang ada, sebab timbulnya perbedaan tentang sudut pandang orang tentang apa itu “hukum” salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatar belakanginya yang sesungguhnya berbanding lurus dengan pergeseran paradigmapemikiran yang berkembang saat pandangan itu dipaparkan.






Aliran Sosiologis, Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu
    lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau           tata sosial, atau tata ekonomi).
2. Hukum dalam arti selaku kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan
pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh
manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi
hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka).







Previous
Next Post »
0 Komentar