MAKALAH STUDY ILMU HADIST TENTANG MU’ALLIM

23.39

BAB I
PENDAHULUAN

Dan perlu kita ketahui bahwa di dalam “pendidikan” mempunyai pengertian suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang didalamnya mengandung beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan, diantaranya adalah :
1.  Didalam bimbingan ada pembimbingnya ( Mu’allim) dan yang dibimbing (terdidik).
2. Bimbingan mempunyai arah yang bertitik tolak pada dasar pendidikan dan berakhir pada tujuan pendidikan.
3. Bimbingan berlangsung pada suatu tempat, lingkungan atau lembaga pendidikan tertentu.
4. Bimbingan merupakan proses, maka harus proses ini berlangsung dalam jangka waktu terntu.
5. Didalam bimbingan harus mempunyai bahan yang akan disampaikan pada anak didik untuk mengembangkan pribadi seperti yang di inginkan.
6.  Didalam bimbingan menggunakan metode tertentu.
Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari sang pendidik (subjek pendidikan). Berhasil atau gagalnya pendidikan sangat ditentukan oleh subjek pendidiakan tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan pendidik dalam menguasai objek pendidikan dan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. Agar hasil yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan tentang subjek pendidikan. Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan sedikit tentang Subjek pendidikan ini dengan judul Subjek Pendidikan dengan harapan dapat mengerti dengan apa yang dimaksud sang pendidik. Semoga bermanfaat.
Subjek pendidikan sangat berpengaruh sekali kepada keberhasilan atau gagalnya pendidikan. Disebabkan banyak hal yang melatarbelakangi sipendidik.
Subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan.
Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah Orang tua, guru-guru di institusi formal (disekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan pertama ( tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga (orang tua). Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah yang kedua adalah Rasulullah. Sebagaimana dapat kita lihat dalam surat al-‘Alaq (96) 4-5
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam surat al-Baqarah (2): 31
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" 
Dalam Surat al-Rahman, ayat 1-4
Artinya: (tuhan) yang Maha pemurah, Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.
















BAB II
PEMBAHASAN



A.              Definisi Muallim/Pendidik
Dari segi bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidik. Kata tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah. Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai akta ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib.Beberapa istilah tentang pendidik tersebut mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, ketrampilan atau pengalaman kepada orang lain. Kata-kata yang bervariasi tersebut menunjukkan adanya perbedaan ruang gerak dan lingkungan dimana pengetahuan dan ketrampilan tersebut diberikan. Jika pengetahuan dan ketrampilan tersebut diberikan di sekolah disebut teacher, di perguruan tinggi disebut lecturer atau professor, di rumah-rumah secara pribadi disebut tutor, di pusat-pusat latihan disebut instructor atau trainer dan di lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut educator.
Dengan demikian, kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dan memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan dimana saja. Di rumah orang yang melakukan tugas tersebut adalah kedua orangtua. Karena secara moral dan teologi merekalah yang diserahi tanggung jawab mendidik anaknya. Selanjutnya di sekolah tugas tersebut dilakukan oleh guru, dan di masyarakat dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan sebagainya. Atas dasar ini, maka yang termasuk dalam pendidikan itu bisa kedua orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan sebagainya.

B.          Definisi Mu’allim/Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.
Kemudian pendidik dalam Islam adalah guru. Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar.
Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi seperti al-alim (jamaknya ulama) atau al-mu’allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada hati guru. Selain itu ada pula sebagian ulama yang menggunakan istilah al-mudarris untuk arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaran. Selain itu terdapat pula istilah ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang khusus mengajar bidang pengetahuan agama Islam.
Jadi, guru yang dimaksud disini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid, biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah.

C.          Kedudukan Mu’allim/Pendidik dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guu. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang guru, kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.
Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber pada Tuhan :
Tidak ada pengetahuan yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami
Ilmu datang dari Tuhan, guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.

D.              Tugas Mu’alli/Pendidik dalam Pendidikan Islam
Menurut Abuddin Nata, secara sederhana tugas pendidik adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Sedangkan tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Mendidik ternyata tidak semudah mengajar.[1] Dalam proses pembelajaran pendidik harus mampu mengilhami peserta didik melalui proses belajar mengajar yang dilakukan pendidik sehingga mampu memotivasi peserta didik mengemukakan gagasan-gagasan yang besar dari peserta didik.
Dalam konteks mengajar, pendidik mesti menyadari bahwa setiap mata pelajaran mestinya membawa dan mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Unsur pendidikan, dimaknai dapat membina dan menempa karakter pendidik agar berjiwa jujur, bekerja secara cermat dan sistematik. Sedangkan unsur pengajaran dimaknai untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik kepada setiap mata pelajaran yang diterimanya.
Secara khusus, bila dilihat tugas guru pendidikan agama (Islam) adalah di samping harus dapat memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama, juga diharapkan dapat membangun jiwa dan karakter keberagamaan yang dibangun melalui pengajaran agama tersebut. Artinya tugas pokok guru agama menurut Abuddin Nata adalah menanamkan ideologi Islam yang sesunggunya pada jiwa anak. [2]
Pada uraian yang lebih jelas Abuddin Nata lebih merinci bahwa tugas pokok guru (pendidik) adalah mengajar dan mendidik. Mengajar disini mengacu kepada pemberian pengetahuan (transfer of knowledge) dan melatih keterampilan dalam melakukan sesuatu, sedangkan mendidik mengacu pada upaya membina kepribadian dan karakter si anak dengan nilai-nilai tertentu, sehingga nilai-nilai tersebut mewarnai kehidupannya dalam bentuk perilaku dan pola hidup sebagai manusia yang berakhlak.
Apabila pendidik dilihat dalam konteks yang luas, maka tugas pendidik bukan hanya di sekolah (madrasah) tetapi dapat juga melaksanakan tugasnya di rumah tangga. Menurut Ahmad Tafsir, [3] tugas mendidik di rumah tangga dapat dilaksanakan dengan muda, karena Tuhan (Allah) telah menciptakan landasannya, yaitu adanya rasa cinta orang tua terhadap anaknya yang merupakan salah satu dari fitrahnya. Rasa cinta terlihat misalnya dalam Qur’an surat al-Kahfi ayat 46 dan surat al-Furqan ayat 74. Cinta kepada anak-anak telah diajarkan juga oleh Rasulullah kepada para sahabat. Seorang Baduwi datang kepada Muhammad saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.” Orang yang mulia itu berkata, “Apakah kamu tidak takut Allah akan mencabut kasih sayang dari hatimu? (H.R Bukhari).
Ramayulis, menguraikan tugas pendidik sebagai warasat al-anbiya (pewaris nabi),  pada hakekatnya mengemban misi rahmat li al-‘alamin yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Untuk melaksanakan tugas demikian, pendidik harus bertitik tolak pada amar ma’ruf nahi mungkar, menjadikan prinsip tauhid sebagai pusat kegiatan penyebaran misi iman, islam dan ihsan, kekuatan yang dikembangkan oleh pendidik adalah individualitas, sosial dan moral. [4]  Muh. Uzer Usman, menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berati meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.    Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. [5]
Pada bagian lain, Usman menyoroti tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat motivasi bagi siswanya dalam belajar.
Sedangkan tugas guru pada bagian lain adalah terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada bidang ini guru merupakan komponen strategis yang memilih peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. [6][
Muhaimin menjelaskan tugas pendidik (guru) sekaligus dengan karakteristiknya yang diawali menguraikannya dari istilah yang dipakai terhadap guru dalam literatur kependidikan Islam yakni ustadz, mu’alim, murabby, mursyid, nudarris, mu’addib. Ustadz, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang berkomitmen terhadap profesional, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement. Mu’allim, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer ilmu/pengetahuan, internalisasi, serta amaliyah (implementasi). Murabby, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya. Mursyid, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi dirinya atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. Mudarris, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Mu’addib, karakteristik dan tugasnya adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan. [7]
Berkaitan dengan tugas pendidik dalam bidang kemanusiaan ini, Muhammad Fadhil al-Jamili, menguraikan bahwa pendidik sebagai manusia dalam melaksanakan tugasnya harus menjauhi sifat materialistis, mempunyai tanggungjawab sosial, selalu membekali dengan keilmuan dan mengajarkannya kepada peserta didik, menempatkan peserta didik sebagai manusia yang patut dihormati. [8]
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa tugas guru (pendidik) ialah mendidik. Mendidik sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan. Dalam pendidikan di sekolah, tugas guru (pendidik) sebagian besar adalah mendidik dengan cara mengajar. Tugas pendidik di dalam rumah tangga membiasakan, memberikan contoh yang baik, memberikan pujian, dorongan yang diperkirakan menghasilkan pengaruh positif bagi pendewasaan anak (peserta didik). [9]
Penelusuran Ahmad Tafsir dalam literatur Barat, tugas guru (pendidik) selain mengajar ialah berbagai macam tugas yang sesungguhnya bersangkutan dengan mengajar, yaitu tugas membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil belajar yang selalu bersangkutan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Tafsir, lebih jauh merinci tugas pendidik adalah (a) wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, (b) berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang, (c) memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan agar anak didik memilihnya dengan tepat, (d) mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik, (e) memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya. [10]
Ahmad Tafsir dalam uraiannya menyimpulkan bahwa tugas guru (pendidik) dalam Islam ialah mendidik muridnya (peserta didik) dengan cara mengajar dan dengan cara-cara lainnya, menuju tercapainya perkembangan maksimal sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas itu secara maksimal, sekurang-kuranya harus memenuhi syarat-syarat: (1) tentang umur, harus sudah dewasa, (2) tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, (3) tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli, (4) harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi. Dalam konsep Islam, syarat untuk menjadi guru meliputi: (1) umur, harus sudah dewasa, (2) kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani, (3) keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar), dan (4) harus berkepribadian muslim. [11]
Sementara itu, al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah (1) memandang murid seperti anaknya sendiri, (2) tidak mengharapkan upah atau pujian, tetapi mengharapkan keridhaan Allah dan berorientasi mendekatkan diri kepada-Nya, (3) memberi nasehat dan bimbingan kepada murid bahwa tujuan menuntut ilmu ialah mendekatkan diri kepada Allah, (4) Menegur murid yang bertingkah laku buruk dengan cara menyidir atau kasih sayang, (5) tidak fanatik terhadap bidang studi yang diasuhnya, (6) memperhatikan fase perkembangan berpikir murid, (7) memperhatikan murid yang lemah dengan memberinya pelajaran yang mudah dan jelas dan (8) mengamalkan ilmu. [12]
Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa tugas guru (pendidik) ialah melaksanakan pendidikan ilmiah, karena ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia. [13] Abdurrahaman An-Nahlawi menjelaskan bahwa tugas pendidik ialah mengkaji dan mengajarkan ilmu Ilahi, sesuai dengan Firman Allah: Surat Ali Imran ayat 79:
 Artinya:  Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, al-Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba-hamba Allah”. Akan tetapi (hendaknya dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S Ali Imran/3: 79)
An-Nahlawi memberikan pandangnya bahwa tugas pokok guru (pendidik) dalam Islam adalah: (1) tugas pensucian, guru (pendidik) hendaknya mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkannya dari keburukkan dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya, (2) tugas pengajaran, guru (pendidik) hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.[14] Sejalan dengan ini, al-Ghazali, yang dikutip Samsul Nizar, menjelaskan pula bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaan-Nya. [15]
Berkaitan dengan pendidikan ilmiah ini, hal yang utama harus dikembangkan oleh pendidik adalah pengembangan akal peserta didik. Dengan melakukan hal demikian peserta didik dapat mengembangkan akalnya secara maksimal. Sehingga tokoh pendidik Padang, Abdullah Ahmad menjelaskan bahwa sesungguhnya akal merupakan nikmat Allah yang terbesar kepada manusia. [16] Manusia sebagai pendidik akan memberikan pemahaman pemikiran yang terintegral dalam proses pembelajaran, sehingga pendidik merasa bertanggungjawab untuk mengembangkan akal peserta didik sebagai konsekuensi pekerjaannya. [17]
Pada sisi yang berbeda, pendidik bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pembimbing, pelatih bahkan pencipta perilaku peserta didik. [18] Dalam tugasnya sehari-hari yang menjadi fokus utama pendidik mesti melingkupi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, karena ke depan tugas pendidik semakin kompleks, sehingga diharapkan pendidik untuk bekerja lebih keras dengan tekun dan loyalitas untuk menciptakan dan mengembangkan sumber daya manusia.
Pada batasan yang berbeda Samsul Nizar merinci tugas pendidik adalah pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakan penilaian setelah program tersebut dilaksanakan, kedua, sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan kepribadian sempurna (insan kamil), seiring dengan tujuan penciptaan-Nya, ketiga, sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri (baik diri sendiri, peserta didik maupun masyarakat), upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan. [19]
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. [20]
Dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam, tugas pendidik menurut Malik Fadjar adalah menanamkan rasa dan amalan hidup beragama bagi peserta didiknya. Dalam hal ini yang dituntut adalah bagaimana setiap pendidik agama mampu membawa peserta didik untuk menjadikan agamanya sebagai landasan moral, etik dan spritual dalam kehidupan kesehariannya. [21]
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa tugas pendidik adalah melaksanakan proses pembelajaran yang terintegrasi dalam kegiatan mendidik, mengajar dan melatih sehingga terlaksananya empat pilar pendidikan yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be), dan belajar hidup bermasyarakat (learning to live together). [22]
Agar pendidik dapat melaksanakan tugasnya, sebagai pendidik mesti mempunyai sifat profesionalisme. Abuddin Nata menjelaskan bahwa sifat profesionalisme itu dapat dilihat dari ciri-ciri: (a) mengandung unsur pengabdian, di mana pendidik mesti dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelayanan dapat berupa pelayanan individu, dan bersifat kolektif. (b) mengandung unsur idealisme, di mana bekerja sebagai pendidik bukan semata-mata mencari nafkah, tetapi mengajar merupakan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, meringankan beban penderitaan manusia. (c) mengandung unsur pengembangan, di sini maknanya adalah pendidik mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya secara terus menerus. [23]
Berkaitan dengan profesional ini, Muh. Uzer Usman menjelaskan bahwa guru (pendidik) profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru (pendidik) dengan kemampuan maksimal. Agar profesional dapat berjalan sesuai dengan aturanya, maka profesi mempunyai persyaratan khusus, yakni: (a) menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam, (b) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya, (c) menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai, (d) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya, dan (e) memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. [24]
Sikap profesional tidak bisa bertahan dengan sendirinya tanpa dilakukan pengembangan dan penambahan dari segi keilmuan. Agar pendidik selalu mempunyai sikap profesi secara kontiniu, maka harus menguasai hal-hal sebagai berikut: pertama,  menguasai bidang keilmuan, pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan kepada peserta didiknya, kedua, harus memiliki kemampuan menyampaikan pengetahuan  yang dimilikinya secara efisien dan efektif, ketiga, harus memiliki kepribadian dan budi pekerti yang mulia yang dapat mendorong para siswa untuk mengamalkan ilmu yang diajarkannya.[25]
Di samping itu, sikap profesional pendidik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam sekolah/madrasah. Dalam hal ini, Ahmad Tafsir menjelaskan cara menerapkan sikap profesional di sekolah/madrasah, yakni: pertama, adanya profesional pada tingkat yayasan atau pemegang kekuasaan penyelenggara sekolah/madrasah, kedua, menerapkan profesional pada tingkat pimpinan sekolah, ketiga, menerapkan profesional pada tingkat tenaga pengajar, dan keempat, melaksanakan profesional tenaga tata usaha sekolah/madrasah. [26]
Ahmad Barizi, editor buku Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, menguraikan bahwa pendidik yang profesional tidak saja knowledge based, tetapi lebih bersifat competency based, yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan berdasarkan nilai-nilai etika dan moral.[27] Bahkan pendidik mesti melaksanakan konsep humanisme religius. Humanisme religius adalah pengembangan individu dalam rangka menerapkan dan meraih tanggungjawab  (istikmal atau perfection), sehingga ucapan, cara bersikap dan tingkah laku guru ditunjukkan agar peserta didik bisa menjadi insan kamil yakni sempurna dalam kaca mata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama. [28]
Di samping pendidik memiliki sifat profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya, dalam era globalisasi sekarang yang serba kompleks, pendidik harus melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, diperlukan adanya kegiatan orientasi secara periodik antar pendidik, kedua, mengarahkan penataran dan penyetaraan yang sedang berlaku kepada pengembangan wawasan dan bukan semata pada hal-hal yang bersifat teknis, seperti hanya berkisar pada persoalan instruksionalnya tetapi lebih jauh dari itu adalah yang bersifat penalaran konsepsional, ketiga, ada baiknya buku paket untuk pendidik, karena keterbatan pendidik memiliki sumber belajar dan informasi. [29]
Pelaksanaan tugas pendidik di lapangan sebagai tenaga profesional akan menghadapi problema yang serius, sehingga dapat menghambat tugas-tugasnya sehari-hari. Agar tugas tugas tersebut dapat berjalan lancar, maka pendidik harus bersandar dan mempraktekkan kewajiban-kewajibannya sebagai berikut: pertama, menekuni pekerjaan seorang pendidik harus ikhlas dalam mengajarkan pelajaran kepada para pendidik dengan teliti dan yakin akan pemahaman yang ditangkap oleh mereka, serta mengikutsertakan ujian dari satu waktu ke waktu lain. juga tidak membiarkan sedikitpun waktu yang telah ditentukan untuk mengajar berlalu tanpa tanpa hasil bagi para pendidik, kedua, seorang guru harus mengambil contoh yang baik dari Rasulullah saw. sebagai orang yang pertama yang mengajarkan manusia tanpa mengharapkan balasan apapun secara keseluruhan, ketiga, seorang guru harus puas dengan gaji yang diberikan negara baginya dan harus berkeyakinan bahwa pahala yang besar hanya dari Allah, serta harus selalu mengingat sabda Rasulullah saw., keempat, seorang guru harus memperhatikan para pelajar dalam belajarnya seperti perhatiannya terhadap anak kandungnya sendiri, karena statusnya sebagai pengganti kedua orang tuanya. [30]
Pada bagian lain, pendidik harus memiliki krakteristik profesional, yakni; pertama, komitmen terhadap profesionalitas, kedua, menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapeta bagi diri, masyarakat dan lingkungannya, keempat, mampu menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan (centre of self-identification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya, kelima, mampu bertanggungjawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future). [31]
Sedangkan M. Arifin menegaskan bahwa guru (pendidik) yang profesional adalah guru (pendidik) yang mampu mengejawantahkan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah di samping mampu menekuni profesinya selama hidupnya. [32]
Di samping pendidik memiliki sifat profesional, pendidik menurut an-Nahlawi harus memiliki sifat. Sifat pendidik tersebut adalah: pertama, harus memiliki sifat rabbani, kedua, hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniahnya dengan keikhlasan, ketiga, hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar, keempat, ketika menyampaikan ilmu kepada peserta didik, harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa apa yang ia ajarkan dalam kehidupan pribadinya, kelima, harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya, keenam, harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran, ketujuh, harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya, kedelapan, harus memahami psikologi peserta didik, kesembilan, harus peka terhadap fenomena kehidupan, kesepuluh, harus memiliki sikap adil terhadap seluruh peserta didiknya. [33]
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebagai berikut :
  1. Guru harus mengetahui karakter murid.
  2. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya.
  3. Guru harus mengamalkan ilmunya.

E.          Syarat Mu’allim/Pendidik dalam Pendidikan Islam
Syarat terpenting bagi guru dalam Islam ialah sebagai berikut :
1.      Umur, harus sudah dewasa
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung-jawab. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa.
2.      Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya dalam mendidik dan tidak bisa bertanggung-jawab.
3.      Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar)
Ini penting sekali bagi pendidik, termasuk guru. Orangtua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.
4.      Harus berkepribadian muslim, berkesusilaan dan berdedikasi tinggi
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam meningkatkan mutu mengajar. Selain itu juga harus berkepribadian muslim.

F.               Sifat Mu’allim dalam Pandangan Islam
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini :
1)      Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya.
2)     Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.
3)      Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4)      Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
5)      Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
6)      Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
7)      Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
8)      Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya.
9)      Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
10)   Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.

G.        Kewajiban Mu’allim/Pendidik dalam Pendidikan Islam
Kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru menurut pendapat Imam Ghazali yaitu :
1)      Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
2)     Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud dengan mengajar mencari keridhaan Allah.
3)      Mencegah murid dari sesuatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela.
4)      Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya.
5)      Jangan timbulkan rasa benci pada diri murid mengenai suatu cabang ilmu yang lain.
6)      Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.







BAB  III
KESIMPULAN

Mu’allim/Pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Secara khusus pendidikan dalam persepektif pendidikan islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi peseta didik. Kalau kita melihat secara fungsional kata Mu’allim dapat di artikan sebagai pemberi atau penyalur pengetahuan, keterampilan.
Seorang Mu’allim mempunyai rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pendidik. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa” tugas Mu’allim adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.
Sedangkan peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, dimana mereka sangat memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.














REFERENSI

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001)
 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.ke-5
Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7. Lihat juga, Muhaimin, Pengembangan… op.cit., (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
 Muhammad Fadhil al-Jamili, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an, (t.tp: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.th)
 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut: Darul Salam, 1994) cet.III, terjemahan Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
Abdurrahaman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Bairut, Libanon: Dar al-Fikr al-Mu’asyir, 1983)
 Lihat Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr. H. Abdullah Ahmad, (Padang: Syamsa Offset, 1999)
Khalil Abu al-‘Ainin, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, (t.tp: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980)
Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003)
 A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:  Fadjar Dunia, 1999)
Rumusan empat pilar pendidikan dapat dilihat dalam Jacques Delors, et.al., Learning The Treasure Within, (France: Unesco Publishing, 1996)
Abdurrahaman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta; Gama Media, 2002)
 Syaikh Hasan Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo: Al Ahram, 1997), Edisi Indonesia terj. Abu Fahmi Huaidi¸ Metode Islam dalam Mendidik Remaja, (Jakarta: Mustaqiim, 2002)
H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)


















[1] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 134.
[2] Ibid, h. 135
[3] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.ke-5, h. 135-136
[4] Ramayulis, op.cit., h. 88. Dalam uraiannya tentang tugas pendidik 
[5] Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7. Lihat juga, Muhaimin, Pengembangan… op.cit., (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 50
[6] Ibid. Lihat juga Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor, Kencana, 2003), h. 142-143.
[7] Muhaimin, Pengembangan…. op.cit., h. 49-50
[8] Muhammad Fadhil al-Jamili, al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an, (t.tp: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.th), h. 13-17
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan….., op.cit., h. 78-79
[10] Ibid., h. 79.

[11] Ibid., h. 80-81
[12] Al-Ghazali, op.cit., h. 212-223, lihat juga Hery Noer Aly, op.cit., h. 96-99
[13] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut: Darul Salam, 1994) cet.III, terjemahan Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 301

[14] Abdurrahaman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Bairut, Libanon: Dar al-Fikr al-Mu’asyir, 1983)
[15] Samsul Nizar, op.cit., h. 44
[16] Lihat Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam Pandangan Dr. H. Abdullah Ahmad, (Padang: Syamsa Offset, 1999), h. 35.
[17] Khalil Abu al-‘Ainin, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim, (t.tp: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1980), h. 167
[18] Ahmad Barizi, Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 188-189
[19] Samsul Nizar, loc.cit
[20] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 20
[21] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:  Fadjar Dunia, 1999), h. 42-44)
[22] Rumusan empat pilar pendidikan dapat dilihat dalam Jacques Delors, et.al., Learning The Treasure Within, (France: Unesco Publishing, 1996), h. 86-97.
[23] Abuddin Nata, Paradigma ….. op.cit., h. 136-138
[24] Muh. Uzer Usman, op.cit., h. 14-15
[25]Abuddin Nata, op.cit., h. 139-140
[26] Ahmad Tafsir, op.cit., h. 116-119
[27] Ahmad Barizi, op.cit., h. 190
[28] Abdurrahaman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta; Gama Media, 2002), h. 196-197
[29] Ahmad Barizi, op.cit., 193-194
[30] Syaikh Hasan Hasan Manshur, Manhajul Islam fi Tarbiyyah al-Syabab, (Cairo: Al Ahram, 1997), Edisi Indonesia terj. Abu Fahmi Huaidi¸ Metode Islam dalam Mendidik Remaja, (Jakarta: Mustaqiim, 2002), h. 145-148
[31] Muhaimin, Wacana… op.cit., h. 216-217.
[32] H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 106
[33] Abdurrahman an-Nahlawi, op.cit., h. 170-176
Previous
Next Post »
0 Komentar