10.02

MEMORIESOleh:

Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*


I. PENDAHULUAN

Sayyid Abu al-A‘ala Maududi, salah seorang pemikir dan pejuang Islam dari anak benua Indo-Pakistan yang berpengaruh besar di dunia Islam abad ke-20. Pemikirannya selalu bertemakan kebangkitan Islam dalam menghadapi tantangan zaman tertuang lebih dari 120 dalam karya tulisnya. Ia berupaya untuk mewujudkan cita-citanya dengan segala konsekuensinya melalui organisasi yang dipimpinnya, yaitu : Jema’ati Islami di tingkat regional, dan Rabitah al-‘Alami al-Islami, organisasi Islam internasional yang berpusat di Makkah, yang ikut dipimpinnya sampai wafatnya.


II. BIOGRAFI

Maududi, lahir 3 Rajab 1321 H/25 September 1903 di Aurangabad, Hyderabad, sekarang masuk negara bagian Andhra Pradesh, India. Nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya mengaku keturunan dari Qutb ad-Din Maududi (w. 527 H) pemimpin terkenal tarekat Chisti. Ayahnya bernama Ahmad Hasan (1855-1919), seorang pengacara yang religius, dan berpendidikan dari Alighar University yang didirikan oleh Ahmad Khan (1817-1898), pembaru Islam di India.

Pendidikannya, pertama dari ayahnya, kemudian Madrasah Fauqaniyah, pengajarannya menggabungkan antara Barat Modern dengan Islam tradisional. Kemudian di Perguruan Tinggi Dar al-‘Ulum di Hyderabad. Kuliah ini tidak berlanjut, lantaran ayahnya wafat. Kemudian ia belajar secara otodidak, dengan bekal bahasa Arab, Inggris, Persia, dan Urdu.

Karya tulisnya, antara lain : Jihad fi al-Islam (1930), Risala-‘i Diniyat 1930) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Towards Understanding Islam (1940) dan telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa dunia, Tafhim al-Qur’an, terjemah dan tafsir al-Qur’an bahasa Urdu di tulis selama 30 tahun (1942-1972), The Islamic Law and Constitution (1955), berisi rumusan konsep Islam dalam bidang politik yang disesuaikan dengan tuntutan zaman modern.[1]

Maududi, semula sebagai wartawan, sejak usia 15 tahun. Usia 17 tahun sebagai editor Taj (1920), surat kabar berbahasa Urdu terbit di Jabalpore, pemimpin editor Muslim (1921-1923), Al-Jami‘iyyat (1925-1928). Kedua surat kabar itu milik organisasi Jami‘iyyati ‘Ulama’i Hind, organisasi Islam India saat itu. Ia berhasil membawa Al-Jami‘iyyat menjadi surat kabar berpengaruh besar di India tahun 1920-an. Tahun 1932, ia pindah ke Hyderabad (Deccan), memimpin Tarjumah al-Qur’an, majalah bulanan yang bertemakan kebangkitan Islam.[2]

Bidang politik, tahun 1920-an ikut gerakan Khilafat (Khilafat Movement) pimpinan Muhammad Ali (1878-1931) dan Abu al-Kalam Azad (1898-1958), pernah menjadi anggota Tahrik-i Hijrat, suatu gerakan anti Inggris di India. Namun, kemudian ia lebih banyak aktivitasnya di bidang ilmiah dan jurnalistik tahun 1930-an.[3] Pernah menjadi Dekan Fakultas Teologi pada Islamic College di Lahore tahun 1938-an.[4]

Ia sebagai pejuang Islam, tahun 1941 mendirikan Jema’at-i Islam-i dan memimpinnya selama 3 tahun, yang bertujuan untuk membentuk tatanan dunia Islam atau masyarakat yang Islami dalam arti hukum, politik dan sosial.[5] Ia pindah ke Pakistan setelah merdeka (1947). Ia merupakan salah satu kubu dari tiga model pemikiran tentang konstitusi negara itu. 1. Tradisionalis, yang menginginkan konstitusi berdasarkan syari’at yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan hasil ijtihad dalam kitab-kitab fiqih. 2. Modernis, menghendaki berdasarkan al-Qur’an dan sunnah dengan penafsiran yang liberal. 3. Westernis, yang ingin menerapkan konsep negara demokrasi di Barat berlaku di Pakistan. Maududi termasuk kelompok yang pertama dengan Jema’at ‘Ulama al-Islam, meskipun antara keduanya terdapat perbedaan konsep yang diperjuangkan.[6]

Konsekuensi perjuangan politik, ia sering ditahan oleh rejim penguasa di Pakistan. Selama 20 tahun negara Pakistan berdiri, ia 4 kali ditahan, diadili dan dihukum. Tahun 1948-1950, ia ditahan 20 bulan, tahun 1953 ia dijatuhi hukuman mati, namun dibebaskan tahun 1955, tahun 1964 ditahan 10 bulan, dan terakhir tahun 1967 ditahan lagi 2,5 bulan.[7] Ia wafat tahun 1979, merupakan salah seorang pemimpin Rabitah al-A‘lam al-Islami yang berpusat di Makkah.[8]


III. FREE WILL DAN PREDESTINATION

Maududi berpijak pada manusia dikaruniai akal dan pikiran, maka ia mampu berpikir dan mengambil keputusan, memilih dan menolak, mengambil dan mengesampingkan sesuatu. Ia bebas menjalani hidup sesuai dengan pemilihannya. Ia bebas memeluk agama, mengambil jalan hidup, merumuskan kehidupan menurut kehendaknya. Dapat dan boleh menciptakan peraturannya sendiri atau mengikuti yang diciptakan orang lain. Ia diberi kebebasan dan dapat menentukan tingkah lakunya. Pada aspek ini manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Ia diberi kebebasan dalam berpikir, memilih dan bertindak.[9]

Dengan demikian, karena akal dan pikirannya itulah yang menyebabkan manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya, dan karena itu pulalah yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya.

Adanya predestinasi bagi manusia, menurut Maududi hanyalah dalam bidang biologi, seperti kelahiran, pertumbuhan dan kehidupan yang diatur secara biologis. Manusia tidak lepas dari hukum tersebut. Semua organ tubuh manusia mematuhi aturan itu. Dengan kata lain, alam semesta beserta seluruh isinya, mengikuti ketetapan yang berlaku yang memang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur alam semesta itu, yang disebut hukum Allah SWT.[10]


IV. KEKUASAAN MUTLAK TUHAN

Maududi, dalam hal ini menyatakan bahwa betapa banyak realitas kekuasaan Allah SWT, yang dapat membuktikan bahwa hanya ada Satu Pencipta, Penguasa Alam Semesta dan Pengatur Jagad Raya. Realitas ini memantulkan sifat-sifat Allah SWT. Kebijaksaan-Nya yang Maha Agung, kekuasaan-Nya yang tanpa batas, dan kekuatan-Nya yang tiada tara.[11]

Dengan demikian, Maududi, dalam hal ini, tidak secara eksplisit membicarakan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan dan kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya. Hanya saja sebagai suatu analisis, karena Maududi mengakui kemampuan akal, manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya. Dengan meminjam istilah dari Harun Nasution, yang demikian itu, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak-semutlak-nya.[12]


V. KEADILAN TUHAN

Masalah ini, Maududi menjelaskan bahwa pada gilirannya seseorang harus mengetahui akibat dari kepercayaan dan ketaatan kepada Allah, dan sebaliknya. Manusia harus mengetahui rahmat yang akan diterima jika ia mengikuti petunjuk Allah, dan juga harus mengetahui akibat yang harus ditanggungnya jika ia memilih jalan pengingkaran.[13] Tuhan akan memberikan pahala kepada setiap manusia, berdasarkan timbangan atas setiap perbuatan baik dan jahatnya. Bagi yang lebih banyak perbuatan baik, akan mendapatkan pahala, dan yang lebih banyak jeleknya akan mendapatkan hukuman.[14]

Permasalahan ini terkait erat dengan keimanan terhadap hari kiamat, yang merupakan kebangkitan manusia untuk dihadapkan pada pengadilan suci. Saat itu merupakan pelaksanaan pemberian pahala atau hukuman.[15] Ketika Tuhan memimpin pengadilan dan mengumumkan secara adil, yaitu memberi rahmat kepada orang-orang yang benar, dan menghukum kepada yang salah, tentu ada tempat bagi yang suci untuk menikmati rahmat Tuhan berupa kehormatan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan ada pula tempat lain bagi yang dikutuknya untuk merasakan penderitaan.[16] Demikian ini merupakan konsekuensi logis, bahwa setiap perbuatan manusia pasti dipertanggungjawabkan di hadapan Penciptanya guna diberi balasan atas amalnya itu, baik ataupun buruknya, besar maupun kecil, dengan balasan kebaikan ataupun keburukan (hukuman).[17]

Jelaslah bagi Maududi, bahwa keadilan Tuhan adalah Tuhan mesti memberi pahala kepada orang yang taat kepada-Nya, dan memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Pemikiran semacam ini, lantaran Maududi termasuk seorang tokoh yang mempercayai terhadap kemampuan akal pikiran manusia. Berdasarkan analisis ini, maka Tuhan tidak mungkin menghukum kepada anaknya orang musyrik yang disebabkan dosa orang tuanya. Dan juga tidak mungkin memberi beban manusia di luar kemampuannya.


VI. KESIMPULAN

Dari uraian singkat di atas, maka dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Maududi adalah sebagai figur yang mempunyai banyak jasa terhadap khazanah intelektual Islam, yang dimulai dari karirnya sebagai seorang wartawan sampai menjadi pemimpin beberapa surat kabar yang berpengaruh di India, dengan tema tentang kebangkitan Islam.

2. Perjuangan politiknya bertujuan membentuk tatanan dunia Islam atau masyarakat Islami dalam arti hukum, politik dan sosial. Pemikirannya merupakan salah satu dari tiga model yang berkembang di India, yaitu mengikuti paham tradisionalis, yakni menginginkan konstitusi yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan hasil ijtihad dari kaum mujtahidin. Dan lantaran perjuangan politiknya, ia beberapa kali mendekam di penjara oleh rejim penguasa di Pakistan, bahkan pernah dijatuhi hukuman mati, meskipun dibatalkan.

3. Maududi mengakui adanya kebebasan bagi manusia, lantaran manusia mempunyai akal pikiran yang dapat dipergunakan untuk memilih ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, dan sekaligus untuk membedakan dengan makhluk hidup lainnya. Dan ia, mengakui adanya keterikatan bagi manusia hanyalah dalam bidang biologi. Manusia terikat secara biologis atas perkembangan dan pertumbuhan hidupnya. Hukum ini telah ditetapkan oleh Tuhan untuk mengatur alam semesta.

4. Wujud penciptaan Tuhan, oleh Maududi dijadikan bukti adanya Satu Pencipta, kekuasaan-Nya tiada batas. Semuanya itu terpantul pada sifat-sifat-Nya. Meskipun manusia telah diberi akal untuk berpikir, namun adanya keterbatasannya, maka Tuhan memilih manusia sebagai Utusan-Nya untuk menyampaikan kebenaran dan kebajikan.

5. Setiap perbuatan manusia akan ditimbang di hari kiamat, mendapatkan rahmat, kebahagiaan bagi yang taat, dan hukuman bagi yang mengingkarinya. Hal ini karena, setiap perbuatan manusia pasti dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, sekecil apapun perbuatannya baik maupun buruk. Dengan demikian Tuhan Maha Adil, karena memberi pahala pada yang taat dan menghukum bagi yang maksiat.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Khursid, dan Zafar Ansari, (ed.), Islamic Perspectives Studies in Honour of Mawlana Sayyid Abul A’la Maududi, Jeddah: Saudi Publishing House, 1979.

Donohue, John J., dan John L. Esposito, (ed.), Islamic in Transition, New York Oxford: Oxford University Press, 1982.

Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought, London: The Mac Millan Press Ltd., 1982.

Maududi, Abul A’la, Towards Understanding Islam, Lahore: One Seeking Mercy of Allah, 1960.

________________, The Islamic Law and Constitution, Lahore: Islamic Publication Ltd., 1975.

________________, Dasar-Dasar Iman, (terj.), Arif Muhammad dan Chatib Saifullah, Bandung: Pustaka, 1986.

Mortimer, Edward, Islam dan Kekuasaan, (terj.), Enna Hadi dan Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1984.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.

Rosenthal, Erwin J., Islam in The Modern National State, Cambridge: The University Press, 1965.

Smith, Donald Eugene, Religion and Political Development, Boston: Little Brown and Company, 1970.





* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar IAIN Walisongo Semarang di Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.

[1] Abul A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1975), hlm. 316-317.

[2] Khursid Ahmad dan Zafar Ansari, (ed.), Islamic Perspectives Studies in Honour of Mawlana Sayyid Abul A’la Maududi, (Jeddah: Saudi Publishing House, 1979), hlm. 360-361.

[3] Ibid., hlm. 361.

[4] Abul A’la Maududi, The Islamic Law, hlm. 374.

[5] John J. Donohue dan John L. Esposito, (ed.), Islamic in Transition, (New York Oxford: Oxford University Press, 1982), hlm. 94.

[6] Erwin J. Rosenthal, Islam in The Modern National State, (Cambridge: The University Press, 1965), hlm. 209.

[7] Abul A’la Maududi, The Islamic Law, hlm. 374. Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, (terj.), Enna Hadi dan Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 186-187.

[8] Edward Mortimer, ibid., hlm. 192. Khursid Ahmad dan Zafar Ansari, (ed.), Islamic Perspectives, hlm. 364. Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (London: The Mac Millan Press Ltd., 1982), hlm. 110. Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, (Boston: Little Brown and Company, 1970), hlm. 133.

[9] Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, (Lahore: One Seeking Mercy of Allah, 1960), hlm. 4.

[10] Ibid., hlm. 2-4.

[11] Ibid., hlm. 26.

[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 118.

[13] Abul A’la Maududi, Towards, hlm. 21-22.

[14] Ibid., hlm. 117.

[15] Ibid., hlm. 123.

[16] Ibid., hlm. 127-128.

[17] Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Iman, (terj.), Arif Muhammad dan Chatib Saifullah, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 22.
Previous
Next Post »
0 Komentar