MAKALAH SPI ( PENDIDIKAN ISLAM KHULAFAURRASYIDIN )

09.02
PENDAHULUAN

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran, maka pemerintah Islam dipegang secara bergantian oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
Khulafaurrasidin adalah para pengganti Nabi. Islam sebagai sebuah ajaran dan Islam sebagai institusi Negara, mulai tumbuh dan berkembang pada masa tersebut. Dalam Islam kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak memiliki fasilitas “ekstra” dalam ajaran Islam untuk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka termasuk pelaksana hukum.
Penyebaran Islam yang terjadi pada masa khulafaurrasidin mengalami tahapan-tahapan
yang penting untuk diketahui, untuk lebih lanjut maka akan dibahas dalam bab pembahasan sebagai berikut.











PEMBAHASAN
PENDIDIKAN ISLAM KHULAFAURRASYIDIN

A. ABU BAKAR
Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat sejarah Islam dalam keadaan krisis dan gawat. Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru.
Memang pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah Bani Sa’idah) akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam telah berakhir.
Abu Bakar bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga sebagai penyelamat Islam dari kehancuran karena beliau telah berhasil mengembalikan ummat Islam yang telah bercerai berai setelah wafatnya Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada masa Abu Bakar adalah dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam dari kehancuran serta perluasan wilayah) melalui sistem pemerintahan (kekhalifahan) Islam.
Menjelang wafat, Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab sebagai penggantinya. Disamping itu, jasa Abu Bakar yang mengabdikannya, ialah atas usulan Umar, ia berhasil membukukan al Qur’an dalam satuan mushaf, sebab setelah banyak penghafal al Qur’an gugur dalam perang Riddah di Yamamah. Oleh karena itu khalifah menugaskan Zaid ibn Tsabit untuk membukukan al Qur’an dibantu oleh Ali bin Abi Thalib. Naskah tersebut terkenal dengan naskah Hafsah yang selanjutnya pada masa khalifah Ustman membukukan al Qur’an berdasarkan mushaf itu, kemudian terkenal dengan Mushaf Usmani yang sampai sekarang masih murni menjadi pegangan kaum muslim tanpa ada perubahan atau pemalsuan.
Dengan demikian, tidak salah pemberian gelar istimewa kepada Abu Bakar oleh para sejarawan: Abu Bakar is the savior of Islam after the Prophet Muhammad (Abu Bakar adalah penyelamat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat).

B. UMAR BIN KHATAB
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, situasi politik dalam keadaan stabil. Dengan meluasnya wilayah Islam sampai keluar Jazirah Arab, karena bangsa-bangsa tersebut memiliki alat dan kebudayaan yang berbeda dengan Islam, maka dipikirnya pendidikan Islam di daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu Umar memerintahkan panglima-panglima apabila telah berhasil menguasai daerah, hendaknya mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Untuk keperluan khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan. Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru setiap daerah yang ditaklukan untuk bertugas mengajukan isi Al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Pada masa ini juga sudah terdapat pengajaran bahasa Arab. Dengan dikuasainya wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya keinginan untuk belajar bahasa Arab sebagai pengantar diwilayah-wilayah tersebut. Orang-orang yang baru masuk Islam dari daerah-daerah yang ditaklukkan harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami pelajaran Islam.
Dalam masyarakat, yang sebelumnya terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan kasta, setelah Islam datang, tidak ada lagi istilah kasta tersebut (thabaqatus sya’by). Kedudukan wanita sangat diperhatikan dalam semua aspek kehidupan. Istana dan makanan Khalifah dikelola sesederhana mungkin. Terhadap golongan minoritas (Yahudi- Nasrani), diberikan kebebasan menjalankan perintah agamanya. Tidak ada perbedaan kaya-miskin. Hal ini menunjukkan realisasi ajaran Islam telah nampak pada masa Umar.
Mengenai ilmu keIslaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum Islam datang, dimana penduduk Arab, terutama Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
Di samping ilmu pengetahuan, seni bangunan, baik itu bangunan sipil (imarah madaniyah), bangunan agama (imarah diniyah), ataupun bangunan militer (imarah harbiyah), mengalami kemajuan yang cukup pesat pula.
Kota-kota gudang ilmu, di antaranya adalah Basrah, Hijaz, Syam, dan Kuffah seakan menjadi idola ulama dalam menggali keberagaman dan kedalaman ilmu pengetahuan. Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Al ulumul Islamiyah atau al adabul Islamiyah atau al ulumun naqliyah atau al ulumus syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadis, kebahasaan (lughat), fikih, dan sejarah (tarikh).
2. Al adabul Arabiyah atau al adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika) yang sebelumnya memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa permulaan Islam.
3. Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, tehnik, falak, dan filsafat. Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu pengetahuan karena:
a. Mereka mengalami kesulitan memahami Al Qur’an
b. Sering terjadi perkosaan terhadap hukum
c. Dibutuhkan dalam istimbath (pengambilan) hukum
d. Kesukaran dalam membaca Al Qur’an.
Oleh karena itulah, banyak orang yang berasumsi bahwa kebangkitan Arab masa itu didorong oleh kebangkitan Islam dalam menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Apabila ada orang menyebut, “ilmu pengetahuan Arab”, pada masa permulaan Islam, berarti itu adalah “ilmu pengetahuan Islam”.

C. USTMAN BIN AFFAN
Ustman Ibnu Affan (Khalifah ketiga) yang memerintah umat Islam paling lama dibandingkan ketiga Khalifah lainnya. Ia memerintah selama 12 tahun.
Ustman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari kedekatannya dengan Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya mendapat tantangan dari pamannya yang bernama Hakim, ia tetap pada pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat menyiksa Ustman bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus berlangsung hingga datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang Islam berhijrah ke Habsyi (Ahmad, 1984: 33).
Pada masa Khalifah Ustman kedudukan peradaban Islam tidak jauh berbeda demikian juga pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Para sahabat diperbolehkan dan diberi kelonggaran meninggalkan Madinah untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Dengan tersebarnya sahabat-sahabat besar keberbagai daerah meringankan umat Islam untuk belajar Islam kepada sahabat-sahabat yang tahu banyak ilmu Islam di daerah mereka sendiri atau daerah terdekat.
Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehinga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan tersebut disandarkan pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak menimbulkan keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung bertemu Rasullullah.
Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah Hudzaifah bin Aliaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada Khalifah Ustman. Para sahabat amat khawatir kalau perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan pada kaum muslimin. Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat Islam dengan satu bacaan yang tetap pada satu huruf (Khalil al-Qathan, 1992: 192).
Selanjutnya Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushaf dan setelah selesai akan kami kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Ustman. Ustman memerintahkan para sahabat yang antara lain:
Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu Harist Ibn Hisyam, untuk menyalin mushaf yang telah dipinjam. Khalifah Ustman berpesan kepada kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an maka tulislah dengan ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka menyalin ke dalam beberapa mushaf Khalifah Ustman mengembalikan lembaran mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushaf yang lain dibakar (At-Tibyan, 1984: 96).
Al-Mushaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman sendiri dan mushaf ini disebut mushaf Al-Imam dan dikenal dengan mushaf Ustmani (Depag, 1987: 29).
Jadi langkah pengumpulan mushaf ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan Khalifah Ustman bin Affan yakni dengan meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk menyusun dan mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam sebuah mushaf. Karena selama pemerintahan Ustman, banyak sekali bacaan dan versi al-Qur’an di berbagai wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing.
Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain, Khalifah berusaha menghimpun kembali ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan salinan Kitab Suci yang terdapat pada Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah dicek kembali oleh para ahli dan huffadz dari berbagai kabilah yang sebelumnya telah dikumpulkan (Hasjmy, 1994: 133).
Keinginan Khalifah Ustman agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya tercapai setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-masing kabilah semua dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushaf yang telah disesuaikan dengan naskah al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad SAW yang menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara standar (Ahmad, 1984: 37-38).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushaf oleh Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman berbeda. Pengumpulam mushaf yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur‘an karena banyak huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif Khalifah Ustman karena banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan (Said al- Qathani, 1994: 118).
Pada masa ini pendidikan Islam adalah pembudayaan ajaran agama Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa-bangsa disekitar jazirah Arab, yang berlangsung bersamaan dan mengikuti berkembangnya wilayah kekuasaan Islam. Proses pengembangan pendidikan Islam pada masa ini sebagian besar memang diwarnai oleh pengajaran atau pembudayaan Al-qur’an dan sunnah ke dalam lingkungan budaya bangsa-bangsa secara luas. Para khalafaur Rasyidin dan sahabat adalah pelaku utama dalam proses pendidikan Islam masa ini, yang kemudian digantikan oleh para tabi’in. namun berkembang sebagaimana masa-masa sesudahnya. Begitu pula dalam hal pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa Nabi Muhammad SAW yang menekankan pada pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam disebabkan oleh perhatian umat Islam terhadap perluasan wilayah Islam dan terjadinya pergolakan politik, khususnya dimasa Ali bin Abu Thalib.

D. ALI BIN IBI THOLIB
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya meninggal di asuh oleh pamannya Abu Thalib.
Karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka Ali di asuh Nabi SAW dan di didik. Pengetahuannya dalam agama Islam amat luas. Karena dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir di seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan muka.
Pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib dalam pandangan keagamaannya, diantaranya adalah jika seorang muslim tidak menjalankan shalat, maka ia wajib dibunuh, dan jika seorang yang meninggal dunia tanpa tobat terlebih dahulu, maka ia akan masuk neraka selamanya. Dengan demikian, tanpa amal sholeh maka seseorang sama halnya dengan tidak mukmin (kafir). Seseorang yang tidak bersih hati nuraninya, maka ia termasuk golongan orang murtad, dan dalam pandangannya seseorang yang demikian itu masuk neraka selamanya. Pandangan khawarij yang paling mencolok adalah keyakinan bahwa orang Islam yang tidak menganut ajaran-ajaran mereka tersebut dianggap kafir. Hal ini mendasari sikap mereka terhadap umat Islam (selain golongan khawarij) keras dan tegas, sementara dengan non-muslim (Yahudi dan Nasrani) mereka bersikap lunak. Mereka beranggapan bahwa Ali, Amr, dan Muawiyah adalah kafir. Karena, atas ulah mereka banyak umat Islam mati di medan konflik yang ada tersebut. Khawarij menolak, surat yusuf menjadi bagian dari al Qur, an. Hal ini didasarkan karena surat itu terlalu menjelaskan hal-hal keduniaan-cinta (Alam, 1969: 250-253).
Orang yang mengikuti Ali dan termasuk bagian yang mengagungkan khalifah Ali kemudian disebut sebagai Syi’ahtu Ali (pengikut Ali) yang kemudian hari dikenal dengan kelompok Syi’ah. Orang syi’ah mengakui Muhammad sebagai Rasul dan al Qur’an benar-benar wahyu dari Allah SWT. Imam itu jabatan sakral yang ditentukan oleh Allah dan memiliki tujuan untuk kesejahteraan umat manusia. Bagi mereka imam merupakan seseorang yang tidak pernah berdosa dan terlindungi (Ma’shum), jadi apa yang disampaikan imam merupakan ucapan Tuhan. Dalam kalimat syahadat ditambah dengan kalimat Ali Khalifatullah. Kelompok Syi’ah ekstern (al-Ghurabiyah) percaya, bahwa wahyu sesungguhnya diturunkan Allah kepada Ali, namun jibril keliru menyampaikan, dan justru kepada Muhammad mereka juga mengklaim, bahwa dalam al Qur’an ayat-ayat yang memihak syi’ah disembunyikan oleh orang Sunni atau disebarkan aya-ayat palsu yang mendeskriditkan Syi’ah. Menurut mereka al Qur’an dan hadis yang diriwayatkan oleh orang Syi’ah kedudukannya adalah atas segala ilmu. Oleh karena itu menurut mereka tidak perlu ijma’ dan Qiyas. Salah satu tujuan mereka terhadap kelompok Sunni adalah Sunni dianggap menyembunyikan hadis-hadis yang menjelaskan, bahwa Ali merupakan khalifah setelah Nabi.


KESIMPULAN

Dari bab yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan maka sidikit dapat diambil kesimpulan bahwa:
Pada masa Abu Bakar, beliau bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga sebagai penyelamat Islam dari kehancuran karena beliau telah berhasil mengembalikan ummat Islam yang telah bercerai berai setelah wafatnya Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada masa Abu Bakar adalah dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam dari kehancuran serta perluasan wilayah) melalui sistem pemerintahan (kekhalifahan) Islam.
Pada masa Umar bin Khatab Mengenai ilmu keIslaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum Islam datang, dimana penduduk Arab, terutama Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
Pada masa Khalifah Ustman kedudukan peradaban Islam tidak jauh berbeda demikian juga pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Para sahabat diperbolehkan dan diberi kelonggaran meninggalkan Madinah untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Dengan tersebarnya sahabat-sahabat besar keberbagai daerah meringankan umat Islam untuk belajar Islam kepada sahabat-sahabat yang tahu banyak ilmu Islam di daerah mereka sendiri atau daerah terdekat.




REFERENSI

Karim, Abdul. M, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007.

Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2008.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993.
Previous
Next Post »
0 Komentar